"Bu, Fany mau bayar buku yang kemarin," ucap Tiffany saat dia ke ruang kesiswaan.
"Loh, sudah dibayar sama Dylano. Malah bukunya juga sudah sama Dylano," ungkap guru tersebut.
Tiffany jelas kaget luar biasa. "Kapan, Bu?" tanya gadis itu.
"Sudah beberapa hari lalu."
Pergi dari ruangan itu, Tiffany lekas berlari ke kelas. Duduk di kursi, dia merasa tidak enak hati. "Apa jangan-jangan Dylano kerja untuk bayar bukuku?" tanya Tiffany dalam hati.
Lorna dan Irma terlihat saling ledek hingga melempar pengahapus. Tiffany masih diam seribu bahasa sambil melirik ke luar jendela. Tangannya mengepal.
"Kamu kenapa?" tanya Lorna penasaran.
"Kamu tahu Dylano kerja paruh waktu?" tegur Tiffany.
Lorna dan Irma saling tatap. "Dia sempat nanya sama kita, sih. Tapi beneran kita enggak tahu kalau dia nekat sampai beneran dilakuin." Lorna menaikkan jari telunjuk dan tengahnya.
"Dia sakit karena kerja paruh waktu. Dan uang yang dia kumpulin itu buat bayar buku aku. Kenapa sih aku ini sering nyusahin dia? Enggak bisa sedikit saja aku pantas buat dia?" tanya Tiffany sambil meneteskan air mata.
"Jangan mikir begitu, Fan. Dylano tulus sayang sama kamu. Dia melakukan itu untuk kamu agar bisa bikin kamu senang," jelas Irma.
"Senangnya di mana, Ir? Aku tuh sayang sama dia tulus. Enggak ada sampai mikir begitu. Aku enggak butuh uang dia karena aku bisa cari sendiri," tegas Tiffany. Gadis itu sampai melipat tangan di atas meja dan menyembunyikan wajah di atas lipatan tangannya.
Pulang sekolah, Tiffany sampai jabur dari Ben dan Teddy. Dia berlari naik ke dalam angkot dan pulang sendiri. Mata gadis itu sembab. Bahkan diangkot dia hanya menunduk malu takut terlihat orang lain habis menangis. Ditutupi wajah dengan hoodie.
Akhirnya tiba Tiffany di rumah. Dia turun dan membayar angkot. Tiffany lari dan memeluk Ayahnya yang sedang menggoreng gorengan.
"Ada apa ini?" tanya Jatmika.
"Fany enggak mau sekolah lagi, Ayah. Di sana Fany enggak diterima anak lain. Mereka sering bully Fany. Tiffany enggak betah di sana, Ayah," adu gadis itu.
Jatmika bukannya tidak mau melarang atau memotivasi anaknya. Dia tahu Tiffany anak yang kuat. Kalaupun sampai menangis, pasti anak ini merasa sangat kesakitan dalam batin hingga tiada tertahan
"Ya sudah, kamu berhenti sekolah dulu dan pikirkan baik-baik. Ayah akan cari uang biar biasa sekolahin kamu ke sekolah biasa. Sambil menunggu, siapa tahu pikiran kamu berubah. Ayah enggak akan memaksa. Apa pun keputusan kamu akan Ayah hargai," ucap Jatmika.
Sebagai seorang ayah, dia mungkin tidak tahu sedalam apa rasa putrinya. Dia hanya bisa berusaha bicara dari hati ke hati dan memahami. Apalagi Tiffany tumbuh dengan penuh kekurangan. Anak itu terbiasa hidup dengan kekuatannya sendiri. Ada saat di mana Jatmika harus mengambil keputusan terbaik.
Jatmika meminta Tiffany duduk dan memberikan putrinya minum. "Coba cerita sama ayah. Sejauh apa mereka memperlakukan kamu sampai begini?" tanya Jatmika.
"Tiffany sering dijauhi, bahkan dikatai. Mereka juga sering ledek Fany. Memang ada yang baik sama Fany, cuman yang enggak suka banyak," adu gadis itu. Dia tak mau alasan dia seperti ini karena sikap Dylano.
Mungkin terlihat kekanak-kanakan. Tiffany memang masih anak-anak. Hanya saja dia sudah berusaha sejauh ini untuk tidak merepotkan orang lain. Ujungnya tetap saja dia membuat sulit Dylano bahkan membuat pria itu sakit.
Keesokan harinya Tiffany jelas tidak sekolah. Dia hanya menunggui gerobak gorengan ayahnya dan sesekali mengantar gorengan. Sedang Jatmika masih berusaha mencari pinjaman untuk memindahkan Tiffany sekolah.
"Makanya anak kamu itu jangan sok gaya masuk sekolah elit. Sudah jelas di sana anak orang kaya semua. Di sekolah negeri saja dia sudah enggak punya teman sepadan. Apalagi dia sekolah semahal itu!" omel Wa Enti saat Jatmika datang meminta bantuan. Bukannya membantu, dia hanya mengomentari dengan cara yang tidak nyaman.
"Maafin aku, Wa. Namanya anak waktu itu senang dapat sekolah gratis. Apalagi aku enggak mampu sekolahin dia. Tiffany cuman merasa bangga. Wajar saja."
Wa Enti mendelik. "Sudah gini jadi nyusahin orang lain, 'kan? Mending kalau bapaknya ada duit. Ini sudah bapaknya enggak ada duit, mentingin ego lagi. Dia bentar lagi juga lulus! Suruh tahan saja!"
Jatmika tidak berani melawan. Dia hafal betul karakter kakaknya itu. "Kira-kira Uwa bisa bantu, enggak?" tanya Jatmika.
"Mana ada! Aku enggak punya uang. Bayar sekolah Maira kamu pikir berapa? Suruh anak kamu cari sendiri! Dia sendiri yang mau pindah, kenapa nyusahin orang lain!" omel Wa Enti.
Sakit hati Jatmika mendengarnya. Dia memilih pamitan pulang dan berpikir bagaimana cara mencari pinjaman setelah ini. Pria itu melangkah dengan langkah yang lemas. Matahari begitu terik di atas sana. "Sabar, Fany. Nanti Ayah akan usahakan buat kamu. Yang penting kamu enggak nangis lagi. Maafin Ayah yang enggak bisa bikin kamu kayak anak lain. Kamu enggak bisa main, bahkan enggak bisa jajan," batin Jatmika.
🍒🍒🍒
KAMU SEDANG MEMBACA
Dylano
Teen FictionRank #1NCTAU "Pegangan sini!" Dylano menunjuk pinggangnya. Namun, Tiffany diam saja. "Enggak mau pegangan entar bisa oleng, loh. Oleng dari motor lebih bahaya daripada oleng dari hati Dylano." Nggak pernah Tiffany sangka jika masa depannya di salah...