Tiffany tahu, keberadaan makhluk itu akan jadi ancaman untuknya. Lelaki itu pasti akan membahasa masalah di gerobak gorengan. Buruk? Banget! Apalagi ....
"Hei, masih anak baru sudah bikin masalah!" tegur seorang senior saat Dylano melewati lorong.
"Mau jadi jagoan?" tambah senior lainnya. Mereka sengaja berbaris sambil bersandar ke lorong.
Namun, Dylano sama sekali tak bergeming. Pria itu lewat begitu saja sambil memasukan salah satu tangan ke saku celana seragam. Merasa tak diacuhkan, lima senior tadi mengikuti. Sampai di lorong yang sepi, salah satunya menepuk bahu Dylano. "Yang hormat sama senior!" tegasnya.
Dylano berbalik. Dia tak butuh basa-basi. Orang yang menyentuh bahunya langsung terkena bogem mentah dan jatuh tersungkur. Dylano tatap senior lainnya dengan tajam satu per satu.
"Macem-macem nih, bocah!" Salah satu senior berharap bisa membalaskan dendam sahabatnya dengan memukul Dylano. Namun, Dylano sigap menahan lengan senior itu, menariknya dan menghantamkan tubuh itu ke dinding hingga jatuh lemas.
"Ada lagi?" tanya Dylano sambil menaikan alis. Jelas yang lainnya langsung membantu teman mereka berdiri dan kabur. Mereka sadar Dylano bukan lawan sepadan.
Salahnya orang tua Dylano. Mereka menganggap kebiasaan anak itu bertarung dengan teman-temannya adalah potensi yang belum tergali. Akhirnya mereka mendaftarkan Dylano di kelas Taekwondo. Berhasil, iya! Berhasil makin garang sampai tak ada yang mau melawan anak itu.
Karena peristiwa itu, Dylano dipanggil ke ruang guru. Apalagi? Jelas ditegur karena memukuli dua seniornya. Korban masih ada di sana setelah mendapat perawatan.
"Dylano, Ibu tahu kamu siswa yang baik. Ibu hanya ingin tahu kenapa kamu pukuli senior kamu?" tanya wali kelas Dylano. Ia cukup bijak menghadapi anak itu, bukan dengan amarah.
Mata Dylano melirik tajam ke arah korban. Ia menarik napas lalu membuangnya. Sama sekali Dylano tak menjawab. Ia malah menyandarkan punggung dan melihat ke arah langit-langit ruangan.
Wali kelasnya menggerak-gerakan bibir. Ini akan sulit untuknya. "Dylano, boleh Ibu minta tolong. Katakan saja, ya? Jelaskan agar kita bisa diskusi," saran wali kelas.
Dylano kembali duduk tegak. Ia tatap mata gurunya. "Pertama, mereka mengusikku. Aku nggak suka diusik. Ketiga, mereka cari ribut duluan, aku hanya bela diri."
Wali kelas memandang dua korban. "Kenapa kalian memulai ini duluan?" Ditanya begitu kedua korban merasa tak terima.
"Kita cuman kasih dia peringatan saja, Bu! Abis dia baru masuk sudah songong, nggak hormat sama senior!" tegas mereka.
"Alfred, Munir ... apa rasa hormat yang kalian mau dari dia?" Wali kelas cukup bijak menilai keadaan. Tak ada yang semua benar dan semua salah dalam hal ini.
Beberapa jam mendapat nasihat, akhirnya mereka keluar dari ruangan. Hanya dua senior tadi lari dengan cepat takut Dylano menyimpan dendam. Ia memang dendam, tapi itu tak akan langsung ia keluarkan sekarang. Jika ada waktu, pasti dia balas lebih dari apa yang mereka lakukan.
Dylano berjalan di lorong sekolah. Ia patroli untuk mencari sesuatu, mangsa. Bukan orang yang mau dia pukuli atau dia kerjai, seorang gadis yang sudah mencuri perasaannya, aweu!
Satu per satu kelas ia intip dari jendela. Si Gadis masih belum juga ketemu. Padahal Dylano jelas melihatnya di lapangan tadi. Ouh iya, ia lari dari hukuman kepala sekolah. Nanti jika bel pulang, dia tinggal kembali ke lapangan.
Ternyata apa yang didamba ia temukan. Gadis itu duduk di meja paling belakang suatu kelas. Dylano berdiri di jendela kelas itu. Karena sedang ada guru memperkenalkan diri di dalam, siswa di kelas tak menyadari adanya Dylano di sana.
Tak lama seorang siswi keluar kelas itu untuk ke toilet. Dylano menyusulnya. "Hei!" panggil Dylano.
Siswi itu berbalik. Matanya langsung berbinar melihat keberadaan Dylano di sana. "Sini!" Dengan kasar Dylano tarik kerah kemeja gadis itu ke arah kaca jendela tempat ia berdiri.
Gadis itu tadinya sempat salah paham. Ia pikir Dylano akan mengajaknya main novel wattpad. "Siapa dia?" tanya Dylano sambil menunjuk ke dalam jendela.
"Siapa?" tanya gadis itu bingung.
"Itu! Yang paling belakang. Yang cuman sendirian!" Suara Dylano sewot.
"Ouh, dia yang dapat beasiswa di sini. Orang miskin! Bikin kotor saja!" umpat gadis itu. Dylano mendorongnya hingga gadis itu jatuh ke lantai.
"Bersihin mulut kamu! Bikin kotor saja!" umpat Dylano.
Gadis itu bingung. Ia menatap Dylano takut. Sedang si pria berjongkok di depannya. "Kasih tahu, siapa nama perempuan itu!" titah Dylano. Gadis itu menggeleng. Jelas karena untuknya, perempuan yang Dylano tunjuk tak penting.
"Nggak guna!" umpat Dylano. Ia berdiri lalu pergi. Sementara korbannya mengusap dada.
Dylano masih melenggang sepanjang koridor. Ia merasa lapar. Sedang Tiffany masih memperhatikan gurunya hingga bel pelajaran terakhir berbunyi. Gurunya langsung pamitan.
"Hei, Kamu tahu nggak siapa cowok yang dihukum di lapangan?" tanya seorang siswi dan langsung membuka keributan di kelas itu.
Lorna mengambil alat-alat tulis dan pindah ke meja di samping Tiffany. Awalnya meja itu tak ada yang mau mengisi. Sedang Lorna duduk di depan karena ingin terlihat pintar. Namun, tahu ada anak genius di belakang, ia memilih hijrah bersama sepupunya, Irma.
"Mereka ngapain, sih? Anak nakal kayak gitu malah dibahas!" protes Irma.
"Gila dia! Jam sebelas baru ke sekolah. Dia pikir ini masjid tempat jum'atan apa?" timpal Lorna.
"Kalau dia sering Jum'atan. Dari tampang sama kelakuannya saja, sudah jelas jarang salat!" balas Irma.
"Kalau dia non muslim ya nggak pernah salat," Tiffany ikut-ikutan.
🍒🍒🍒
KAMU SEDANG MEMBACA
Dylano
Teen FictionRank #1NCTAU "Pegangan sini!" Dylano menunjuk pinggangnya. Namun, Tiffany diam saja. "Enggak mau pegangan entar bisa oleng, loh. Oleng dari motor lebih bahaya daripada oleng dari hati Dylano." Nggak pernah Tiffany sangka jika masa depannya di salah...