Tiffany menunggu Dylano menurunkan standar motornya. Barulah mereka jalan berdua saling menuntun menuju kelas. "Minggu ini kamu enggak akan ke mana-mana?" tanya Dylano.
"Emang mau ke mana? Gerobak ayah enggak ada liburnya. Jadi keluargaku hampir enggak pernah jalan-jalan. Paling ke undangan tetangga," jawab Tiffany.
"Mau jalan enggak?"
"Ini sudah jalan," jawab Tiffany polos sambil menunjuk kakinya.
"Bukan jalan itu, maksudku jalan-jalan. Kita ke .... Ke kebun teh pernah?"
Tiffany menggeleng. Kebun teh yang pernah dia lihat hanya di televisi. Jawaban itu membuat Dylano tampak bahagia. "Ya sudah, kita ke kebun teh!" serunya.
"Ngapain di kebun teh? Metik teh?"
"Nyari jin," jawab Dylano sekenanya.
"Kalau Ayah enggak izinin gimana? Soalnya aku belum pernah pergi jauh-jauh sendiri."
Dylano merapikan poni rambut Tiffany. Mereka sudah biasa membuat siswa dan siswi lain iri. "Makanya kamu harus belajar tidak jujur."
"Bohong, dong?"
"Enggak, cuman berdusta," jawab Dylano sambil terkekeh.
"Aku enggak berani dusta sama Ayah. Takutnya nanti kualat."
Dylano menahan lengan Tiffany hingga gadis itu berhenti berjalan. Setelah itu, Dylano pegang bahunya. Tiffany mendongak agar bisa menatap mata Dylano. Sedang pacarnya yang punya tinggi lebih dari seratus tujuh puluh itu harus menunduk. "Habis bohong, tobat lagi."
"Tobat enggak segampang itu, Dylan. Buktinya kamu masih nakal. Aku sudah suruh kamu enggak nongkrong sama sembarangan orang, masih saja aku lihat kamu di trotoar sama mereka."
"Mereka orang baik. Cuman saja baik kata orang sama baik kata kami beda," jawab Dylano.
Tiffany menggelengkan kepala. "Baik itu dinilai atas norma dan moral juga agama. Kalau hanya sebatas satu kaum saja itu, itu hanya pembelaan atas sesuatu yang salah agar jadi benar."
"Tapi kan ...."
"Terserah kamu mau baik atau enggak. Yang jelas kamu tahu sendiri, kalau aku melakukan ini bukan karena aku enggak cinta kamu apa adanya. Kadang, cinta itu ingin agar pasangan mendapat yang terbaik. Aku enggak mau kamu rusak karena minum, makan dan melakukan gaya hidup yang enggak sehat. Ngerti?"
Dylano mengangguk.
"Kalau kamu pikir aku ribet atau banyak ngatur, aku enggak maksa. Kalau pun kamu mau akhirin ini semua ...."
"Aku mau hidup sama kamu!" tegas Dylano.
"Jadi mau janji enggak nakal lagi?"
"Tapi sesekali boleh ketemu mereka, 'kan? Silaturahmi gitu," alasan Dylano.
"Silaturahmi tujuannya baik. Jadi kalau mau ketemu, kamu juga harus bikin mereka jadi positif," saran Tiffany.
"Masa aku harus hamilin mereka?" Dylano menaikan sebelah alisnya.
"Maksudnya buka positif hamil, Bang Dylan! Ah, kamu tuh kalau diajak ngomong suka gitu!" Karena kesal Tiffany berjalan meninggalkan pacarnya.
"Iya, aku pasti ceramahin mereka, kok. Aku ajak mereka salat, ajak mereka ngaji. Ajak mereka sekolah juga, 'kan?"
"Pinter!"
"Jadi kita jadi jalan-jalan Minggu ini?" Dylano masih memaksa.
"Aku harus bilang apa sama Ayah?" tanya Tiffany bingung.
"Bilang saja kamu mau kerja kelompok. Kalau perlu, kamu minta Lorna jemput kamu dulu dan kita ketemu di tengah jalan. Gimana?" saran Dylano.
Sampai di kelas, Tiffany bingung luar biasa. Dia menatap Lorna dan Irma gantian. Tiffany ingin pergi sebenarnya. Hanya saja, dia takut dimarahi Ayah. Izin mau ngelespun sudah dia pakai minggu ini untuk makan dengan Dylano di Mcd.
"Kenapa kamu?" tanya Lorna bingung akibat Tiffany diam saja.
"Dylano ngeselin?" terka Irma.
"Aku juga nunggu itu. Nunggu mereka berantem dan putus." Lorna kalau urusan menyumpahi memang luar biasa.
"Enggak, kok," kilah Tiffany.
"Terus kenapa?" tegur Irma.
"Dylan ngajakin jalan-jalan ke kebun teh minggu ini. Aku mau sih, belum pernah ke kebun teh. Masalahnya, gimana aku ngomong sama Ayah?" tanya Tiffany bingung.
"Mending jangan, deh. Inget, Fan. Ngapain Dylan ngajak kamu ke kebun teh yang sepi. Kenapa enggak ke wahana wisata yang rame? Pasti ada sesuatu. Kalau kamu diperkosa sama dia gimana?" Lorna sudah suuzon duluan.
"Iya. Apalagi dia anak orang kaya. Terus kamu hamil, dia pasti enggak mau tanggung jawab. Gimana pun itu Dylano, ketua geng setan. Jangan mau!" saran Irma.
Tiffany jadi seram sendiri.
"Cinta boleh, Fan. Tapi harus hati-hati juga. Namanya laki-laki sama perempuan berduaan, pasti yang ketiganya setan." Lorna menepuk bahu Tiffany.
"Eh, tapi Si Dylano kan setan. Masa setannya ada dua?" Irma menggaruk kening.
"Satu saja sudah mancing zina, apalagi dua!" tegas Lorna.
Mendengar itu, Tiffany malah semakin takut. Selama jam pelajaran dia sampai tak konsentransi. Mana mungkin Dylano begitu, pikirnya. Namun, Tiffany sering membaca berita tentang perempuan yang diperkosa setelah dibawa ke tempat sepi.
Jam istirahat datang. Dylano berdiri di depan pintu kelas. Tiffany merapikan buku dan alat tulisnya. Dia lekas berjalan menghampirinya pria itu.
"Gimana?" Lorna mau bantu?" tanya Dylano.
"Enggak usah saja, deh. Aku takut kamu perkosa," timpal Tiffany sekenanya.
"Hah? Maksudnya gimana?" tanya Dylano bingung.
"Terus kenapa kamu ajak ke tempat sepi, bukannya ke tempat ramai gitu? Kata Lorna dan Irma, kamu bisa saja mau merkosa aku."
Dylano menggeleng-gelengkan kepala. "Heh, Lorna! Irma! Kalian tahu enggak, fitnah itu lebih kejam daripada membunuh nyamuk?" omel Dylano.
Irma dan Lorna hanya nyengir kuda. Mereka juga enggak nyangka Tiffany akan blak-blakan soal itu ke Dylano.
🍒🍒🍒
KAMU SEDANG MEMBACA
Dylano
Teen FictionRank #1NCTAU "Pegangan sini!" Dylano menunjuk pinggangnya. Namun, Tiffany diam saja. "Enggak mau pegangan entar bisa oleng, loh. Oleng dari motor lebih bahaya daripada oleng dari hati Dylano." Nggak pernah Tiffany sangka jika masa depannya di salah...