Tiffany datang ke sekolah seperti biasa. Ia duduk di mejanya. Irma lansung menghadapkan kursi meja Tiffany. "Kamu kemarin ngehilang ke mana, sih! Aku nyari kamu tahu!"
"Kapan?" tanya Tiffany.
"Waktu istirahat sama jam pulang. Tadinya mau sekalian antar kamu pulang. Kamu masuk barengan guru. Mau nanya juga bingung, takut kena marah."
"Ouh, aku nyari tempat sepi. Enggak enak kalau ada anak-anak lain," jawab Tiffany.
"Enggak enak karena apa? Emang kamu ngapain?" Lorna ikut bicara sampai membalikan kursi.
"Iya ampun, liat. Di kelas saja mereka jauhin aku," jelas Tiffany.
"Halah! Orang-orang otak pendek mereka!" umpat Lorna.
Tiffany bingung mau bilang soal Reva pada mereka, bisa saja jadi masalah kw depannya. "Emang kalian enggak takut dijauhi anak lain karena dekat sama aku?"
"Enggaklah! Ngapain? Apa ruginya? Emang mereka ngasih aku sumbangan kapal pesiar?" Irma menanggapinya santai dan langsung Lorna iyakan.
Waktu berlalu. Pelajaran hari ini membuat mereka harus pindah ruangan ke audio visual room. Ruangan seperti bioskop tiga dimensi yang isinya video pembelajaran.
Tiffany melihat waktu di jam tangannya. Sudah pukul dua belas siang. Akhirnya jam berbunyi. Ia mengambil tas dan lekas lari sebelum Irma dan Lorna menghentikannya. Walau dengan kedua gadis itu, ia tahu tak boleh menyentuh zona anak-anak kaya.
Tiffany berlari di lorong. Ia kaget melihat Reva dan temannya mencegat tak jauh dari pintu. Mereka menarik lengan Tiffany. "Jangan teriak! Kalau enggak, mampus kamu!" ancam mereka.
Tiffany mengangguk saja. Ia mengikuti geng wanita populer kelas satu itu. Menyusuri lorong, mereka tiba di salah satu kelas yang tidak digunakan. Ruangan itu kosong. Reva mendorong Tiffany tepat di dalam. Mereka tahu di sana tidak ada CCTV.
Tak lama Hani datang dengan seember air dan lap pel. "Bersihin ruangan ini! Sampai selesai waktu istirahat, aku mau ruangan ini bersih!" tegas Reva.
Tiffany menganggukan kepala. Mereka lekas pergi keluar ruangan dan meninggalkan Tiffany di sana sendirian. Gadis itu menarik napas. Ruangan ini sekilas memang terlihat bersih. Hanya karena tak digunakan jadi lebih mudah berdebu. Ia lekas lap seisi ruangan. Bukan dengan lap pel yang memiliki pegangan, lap biasa yang harus memakai tangan.
Saat itu, Tiffany tak tahan untuk meneteskan air mata. Ia ke sini untuk belajar, tetapi malah diperlakukan seperti pembantu. Tak lama sebelum bel masuk berbunyi Reva kembali datang. Wanita itu memeriksa sesisi ruangan. Tangannya menampar pipi Tiffany. Jelas Tiffany kaget. Ia jambak rambut Tiffany dan diseret ke dekat jendela.
"Liat, enggak? Lihat! Ada debu di sini dan enggak kamu bersihin?" Reva toyor jidat Tiffany. Gadis yang ia jambak menunduk sambil memegangi rambut.
Reva ambil ember bekas ngepel. "Ambil lagi air dan bersihin!" Padahal sebentar lagi jam masuk. "Buang!"
Tiffany mengambil ember itu dari tangan Reva. Ia hendak keluar, tetapi langsung ditahan. "Buang ke jendela!" tegas Reva.
"Nanti nodanya kena tembok. Bisa dimarahi sekolah," tolak Tiffany.
"Buang ke jendela!" tegas Reva. Tiffany tetap menggeleng hingga Reva mencubitnya. Akhirnya gadis itu mengangguk. Ia berjalan ke jendela dengan langkah gemetar. Tiffany naikan embernya ke rangka jendela. Ia buang air bekal pel lantai itu ke luar. Dan saat itu, terdengar suara seseorang memaki dari bawah.
"Eh, Anjing! Siapa yang nyiram gue!"
Reva, Tiwi dan Hani tertawa. Mereka sudah tahu di bawah sana Dylano sedang duduk sambil minum cendol. Jelas tangan Tiffany bergetar. Kakinya sampai lemas.
"Mampus lo! Dylano enggak bakalan biarin lo idup!"
Tiffany menunduk. Keringatnya menganak sungai. Kali ini suhu tubuhnya menurun drastis. Mata Tiffany basah dan air mata mengucur dari sana. "Kenapa kalian jahat banget? Padahal aku enggak niat ganggu," ucap Tiffany lirih.
"Halah! Ada elo di sini saja sudah ganggu!" sindir Hani.
Tak lama pintu ruangan di tendang. Para wanita itu kaget dibuatnya. "Siapa anjing yang nyiram gua? Hah!" tegur Dylano yang basah kuyub. Wajahnya memerah saking kesalnya.
"Tuh, dia!" tunjuk Reva.
Mata Dylano berpaling pada pelaku yang masih memegang ember di tangan. Ia dekati gadis itu. Dylano sedikit menunduk. Ia kaget melihat mata Tiffany sudah basah. "Kamu yang siram itu?" tanya Dylano. Tiffany tak ada pilihan selain mengangguk.
"Siapa yang suruh?" tanya Dylano. Tiffany mengangkat wajahnya. Ia melirik Reva, tapi mendapat pelototab tajam.
"Sendiri. Aku mau buang airnya. Habis selesai ngepel," jawab Tiffany terbata-bata. Tak lama tangisnya pecah. "Maaf, aku enggak tahu ada Tuan di sana. Beneran enggak tahu."
"Siapa suruh kamu ngepel? Kamu di sini siswa! Bukan cleaning service!" tegas Dylano sedikit emosi. Pria itu berbalik dan melihat tiga wanita di sana. "Siapa diantara kalian yang ngerjain dia! Ngaku! Kalau enggak ngaku, aku kasih perhitungan sama kalian!"
"Dia mau sendiri, kok. Katanya buat balas budi," alasan Reva.
"Halah! Bacot lo!" Pria itu lekas menjambak rambut Reva. Di sana Reva yang ketakutan langsung berteriak. Ia diseret Dylano ke jendela dan langsung didorong ke luar. Reva hampir jatuh dari lantai dua. Jelas Tiffany, Tiwi dan Hani berteriak kaget. Reva apalagi. Sampai menangis kejer dia. Ternyata Dylano menahan tubuh gadis itu. Dia juga gilanya enggak utuh, kok!
"Kamu yang suruh dia ngepel?" tanya Dylano lagi.
Reva tak ada pilihan lain. Dia harus mengaku dibanding dilempar Dylano keluar. Walau setelah itu, tak tahu apa yang akan dilakukan Dylano padanya.
💐💐💐
KAMU SEDANG MEMBACA
Dylano
Fiksi RemajaRank #1NCTAU "Pegangan sini!" Dylano menunjuk pinggangnya. Namun, Tiffany diam saja. "Enggak mau pegangan entar bisa oleng, loh. Oleng dari motor lebih bahaya daripada oleng dari hati Dylano." Nggak pernah Tiffany sangka jika masa depannya di salah...