Chapter 29. Sepele

1K 456 111
                                    

"Ini gadis itu?" tanya Abraham. Setelah sekretarisnya datang menunjukkan foto seorang perempuan remaja yang tengah bersama putra keduanya.

"Benar, Pak," jawab Loudy. Pria itu menunjukkan beberapa foto lainnya. "Ini foto kedua orang tuanya. Ayah anak perempuan itu berkerja sebagai penjual gorengan di daerah Pasar Cicadas. Ibunya seorang buruh cuci dan setrika. Kakaknya kuliah di universitas negeri dengan beasiswa dan anak ini pun masuk SMA Berbudi melalui jalur beasiswa," jelas Loudy.

Abraham melempar foto-foto itu ke atas meja. "Biarkan saja! Lagian mereka hanya anak remaja. Nanti juga kalau bosan, Dylano buang anak perempuan itu."

"Pihak sekolah menghubungi saya. Setelah kenal dengan anak perempuan ini, Tuan Dylano rajin ke sekolah. Dia datang tepat waktu dan prestasinya naik secara signifikan. Dia mendapat nilai terbaik di beberapa bidang pelajaran. Bahkan mengalahkan salah satu siswa terbaik di sekolahnya dalam debat sekolah," ungkap Loudy.

"Apa?" tanya Abraham kaget.

"IQ Tuan Dylano berada di skor dua ratus, Pak," ungkap Loudy.

Abraham menganggukan kepala. Tak lama dia tersenyum. "Biarkan Dylano bergaul dengan anak perempuan itu. Pastikan anak itu bisa merubah Dylano. Setelah Dylano bisa kendalikan, baru pisahkan mereka. Ini akan menguntungkan bagi perusahaan kita kalau Dylano benar-benar bisa berubah. Dareno dan Devano tak bisa diharapkan menjadi penerusku," tegas Abraham yang langsung dijawab anggukan oleh Loudy.

Dylano bersin dan mengusap hidungnya. "Aku ini sensitif kalau dibicarakan. Kayaknya ada yang ngomongin aku," keluh Dylano.

"Paling anak yang kemarin kamu kalahin lomba debat," jawab Tiffany sambil tersenyum. Keduanya tengan duduk di kantin. Tiffany melirik ke sekitar. Beberapa mencuri pandang ke arahnya. "Dylan, kayaknya mereka masih enggak nyaman aku ada di sini," keluh Tiffany.

"Siapa?" tanya Dylano.

"Siswa lainnya. Mereka biasa nyaman nongkrong di sini. Sejak aku datang, tempat ini jadi sepi," keluh Tiffany.

Kali ini Dylano berdiri. "Hoi! Siapa yang enggak suka pacarku ada di sini? Mau aku tempeleng?" ancam Dylano. Tak ada yang berani menjawab. Mereka langsung kembali sibuk dengan makanan masing-masing. "Awas ya kalau ada yang bikin sepi kantin ini dan nyalahin pacarku. Pites, nih!"

Tiffany menarik lengan Dylano. "Jangan gitu. Mereka nanti jadi takut. Lebih baik kita yang ngalah. Lagian Fany lebih suka  makan di taman, kok. Udaranya seger, pemandangannya juga bagus. Besok kita makan di sana saja, ya?" pinta Tiffany.

"Oke deh kalau emang bikin nyaman. Walau aku enggak suka ngalah. Apa itu ngalah? Apalagi buat orang yang otaknya pendek!" omel Dylano. Tiffany hanya nyengir kuda. Setidaknya Dylano mau menurut.

"Ouh iya, jadi kita ke kebun teh? Jangan dengerin Irma sama Lorna. Mereka itu kebanyakan nonton film horor," ajak Dylano.

"Gimana nanti saja, deh. Fany lagi sibuk belakangan ini," jawab Tiffany.

"Sibuk apa?" Dylano mengambil garpu Tiffany lalu menusuk ayam pop dan menyuapi pacarnya.

"Sibuk bantu Bunda di rumah Kak Ema. Soalnya Fany senang punya teman di rumah. Kak Ema baik banget," jawab Tiffany sambil mengunyah.

"Ouh, jadi sekarang aku enggak ada artinya?" Dylano menunduk lesu.

"Enggak gitu. Fany juga mau punya teman satu gender. Kan enak bisa berbagi cerita dan lebih ngerti masalah masing-masing." Tiffany menekan-nekan meja dengan telunjuknya.

Dylano memegang tangannya. Seketika itu Tiffany tertegun. "Aku selalu nyoba ngertiin kamu, kok. Aku mau kamu juga bagi cerita sama aku. Tapi kamu kayak tertutup sama aku. Aku enggak bikin nyaman?"

Di sana mereka terdiam saling bertatapan. "Aku baru pertama kali pacaran. Enggak tahu kalau sama pacar harus apa." Tiffany sama sekali tak berusaha melepas tangannya.

Dylano tersenyum kecil. "Adakalanya kamu harus tahu kalau aku sayang kamu beneran. Enggak ada satu pun niat aku jahatin kamu. Kalaupun kamu enggak nyaman sama aku, mau pergi pun enggak apa. Aku enggak akan nyakitin kamu."

Tiffany menggelengkan kepala. "Enggak gitu. Aku nyaman sama Dylan, kok. Jujur awalnya emang takut. Tapi sekarang enggak. Dylan anak baik. Orang lain emang enggak tahu, enggak lihat. Tapi Tiffany tahu kalau Dylan anak baik."

Ucapan gadis itu selalu menyentuh perasaan Dylano. Ekspresinya selalu tulus dan apa adanya. Dylano lepaskan tangan Tiffany dan mengusap kepala gadis itu. "Kamu mau tetap sama aku?"

Dengan yakin Tiffany mengangguk. "Aku malah takut kamu enggak sayang aku lagi. Soalnya aku ngebosenin."

Kini mata mereka kembali saling bertatapan. Kali ini ucapan Tiffany membuat hati Dylano sakit. "Aku akan selalu ada sama kamu, kok. Makanya jangan sering-sering sama Ema itu. Mendingan main sama aku. Aku bawa kamu jalan-jalan, makan makanan enak, lihat pemandangan, nungguin lampu merah," ungkap Dylano.

"Ngapain nungguin lampu merah?" tanya Tiffany terkekeh.

"Biar romantis. Kita bisa pegangan tangan sambil nungguin lampu merah. Bisa ngobrol romantis. Sambil deg-degan takut lampu ijo tiba-tiba datang."

"Yang ada malu dilihatin orang, Dylan."

"Biarin saja, biar mereka sirik." Dylano kembali menusuk ayam pop dengan garpu dan ia suapi Tiffany. "Makan yang banyak. Biar cepat besar terus kita nikah."

"Mau makan banyak juga, tetap saja waktu setahun itu 365 dan seperempat hari. Enggak bisa disingkat. Dan kita masih harus lewatin kelas dua, tiga dan waktu kuliah. Lebih baik selama itu tetapkan hati dulu. Siapa tahu kamu tiba-tiba oleng ke perempuan lain."

"Aku enggak jamin bisa, sih. Soalnya kamu terlalu cantik buat diselingkuhi."

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DylanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang