"Jadi kalau kita perhatikan baik-baik, kuncinya adalah di tiga angka pertama. Kalau kita kalikan sepuluh dan kuadratkan bagian belakang, hasilnya akan sama," jelas Dylano di depan anak-anak asuhnya.
Dua tahu berlalu dan tanpa terasa kini pria itu sudah duduk di tingkat akhir. Sering main dengan anak-anak jalanan, Dylano sadar apa yang kurang dari mereka. Iya, pendidikan. Sekolah gratis? Mungkin ada. Namun, kapan mereka mencari uang kalau harus sekolah? Dia berpikir dari inti masalah itu. Karenanya Dylano buat keputusan besar.
Selama satu tahun ini, dia mengumpulkan sumbangan dari teman satu sekolah. Apa yang dia lakukan sangat didukung oleh kakeknya. Bahkan kakek dan neneknya begitu bangga melihat bagaimana Dylano berubah banyak.
"Mau ikut sekolah?" tanya Dylano saat bertemu dengan salah satu anak jalanan.
"Malas, A," jawab anak itu.
"Seminggu kamu mau sekolah, aku bayar seratus ribu. Mau?" tawar Dylano.
Iya, kalau berpikir jernih dalam seminggu dia bisa menghabiskan uang hingga puluhan juta untuk sekadar membeli pakaian dan jalan-jalan. Namun, hanya dengan uang dua juta dia punya dua puluh anak asuh yang akan dia ajari.
"Coba baca ini apa?" pinta Tiffany pada Anwar, anak didiknya yang baru berusia lima tahun.
"Ini? Ba!" jawab Anwar dengan suara lucunya. Tiiffany tersenyum. Dia cubit gemas pipi Anwar.
"Kamu lucu banget, sih. Suka permen enggak? Teteh kasih permen, ya?" Tiffany keluarkan sebuah lolipop dan diberikan pada anak itu. Anwar merasa senang menerimanya. "Bilang apa sama Teteh?"
"Maacih, Teteh," ucap Anwar.
"Sama-sama. Ih, gemesin," puji Tiffany lagi.
"Ih, gemesin." Dylano ikut-ikutan sambil mencubit gemas pipi Tiffany. Kini lengannya terkena pukulan dari perempuan itu. "Mau permen juga, dong!" pinta Dylano.
Tiffany merogoh sakunya dan memberikan satu permen di tangan Dylano. "Jangan minta lagi. Tinggal satu lagi," omel Tiffany.
"Nanti aku ganti sebungkus."
Selesai mengajar keduanya lekas meninggalkan tempat. Tiffany seperti biasa selalu dibonceng pacarnya. Gadis itu membuka kaca helm. "Dylan!"
"Apa?"
"Katanya mau ganti permen tadi yang sebungkus?" tanya Tiffany.
"Ouh ini ada." Dylano mencoba merogoh saku jaketnya sambil menyeimbangkan motor. Tiffany mengulurkan tangan berharap permennya diganti oleh Dylano. Namun, apa yang dia harapkan ternyata tak sesuai dengan ekspektasi. Yang Dylano simpan di tanganya hanya plastik pembungkus permen.
"Kok bungkusnya doang?" tanya Tiffany sewot.
"Tadi aku bilang ganti sebungkus, 'kan? Bukan permen sama bungkusnya," alasan Dylano sambil tertawa.
Tiffany yang kesal merengut. Setelah perjalan panjang, motor Dylano berhenti di depan gedung yang dulu bekas Matahari. Tiffany masih manyun akibat permen. "Masih marah?"
"Enggak tahu!"
"Perempuan kalau bilang enggak tahu artinya marah," ucap Dylano.
"Kata siapa?"
"Kata pria yang macarin kamu selama dua tahun lebih. Tiffany kalau bilang enggak tahu, bodo amat, terserah sama apa saja artinya marah."
"Pikirin saja sama kamu sendiri!" Tiffany memunggungi Dylano.
"Tambah lagi bahasa baru, nih?" ledek Dylano.
"Ih, kamu tuh kalau aku marah bukannya minta maaf, malah ledekin saja!"
"Kamu tuh kalau ngambek bikin aku gemes sama kamu. Bukannya takut malah senang."
"Assalamualaikum," tegas Tiffany lalu melenggang pergi. Dylano menepikan motor dan turun. Dia kejar kekasihnya.
"Wa'alaikusalam," jawab Dylano.
Tiffany terus melangkah. Dia tak mau lagi memedulikan kekasihnya itu. Tiba-tiba Tiffany merasakan Dylano memasukan sesuatu ke dalam jaketnya. "Orang bilang makan itu bikin mood jadi baik lagi. Cepet ilang ngambeknya, ya?" Dylano usap rambut Tiffany.
Kini Tiffany berbalik dan melihat punggung pacarnya tengah berjalan menuju motor. Tiffany rogoh saku jaketnya. Ada cokelat silverqueen di sana dengan ukuran besar. Gadis itu tersenyum. "Dylan! Makasih!" ucapnya.
Dylano berbalik. "Sama-sama." Pria itu langsung menyalakan motornya. Tiffany masih memperhatikan Dylano hingga motor pria itu meninggalkan tempat.
Waktu berlalu. Malam itu Tiffany mengeluarkan buku dengan sampul hitam yang dulu pernah dia berikan pada Dylano. Buku itu masih milik Dylano. Hanya saja setiap sebulan sekali akan dia berikan pada Tiffany agar perempuan itu membaca puisinya.
Angin entah apa yang orang sebut
Katanya itu udara yang bergerak
Cinta entah apa yang orang sebut
Katanya itu hatiku yang bergerak
Menuju kamu
Bosan katanya membuat manusia tak merasa indah
Tapi aku lupa bosan itu apa setiap ada kamu
Biarlah aku lupa
Kecuali melupakanmuSenyum Tiffany terkembang. Malam itu dia baca semua puisi buatan Dylano hingga tidur terlelap. Pagi harinya Tiffany seperti biasa berjalan hingga tempat dia dan Dylano sering bertemu. Namun, Dylano tak datang. Justru tak lama menepi dua buah motor. Orang yang mengendarainya membuka helm. Itu Ben dan Tedy.
"Dylano mana?" tanya Tiffany yang pikirannya sejak malam terkunci pada pria itu.
"Kakeknya meninggal dan dibawa ke Amerika. Dia juga ikut, Fan. Dia cuman bilang nitip kamu sama kita. Tenang saja, kita bakalan antar jemput sesuai permintaan komandan, kok," jelas Tedy.
"Kok dia enggak bilang sama aku?" Tiffany merasa kecewa. Bukan karena merasa ditinggalkan begitu saja. Dia hanya takut tak bisa bertemu lagi pria itu. "Dylano beneran bakalan pulang, 'kan?" tanya Tiffany.
"Iyalah. Dia 'kan sekolah di sini. Lagian Neneknya masih ada. Jangan khawatir. Dia bisa jaga dirinya sendiri, kok," jawab Ben.
Namun, tetap saja perasaan Tiffany tak enak. "Mudah-mudahan dia cepet pulang," batin Tiffany. Wanita itu tahu, Dylano sangat sayang pada kakeknya. Pria itu pasti sedih. Dan Tiffany kecewa karena tak bisa memeluknya.
Satu hal yang selalu ingin aku lupa
Perpisahan denganmu
Karena itu seperti menusuk kulit, otot dan sarafku sendiri
Aku ingin memohon pada Tuhan
Jika bisa, jangan jauhkan kamu sedetik saja dari jiwa dan rohku
Orang bilang itu egois,
bagiku itu wujud cinta yang aku sebutkan di kalimat ke tiga
Tapi kamu tetap jadi yang pertama🍒🍒🍒
KAMU SEDANG MEMBACA
Dylano
Teen FictionRank #1NCTAU "Pegangan sini!" Dylano menunjuk pinggangnya. Namun, Tiffany diam saja. "Enggak mau pegangan entar bisa oleng, loh. Oleng dari motor lebih bahaya daripada oleng dari hati Dylano." Nggak pernah Tiffany sangka jika masa depannya di salah...