Chapter 48. Camping

788 270 69
                                    

"Dengar! Ini demi kebaikan kamu juga. Memang kamu enggak mau punya masa depan terbaik? Kamu tahu bagaimana karir lulusan Harvard dan New York?" Shanon masih memengaruhi putra keduanya agar mau diajak tinggal di Amerika.

Dylano melirik Tiffany yang tengah membantu Irma dan Lorna membuat perapian. Memang mereka kali ini ditantang begitu oleh pembina acara camping kali ini. Jelas anak-anak orang kaya itu—apalagi yang perempuan—banyakan bicara dan teriak dibandingkan bekerja. Hasilnya selama berjam-jam hanya grup Dylano yang berhasil. Karena itu, dia bebas menelpon kini.

Dylano bukannya tak ingin membantu, ya. Dia sudah menawarkan diri dan hasilnya malah diusir pacar dan kedua teman pacarnya.

"Kalau aku pergi dan kuliah dengan baik, aku bisa hidup dengan layak. Itu juga untuk Tiffany kelak. Aku ingin dia pergi ke mana-mana bisa pakai mobi. Aku mau dia bisa tersenyum tanpa memikirkan uang," batin Dylano. Dia menarik napas panjang. "Tapi, kalau aku pergi Tiffany sama siapa? Siapa yang akan jaga dia?"

Dua pikiran yang saling berlawanan itu membuat Dylano galau selama berbulan-bulan. Dia tak ingin pacarnya harus berjuang sendirian sementara dia pergi. Hanya saja Dylano tak bisa membawa Tiffany saat ini. Orangtua Tiffany pasti tak mengizinkan.

Malam itu Dylano datang ke kemah Tiffany. Dia tarik lengan gadis itu. Sempat Tiffany ingin protes, tetapi langsung Dylano berikan tanda agar gadis itu diam. Keduanya berjalan mengendap meninggalkan lokasi kemah.

“Lihat bulan itu! Dia bersinar dengan sinar matahari, tetap saja orang mengaguminya. Kamu juga harus seperti itu, tak peduli meski kamu disebut hanya berjalan dalam cahayanya Dylano, kamu tetap mengagumkan.”

Beberapa hari ini tak tahu kenapa Dylano tampak murung dan baru kali ini dia menjadi manis lagi. Ia dan Tiffany berpegangan tangan, duduk di atas kursi di pinggir bukit. Bukan Dylano namanya jika mengikuti acara sesuai aturan. Ia lebih memilih membawa Tiffany kabur ke bukit ini untuk melihat bulan purnama.

“Kamu tahu dongeng yang tak masuk akal tentang bulan?” tanya Dylano. Tiffany menggeleng. “Ada yang bilang garis hitam di bulan itu adalah putri yang sedang tertidur dan menunggu pangerannya. Ada juga yang percaya itu nenek sihir dan kucingnya.”

Dia membuat Tiffany takjub, seorang Dylano bahkan tahu dongeng yang sering diceritakan untuk anak kecil seperti itu. Dongeng yang sudah lama tak dipercayai orang. “Mau seberapa mustahilnya kisah itu, aku akan percaya jika kamu juga percaya.”

Lagi-lagi ia membuat Tiffany tersenyum. “Kenapa kamu gombal banget hari ini?”

“Cuman mau romantis. Kamu selalu bilang aku ini kaya es balok atau batu prasastu. Puji, kek! Enggak tahu kapan aku bakalan gini lagi. Tiga bulan lagi Dylan-mu ini mau pergi ke Amerika. Setelah itu, aku cuma bisa kirim email. Pasti susah ngegombal pakek tulisan.”

“Kamu benar-benar mau kuliah di Amerika?”

“Tradisi keluargaku. Lagian Papa keadaannya makin buruk. Ia harus dioperasi pasang ring di jantung. Proses pemulihannya enggak sebentar. Jadi kami sekeluarga mau kembali menetap di New York.”

Dylano sejenak mengawang. Tangannya semakin erat menggenggam tangan Tiffany. “Aku akan kembali ke sini dan menikahimu. Aku janji. Lalu kita akan tinggal di Amerika bersama.”

Bisa Tiffany rasakan Dylano memeluknya dengan erat kemudian terdengar Dylano menangis. Dua bulan lagi acara kelulusan sekolah mereka dan esok harinya Dylano akan pergi.

Tiffany tentu turut menangis. Menjadi kekasihnya selama lebih dari dua tahun, membuat Tiffany terbiasa dengan adanya Dylano di samping. Jika ia pergi sejauh itu dan Tiffany tak bisa menyusul, apa yang akan terjadi pada gadis itu kelak?
“Kamu akan cepet pulang, 'kan? Kalau kamu pergi, siapa yang bakalan lindungin aku?”

Dylano melepas pelukannya lalu mengecup kening Tiffany. “Siapa yang berani nyakitin kamu. Bilang saja, biar aku balik dari Amerika dan mukulin dia.”

"Memang bisa begitu?" tanya Tiffany merengek.

"Dengar! Aku akan titipin kamu sama Kak Ema dan Daniel. Kamu mau masuk kampus yang sama kayak mereka, 'kan? Jangan jauh-jauh dari mereka. Satu lagi, percaya kalau aku akan selalu sayang sama kamu." Dylano kecup pipi gadisnya. Mereka saling bertatapan kini.

"Dylan, mau cium aku?" pinta Tiffany.

Dylano mengangguk. Bibirnya mulai mendekat dan meraih merah muda bibir kekasihnya. Setiap kali bibir mereka bersentuhan, hanya ada rasa bahagia bercampur malu. Kini meski belum berpisah, rasa sakit dan rindunya sudah terbayang sebesar apa.

Meski mereka sedekat itu, tetapi air mata terus mengalir. Tak lama bibir itu saling melepas. Dylano peluk Tiffany dengan erat. "Aku pergi demi kamu. Biarkan aku jadi pria hebat yang pantas mendampingi gadis pintar dan mandiri ini, ya? Kita berjuang sama-sama walau terpisah." Sesegukan suara Dylano saat mengucapnya.

Tiffany hanya bisa mengangguk. Tangannya sampai gemetaran. "Cepat pulang lagi. Jangan lama-lama. Aku akan selalu nunggu sampai kamu pulang. Aku janji! Aku akan nunggu kamu nikahin aku," ucap Tiffany. Dia tak pernah menyangka, janji itu benar dia penuhi. Bahkan meski sebelas tahun lamanya. (BACA SEPASANG SEPATU DAN BELI BUKU CETAKNYA DI TOKOPEDIA ATAU SHOPEE UNTUK TAHU KELANJUTAN CERITA MEREKA)

SAMPAI KETEMU MINGGU DEPAN

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DylanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang