"Hai, Fany!" sapa Ema sambil melambaikan tangannya.
Tiffany mendongak. Tadinya dia sedang membantu Bunda merapikan hasil setrikaan di rumah wanita itu. Senyum Tiffany terkembang. Ia sedikit menunduk. "Halo, Kak Ema. Senang ketemu Kakak," balas Tiffany.
Ema duduk di sofa dekat Tiffany. Rumah Ema masih berupa rumah dengan desain peninggalan Belanda. Terlihat bagian depan rumah dindingnya memiliki pola bebatuan. Sedang bagian dalam, lantainya terhias ubin hitam.
"Kamu sekolah kelas berapa dan di mana?" Ema kelihatannya sangat penasaran dengan putri dari wanita yang sering menyetrika di rumahnya itu.
"Aku masih kelas satu. Di SMA Berbudi. Sebentar lagi naik kelas dua," jawab Tiffany malu-malu.
"SMA Berbudi? Itu 'kan salah satu SMA elite. Wah, pasti kamu pinter banget bisa masuk situ," puji Ema tampak kagum.
"Makasih, Kak. Kalau Kak Ema sudah kuliah, ya?"
"Iya, aku kuliah jurusan hukum di UNPAD. Kampusnya masih di Bandung, sih," jawab Ema.
Tiffany yang kali ini terlihat kagum. "UNPAD? Fany mau banget kuliah di sana kalau ada uangnya," ucap gadis itu dengan polos.
Tangan Ema mengusap pipi Tiffany gemas. "Anak pinter kayak kamu, kuliah enggak perlu uang. Nanti aku bantu dapetin beasiswa di sana, deh. Kalau perlu aku mau minta rekomendasi dari pihak kampus biar kamu lulus. Pokoknya kamu harus bisa kuliah."
Mereka membicarakan banyak hal, mulai tentang pengalaman sekolah hingga pergaulan. "Emang sih, kalau sama anak orang kaya, kita harus banyak merendahnya. Tapi enggak semua dari mereka sombong, kok. Aku malah punya teman yang baik banget. Pokoknya tuh, dia enggak mandang kerjaan orang tua kita. Aku juga di SMA Raihan sering dijauhin gitu."
"Padahal Kak Ema anak orang kaya," timpal Tiffany.
"Mereka rata-rata anak pengusaha. Anak pejabat kayak aku, masih biasa buat mereka."
Tiffany melipat pakaian di tangannya dan dia tumpuk sesuai ukuran untuk dipindahkan ke meja. "Temanku juga ada yang baik banget. Namanya Lorna sama Irma. Mereka tuh selalu nemenin aku kalau di sekolah," ungkap Tiffany.
Ema tersenyum. Dia menunjuk wajah Tiffany. "Kamu cantik. Pasti sudah punya pacar, 'kan?" todong gadis itu membuat Tiffany kaget.
Jelas Tiffany langsung menatap ke arah Bundanya. Dia takut kena marah dan lekas menggeleng. "Enggak ada, kok. Siapa yang mau pacaran sama Fany. Mereka semua tahu Fany miskin," alasan gadis itu.
Sejak itu Ema dan Tiffany jadi semakin dekat. Setiap kali membantu Bunda di rumah itu, Fany menjadi teman Ema berbagi cerita. Hingga hari itu.
"Bunda, aku ajak Fany makan di luar, ya? Boleh?" tawar Ema.
Bunda merasa tak enak putrinya dekat dengan anak majikan. "Enggak apa-apa atuh, Bun. Ema enggak ada temannya. Sekali-kali dia main ke luar," izin Ratih, ibu Ema.
Merasa mendapat lampu hijau dari atasannya, barulah Bunda mengizinkan Tiffany pergi dengan Ema. Mereka pergi naik motor matic yang biasa Ema gunakan ke kampus. "Kamu suka makan apa? Daging? Apa ayam?" tawar Ema.
"Gimana Kak Ema saja," jawab Tiffany.
Ema berikan helm untuk Tiffany kenakan. Barulah keduanya naik ke atas motor. Dari halaman rumah Ema yang masih dialasi kerikil, mereka menempuh perjalanan ke Dipati Ukur. Di sana ada salah satu warung makan terkenal yang menjual ayam serundeng dengan sambal hijau melimpah.
Ema turun di depan gerobaknya. Dia langsung mengeluarkan ponsel dan mengangkat telpon. "Aku lagi mau makan sama teman. Jangan ganggu!"
Ema terdiam beberapa saat. Sedang Tiffany sudah turun dan melepas helm. Samar, dia mendengar suara bisikan dari ponsel Ema. "Di ayam SPG, kok. Enggak jauh juga. Pokoknya jangan ganggu!" omel Ema.
Tiffany dan Ema lekas masuk ke dalam. Mereka duduk di bangku yang berhadapan. Ema memesan dua paket ayam komplit. "Makan di sini tuh enak terus murah. Kamu kalau nanti kuliah di sini, pasti sering ke sini juga. Anak kampus sering nyari makan sekitar sini," ungkap Ema.
Tiffany menganggukan kepala. Tak lama pesanan mereka datang. Hendak makan, Ema malah terpaku ke jalan masuk. "Aku ke sana dulu sebentar. Kamu makan duluan saja." Ema berdiri dan berjalan ke luar. Tentu Tiffany memilih menunggu saja. Dia tak enak kalau makan duluan.
Sengaja Tiffany memandang sekitar. Banyak mahasiswa makan di sana bersama pasangannya. Tak lama Ema datang dengan seseorang. "Kenalan dulu! Ini temanku!" tegas Ema galak. Tiffany mendongak ke arah suara Ema. Dia mendadak kaget melihat pria yang bersama dengan Ema pun pria itu.
"Fany, ini pacar aku, Daniel," ungkap Ema.
"Pacar?" tanya Tiffany bingung karena seingatnya, seminggu lalu pria itu menggoda dan mengajaknya pacaran.
Daniel duduk dengan wajah takut di samping Ema. "Bilang hai sama Fany!" omel Ema layaknya seorang kakak pada adiknya.
"Hai, Fany," salam Daniel dengan suara pelan.
"Kami pacaran sudah setahun. Dari dia lulus SMP," ungkap Ema.
Tiffany menggaruk kening. Setahun lalu baru lulus SMP, batinnya. "Kami emang beda lima tahun. Dia itu sih sering godain aku terus. Daripada pacaran sama laki-laki seumur malah diapa-apain. Mendingan pacaran sama cowok imut kayak dia." Ema mencubit pipi Daniel gemas.
"Malu, ih. Diliat orang," keluh Daniel.
"Tumben! Biasanya juga suka manja!"
Tiffany hanya nyengir kuda.
🍒🍒🍒
KAMU SEDANG MEMBACA
Dylano
Roman pour AdolescentsRank #1NCTAU "Pegangan sini!" Dylano menunjuk pinggangnya. Namun, Tiffany diam saja. "Enggak mau pegangan entar bisa oleng, loh. Oleng dari motor lebih bahaya daripada oleng dari hati Dylano." Nggak pernah Tiffany sangka jika masa depannya di salah...