Chapter 13. Peringatan Iblis

1.3K 525 134
                                    

"Sujud!" titah Dylano

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sujud!" titah Dylano. Reva, Tiwi dan Hani saling tatap. "Sujud sama dia!"

Di sini Reva bingung. Bagaimana bisa Dylano malah membela gadis miskin yang menurut mereka mengotori sekolah. "Dylan, kamu tahu enggak siapa dia? Dia itu cewek kampung, bau dan miskin!" hina Reva tak terima saat Dylano memintanya bersujud.

Pria itu berjalan mengelilingi tiga gadis galak yang sedang berbaris menyisi. Dengan jahil, Dylano tendang pelan bagian betis mereka hingga satu per satu bertekuk lutut secara paksa. "Sujud!"

Daripada harus menghadapi Dylano, ketiganya memilih benar-benar bersujud di depan Tiffany. "Tuan muda, enggak usah kayak gini. Aku enggak apa-apa, kok."

"Karena aku! Aku yang kamu siram. Kalau itu kepala sekolah?"

Apa yang Dylano katakan ada benarnya. Setelah itu Reva dan temannya bangun. Wajah mereka masih pucat akibat ketakutan.

Dylano meraih tangan Tiffany. "Sudah,  balik ke kelas. Tangannya cuci. Jangan ngepel lagi. Nanti tangan kamu yang lembut kayak kain gorden bisa jadi kasar kayak keset toilet umum. Kan enggak enak aku gandengnya!"

Tiffany mengangguk. Ia lekas berjalan keluar. Sesekali Tiffany berbalik karena ketiga wanita yang membullynya masih Dylano tahan di sana.

"Sudah! Ke kelas!" titah Dylano. Tiffany lari meninggalkan ruangan itu.

Selesai? Tidak! Bukan Dylano namanya kalau hanya memberi hukuman ringan. Moto senggol bacok eh dempet kelar, tentu tak semudah itu memberi maaf.

Dengan bantuan anak buahnya, Reva dan teman-temannya diseret dan diceburkan ke got belakang sekolah, lalu dilempari sampah. "Ih!" teriak ketiga gadis itu. Mereka menangis dengan wajah merengut. Pakaian mereka hitam karena air got dan sampah plastik basah menempel di tubuh.

"Kampungan, bau dan miskin masih mending daripada kotor, jijik dan bau busuk! Hati kalian itu persis kayak penampilan kalian sekarang!" tegas Dylano berdiri di atas got tempat Reva dan temannya kini berenang.

"Tumben lurus lu, Dyl?" tanya Ben sambil terkekeh.

"Lagi ada pencerahan. Hidup gue enggak selamanya gelap. Apalagi sekarang ada lampu cempornya."

Mereka meninggalkan pelaku yang menjadi korban di sana. Sedang Tiffany duduk kebingungan melihat kursi tempat Reva duduk kosong. Selama pelajaran, ia merasa tak nyaman.

"Reva mana, ya?" tanya guru yang saat itu memimpin mata pelajaran. Tiffany meneguk ludah. Tak satu pun yang menjawab pertanyaan itu.

"Tadi pagi ada, Bu. Habis istirahat tadi enggak tahu ke mana," jawab Rangga, salah satu siswa di kelas itu.

Tiffany ada di posisi takut Reva kenapa-kenapa dan takut kalau harus megadukan soal Dylano. Jam pulang terdengar. Kali ini Tiffany memilih untuk menunggu Irma dan Lorna. "Tumben enggak buru-buru? Biasanya ilang gitu saja?" tanya Lorna.

"Tadi istirahat juga ngilang enggak tahu ke mana," timpal Irma.

Mereka berjalan ke luar sama-sama. Irma mengajak Tiffany naik mobilnya yang ada di parkiran. Namun, tiba di depan tangga, ketiganya dicegat. "Tunggu! Kalian mau bawa Nona Ratu ke mana?" tegur Ben.

Lorna dan Irma saling tatap. "Apaan sih, Ben. Awas!" bentak Lorna.

"Orang jelek kalau mau lewat ya lewat saja. Yang kita butuhin Nona cantik di samping kalian." Ben menunjuk Tiffany.

"Heh! Dia temen kami! Kalau berani macam-macam kulabrak kamu!" ancam Lorna. Dia dan Ben satu SMP. Jadi dia tahu benar siapa Ben dan bagaimana sikapnya.

"Jangan galak-galak! Engga galak saja jelek, apalagi galak!" ledek Ben.

"Sialan kamu!"

Perdebatan itu berhenti saat melihat Dylano menaiki tangga dan melihat mereka. "Ayo pulang, Beb!" ajak Dylano mengulurkan tangan tepat ke arah Tiffany.

Jelas Irma dan Lorna kaget luar biasa. "Beb? Canda lu, Dylan!" Irma sampai terbelalak.

"Heh, emang kalian enggak tahu kalau aku sama dia sudah jadian dari kemarin?"

Irma dan Lorna menggeleng. "Dia anak baik. Jangan ngancurin masa depannya cuman buat jadi mainan kamu!"

"Masa depan dia itu aku. Lagian dia bukan mainan, tapi pujaan," timpal Dylano.

"Cakep!" balas Ben, Teddy dan teman lainnya.

"Irma, Lorna. Kalian pulang berdua saja. Aku ikut Tuan muda," ucap Tiffany.

Lorna menggeleng. "Fan, kalau dia bully kamu, bilang aku saja. Aku enggak akan biarin. Kamu jangan ikut-ikut dia! Dia itu setan!"

"Tolong kalo ngomong itu saring dulu.  Dia baru dibully, aku yang nolong. Camkan itu! Jangan jadi pahlawan keterlambatan!"

"Kesiangan!" ralat Teddy.

Dylano meraih lengan Tiffany. "Sana! Jomlo jangan iri!"

"Iuh! Lepasin dia, woy!" Lorna dan Irma hendak menyelamatkan Tiffany. Namun, Dylano terus menuntun gadis itu ke parkiran. Banyak orang yang memperhatikan mereka dan terlihat kaget. Sedang Tiffany hanya menunduk.

Tiba di dekat motor Dylano, pria itu meminta temannya mengambilkan helm. Ia pakaikan Tiffany benda itu. "Kepala kamu itu berharga, jadi kalau naik motor harus pakai helm, ya?" ucap Dylano sok bijak. Ia tekan gemas hidung Tiffany lalu tersenyum. Sedang yang ada di depannya sudah tak karuan akibat takut akan celaka.

Dylano naik motor lebih dulu. Ia ulurkan tangan ke arah Tiffany. Lekas Tiffany balas uluran tangan itu dan berusaha naik ke atas kendaraan dengan warna biru tua tersebut.

"Pegangan sini!" Dylano menunjuk pinggangnya. Namun, Tiffany diam saja. "Enggak mau pegangan entar bisa oleng, loh. Oleng dari motor lebih bahaya daripada oleng dari hati Dylano."

🍒🍒🍒

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DylanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang