Kadang Tiffany selalu berpikir, mengapa pria baik dan sesempurna Dylan harus mendapatkan gadis seperti dirinya? Gadis yang mungkin seumur hidup akan selalu menyusahkan. Gadis yang tak pernah bisa membanggakan. Gadis yang hanya membuatnya terhina. Dan gadis yang tak berdaya.
Dylan lahir dalam keluarga terhormat, darah yang mengalir padanya adalah darah bangsawan yang konon tak akan dimiliki orang seperti Tiffany. Kakinya bahkan tak pantas untuk menyentuh tanah secara langsung. Kemana pun ia pergi semua orang menghormatinya. Hidup di antara pagar tinggi yang tak akan pernah bisa dilewati orang seperti Tiffany.
Sedang Tiffany, lahir di tempat penuh kebisingan dan kekejaman dunia. Dunia yang penuh penderitaan, di mana manusia yang kelaparan, haus akan uang dan jabatan. Sejak kecil hidup di jalanan, bersama dengan bau peluh orang-orang yang mencari makan untuk keluarga. Bukan hanya tanah, bahkan lumpur pun mereka rela tidur di atasnya, hanya untuk sesuap nasi.
Tiffany pikir tak akan pernah bisa melampaui batas itu. Akhirnya dia putuskan untuk meninggalkan Dylano.
Sudah satu minggu Tiffany tak masuk sekolah. Ayah sudah tahu tentang masalah bullying yang sering di alami anaknya. Kini Ayah sedang mencari uang untuk memindahkan Tiffany ke sekolah umum di mana banyak anak seperti Tiffany sekolah di sana.
Tiffany akan keluar dari batas di mana hidupnya dan Dylano bisa berpapasan. Mereka akan kembali pada kehidupan mereka masing-masing. Tiffany senang, tetapi kesenangan ini ia bangun dalam kuburan sendiri. Dylano bukan hal yang mudah untuk dilupakan.
Meliburkan diri seminggu, Tiffany hanya membantu Ayah menjual gorengan di pinggir jalan. Sesekali mengantar kiriman gorengan atau membantu Bunda menggoreng pisang goreng, dan bala-bala. Sibuk sekali, tetapi hasilnya tak seberapa.
“Neng Fany, gehuna sapuluh sareng bala-balana lima, nya?” Hampir setiap pelanggan Ayah mengenal Tiffany. Mereka sangat baik dan kadang memberi Tiffany uang jajan. Bahkan ada yang setiap hari meminta Tiffany menjadi menantu mereka. Gadis itu terkenal rajin dan sudah mau membantu Ayah berjualan walau dulu masih balita.
“Muhun, Bu!” Tiffany memasukkan beberapa gehu dan bala-bala ke dalam bungkus kertas. Ayah tak pernah menggunakan bungkus plastik untuk gorengannya, sangat berbahaya.
Di sela-sela kesibukan itu seseorang menatap Tiffany dari jauh. Gadis itu bukan tak menyadari, Tiffany hanya tak ingin melihat orang itu lagi, terlalu menyakitkan.
Setelah ibu itu pergi, roda gorengan Ayah jadi sepi. Hanya Tiffany sendiri di sini. Ayah dan Bunda pulang dulu untuk istirahat sejenak. Dari tadi malam mereka tak hentinya berjualan. Roda ini memang buka dari pukul lima pagi sampai pukul enam sore. Waktu yang lama dan menyiksa untuk mereka yang sudah semakin tua.
Orang itu menyeberang dan menghampiri Tiffany Sesekali dia menatap di sekitarnya, memastikan tak ada satu orangpun yang memperhatikan mereka. Jantung Tiffany semakin berdebar.
"Apa yang akan dia katakan padaku dan apa yang harus aku katakan padanya?" batin Tiffany.
“Tif, kamu kemana saja?” tanyanya.
Tiffany tak menatapnya. Hanya berpura-pura sibuk dengan pekerjaan.“Tif, seminggu ini Lorna bilang kamu nggak pergi sekolah. Kenapa?” tanya dia lagi.
“Aku keluar,” jawab Tiffany pelan. Dadanya mulai sesak.
“Kamu gak perlu keluar. Aku yang akan menanggung semuanya,” ucapnya.
“Sudahlah, Tuan muda! Semua sudah berakhir antar kita. Mau seperti apapun kita tak pernah bisa bersama. Jadi aku mohon sekali, pergi dari sini!”
“Jika kamu bicara denganku, tatap mataku, Tif!” tegasnya.
Tiffany menggeleng dan masih memunggunginya. “Kamu memang tak pernah mengerti. Kamu tak pernah percaya padaku,” tambahnya.
“Aku bukannya tak percaya, bukannya tak mengerti. Hanya saja keadaannya ....”
“Kamu tak percaya padaku,” Dylan memotong kalimat Tiffany
Mendengar itu membuat Tiffany sakit. Air mata gadis itumengalir.
“Aku mati saja jika begitu!” ancamnya.
Dia pergi dari tempatnya berdiri, berjalan menyeberangi jalan tanpa menghiraukan kendaraan-kendaraan yang sedang padatnya mengisi jalanan itu. Berkali-kali dia hampir tertabrak dan membuat pengendara membunyikan klakson pun memaki. Dia tak main-main dengan ucapannya. Dia benar-benar akan mati.
“Dylano!” panggil Tiffany. Akhirnya gadis itu menyerah. Tiffany mungkin tak pernah pantas untuknya. Namun, Tiffany tak ingin melihat Dylano mati.
Gadis itu berlari menyusul Dylano. Ditarik lengan pria itu ke sisi jalan lalu ia peluk dengan wajah sedih dan mata basah. “Jangan tinggalkan aku sendiri! Jangan mati!” pekik Tiffany lagi.
Dylano balas memeluk Tiffany. Dia usap rambut gadis itu. "Maafin aku. Aku janji nanti kalau melakukan apa pun akan aku diskusikan sama kamu. Aku memang yang ceroboh. Sama sekali aku enggak mikirin kamu akan sakit hati," ucap Dylano.
Tiffany menggeleng. "Makasih banyak. Kamu sudah jauh memberi lebih untukku. Buatku lihat kamu sehat lebih berarti dari apa pun. Jadi tolong jangan nyusahin diri sendiri lagi, ya?" pinta Tiffany.
Dylano anggukkan kepala. "Besok sekolah lagi, ya? Jangan berhenti. Kamu mau kuliah, 'kan? Kejar cita-cita kamu. Maafin aku."
🍒🍒🍒
KAMU SEDANG MEMBACA
Dylano
Teen FictionRank #1NCTAU "Pegangan sini!" Dylano menunjuk pinggangnya. Namun, Tiffany diam saja. "Enggak mau pegangan entar bisa oleng, loh. Oleng dari motor lebih bahaya daripada oleng dari hati Dylano." Nggak pernah Tiffany sangka jika masa depannya di salah...