[2.0]

6.7K 1.2K 70
                                    

Bagian 2

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagian 2.0
–Bagian Kedua Dari Merelakan–

•••

Beberapa tahun sudah dia lewati berdua dengan Bundanya. Hidup nya serba berkecukupan karena walaupun Bundanya perempuan, dia adalah seorang pengusaha sukses.

Bagi Gilang, Bundanya adalah manusia paling kuat yang pernah dia temui. Bahkan setelah dia ditinggalkan oleh Ayahnya, Bundanya tetap menjadi wanita paling tegar.

Bagi Gilang, Bunda adalah definisi wanita sempurna. Membuatnya sangat-sangat ingin menemukan perempuan seperti Bundanya juga.

Lambat laun, semakin dewasa pemikirannya, Gilang mulai mengerti kondisi hidupnya sendiri. Tentang kenapa Ayahnya pergi. Sampai tentang Ayahnya yang selalu memukul Bundanya saat marah.

Sejak dulu, Gilang tidak pernah menganggap Ayahnya adalah sosok yang hebat. Tidak seperti kebanyakan anak normal yang lainnya, bagi Gilang, Ayahnya tidak seberharga kotoran kuku milik Bundanya.

Karena baginya, Ayahnya hanya tipe laki-laki pecundang yang hanya bisa bertindak seakan-akan dia adalah orang paling hebat di dunia padahal tidak.

Pengecut. Hanya bajingan tidak tau diri, seperti sampah yang bahkan mengurus keluarganya saja tidak becus. Bagi Gilang, Ayahnya adalah definisi bodoh paling apik.

Singkatnya, Gilang membenci laki-laki itu. Terlepas dari fakta kalau laki-laki itu adalah Ayahnya. Terlepas dari Bundanya yang terus-terusan memberi nasihat agar tidak membencinya.

Bukankah semua yang Gilang lakukan wajar? Bukankah semua yang dia ucapkan benar? Maka apa yang salah dari perasaan benci yang muncul dalam hatinya?

"Abang, benci itu gak baik buat hati," nasihat Bundanya kala itu.

Gilang yang sudah remaja hanya bisa mendengus. "Kalau bencinya sama Ayah, Abang rasa gak apa-apa Bun," balasnya santai.

Menghela nafas pasrah mendengar jawaban anaknya yang lagi-lagi seperti itu. Tidak jauh-jauh dari kata 'karena itu Ayah, wajar aja Bun'.

"Abang gak boleh gitu ih, gak baik tau," ucap Bundanya lagi.

Gilang menatap Bundanya dengan malas. "Bunda jangan bahas bahas orang itu lagi deh. Gak baik tau," balasnya menyangkal.

Bundanya hanya bisa berdecak kesal. "Terserah kamu deh," pada akhirnya dia menyerah dan akan pergi setelahnya.

Setelah Bundanya tidak terlihat, Gilang mendecih sinis. "Bunda terlalu baik untuk manusia macam orang itu, Bun," gumamnya.

Suatu hari, Gilang tiba-tiba mendatkan kiriman surat entah dari siapa. Dia bingung karena dijaman seperti ini ternyata masih ada manusia yang bermain surat menyurat.

Merasa tertarik, Gilang membacanya dengan semangat. Ternyata surat itu dikirim oleh Kakaknya yang sudah tidak bertemu dengannya selama empat tahun.

Transmigrasi FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang