Dylano menaikan alis. Ia usap kening sambil meregangkan kaki yang pegal akibat kelamaan jongkok. Di tangan, rokok sudah habis setengahnya, terbakar api dan terisap asap. "Bro, mau nanya nih gue. Kalau mau pacaran harus bawa apaan, sih?" tanya Dylano.
"Kondom," celetuk temannya. Mereka yang nongkrong di sana memakai baju dan jaket hitam. Beberapa mewarnai rambut dengan warna merah seperti anak ayam yang dijual di pasar malam. Rantai segala besi-besian ditindik di tubuh dan melingkar di lengan dan leher. Hanya Dylano yang masih terlihat polos.
Tangan Dylano menepuk kepala temannya. "Anjing! Yang bener gue tanya! Emang lukira gue ngapelin bondon? Cewek gue anak baik-baik. Dia dapat beasiswa, cewek cerdas! Bahaya kalau masa depan bangsa dirusak."
"Kasian dong dia pacaran sama beban negara. Sama saja rusaknya," ledek Ben, sepupu Dylano yang nakalnya ikut-ikutan. Tentu Dylano pembawanya.
"Kita enggak ada yang tahu masa depan, ya? Sapa tahu saja gue tiba-tiba dapat hidayah." Dylano mengusap rambutnya.
"Lupikir hidayah itu pamflet pengobatan alternatif yang bisa lu pungut di mana saja? Kagak, Bro! Hidayah itu buat orang-orang yang hatinya terbuka akan kebaikan, kita enggak masuk antrean."
Kali ini telinga Ben jadi korban Dylano. Ditarik telinga itu hingga Ben berteriak kesakitan. "Gue nanya yang bener malah lubawa ngibul ke Cicalengka! Jawab! Mau ngapel gue! Sekalian beli cireng!"
"Kalau nyokap biasanya sih diapelin sambil bawa martabak." Bentor, bukan nama sebenarnya. Nama aslinya Salvador Komarudin. Ia mendapat ilham setelah berpikir tak terlalu lama.
"Iya, mantep tuh! Otomatis lu pasti langsung diterima sama mertua!" timpal Teddy.
Dylano tersenyum puas. "Tumben lubener jawabnya, Tor! Biasanya juga jawabanlu belok. Kali-kali lu jawab bener pas ujian di sekolah, kek!"
Kali ini dia mengeluarkan dompet. Ia berikan uang dua puluh ribu untuk Bentor, pengamen jalanan yang sudah jadi sohibnya. "Makasih, Bos!" seru Bentor mencium uang hijau itu dan memasukan ke dalam kantong celana.
Kakinya lekas berjalan ke tukang martabak. Ia pesan martabak kacang dan cokelat walau si empunya gerobak terlihat risi. "Ini dibayar, enggak?" tanya penjual martabak.
"Jangan suuzon dulu. Jangankan satu loyang, ini gerobak kalau aku beli juga bisa. Termasuk celana dalam Emang!" timpal Dylano. Ia sampai mengeluarkan dompet dan memperlihatkan barisan kartu debitnya.
"Dapet dari mana tuh, Jang?"
"Dari Papa, lah! Kerjaan nongkrong di jalan boleh, tapi orang tua harus pengusaha, dong!"
"Kalau anak orang kaya, ngapain harus gitu segala. Belajar yang bener. Enggak ada namanya harta enggak habis tujuh turunan. Kasian orang tua kamu."
"Namanya masih remaja, Mang. Masih mencari jati diri," jawab Dylano sekenanya.
"Nyari jati mah di leuweung (hutan)," timpal Mang Martabak.
"Itu mah kayu jati! Jati diri!"
Selesai beli martabak, Dylano lekas mengambil motornya yang diparkir di pinggir jalan. Motor Yamahmud warna Biru itu langsung mengeluarkan suara deru mesinnya yang sangar. Tak lama langsung menjejal jalan. Padahal dari tempat nongkrong ke gerobak Tiffany tak terlalu jauh. Lima belas menit jalan kaki sampai.
"Kultur jaringan, metode, budidaya jaringan jadi individu baru, induk." Tiffany masih mencoba menghafal kata kunci dari pengertian sebuah kata.
"Belajar yang rajin, Beb. Biar kelak bisa ajarin anak kita," timpal seseorang membuat Tiffany kaget. Gadis itu berbalik dan menemukan bos para setan ada di sisi gerobak.
"Tuan Dylano? Ngapain ke sini?" tanya Tiffany.
Dylano melangkah. Ia duduk di samping Tiffany. "Mana Papa mertua? Aku mau ngasih martabak. Dimakan. Buat nambah energi. Buat kamu juga, nambahin lemak. Kurus, enggak enak meluknya."
Tiffany langsung mengambil buku paket biologi dan langsung ia peluk. Kalau Dylano macam-macam, ia akan gunakan itu sebagai pertahanan awal. Kedua, kompan bekas minyak goreng dan ketiga, spatula gorengan.
Keresek martabak itu Dylano simpan di atas meja. Pria itu melipat tangan di dada. "Belajar apa itu?" tegurnya. Ia tarik buku paket di tangan Tiffany.
Di sana Tiffany sadar betapa kuat pria di depannya. Padahal ia peluk erat buku itu, tetapi Dylano begitu mudah merebutnya dengan satu tangan. "Biologi? Ini pelajaran apaan?"
"Tentang makhluk hidup."
"Ada cinta-cintaannya juga?"
"Enggak, cuman tentang sel tubuh dan elemen alam lainnya."
"Enggak asik. Cinta juga bagian dari makhluk hidup, 'kan?"
Tiffany meremas kain kaosnya. "Itu masuk ranah psikologi harusnya."
"Ada pelajaran gitu di sekolah?" Dylano tampak antusias.
Dengan yakin Tiffany mengangguk. "Psikologi remaja. Gurunya Bu Ainun. Di sana dibahas tentang remaja termasuk juga soal cinta."
Mendadak jantung Tiffany hampir copot mendengar Dylano menggebrak meja. "Asik, nih! Aku ikutan. Jam berapa? Hari apa?"
"Setiap Kamis jam sembilan."
Tak lama wajah pria itu berubah kesal. "Bu siapa tadi gurunya? Biar minta pindah saja! Jam sembilan aku masih ngantuk!"
Alis Tiffany terangkat. "Lha, dia pikir dia siapa? Mana ada jadwal pelajaran ngikutin maunya dia?" batin Tiffany.
"Ada prakteknya juga, enggak? Kita setim, 'kan? Bisa daftarnya di mana buat ngasih tahu kalau kita jatuh cinta?"
"Maksudnya Tuan gimana?"
🍒🍒🍒
KAMU SEDANG MEMBACA
Dylano
Novela JuvenilRank #1NCTAU "Pegangan sini!" Dylano menunjuk pinggangnya. Namun, Tiffany diam saja. "Enggak mau pegangan entar bisa oleng, loh. Oleng dari motor lebih bahaya daripada oleng dari hati Dylano." Nggak pernah Tiffany sangka jika masa depannya di salah...