Chapter 5. Otaknya Kenapa?

1.5K 557 65
                                    

"Jalannya kencengin dikit!" teriak Edo di tengah lapangan sambil menggunakan TOA. Ia memberi instruksi pada siswa baru yang namanya terpilih untuk maju ke depan. Semua siswa dikumpulkan di lapangan untuk ikut acara ini.

Sialnya nama Dylano terpilih di sana. Jelas, dia tak ikut maju. Hanya duduk bersandar ke pohon belimbing sambil main game online.

Edo mengabsen siswa yang datang ke lapangan. "Rini, Citra, Yumna, Redi, Erfan, Andrew, Peter, Dylano?"

Hanya Dylano yang tidak menjawab panggilan Edo. Lekas pria itu menghitung jumlah siswa yang datang ke tengah lapangan. Kurang satu dan dia yakin Dylano yang tidak datang. "Mana Dylano!" panggil Edo.

Siswa yang mengenalnya langsung melihat kanan-kiri mencari keberadaan Dylano hingga menemukan pria itu masih duduk santai. Ke mana mata siswa lain pergi, ke sana Edo menghampiri.

"Mana Dylano?" tanya Edo. Para siswi menunjuk Dylano.

Ini hari kedua mereka masuk sekolah. Dylano datang pukul sepuluh. Waktu anak lain istirahat kedua, dia baru datang dan sekarang pukul dua sore, kerjaannya hanya malas-malasan seperti tak punya masa depan.

"Kenapa kamu nggak maju?" tanya Edo.

Dylano tak menjawab. Ia malah melirik ke arah gadis yang masih sibuk menutupi wajah dengan buku tulis. Dylano senyum kecil. "Kamu dengar nggak, aku nanya? Jawab!" tegas Edo galak.

"Nggak mau," jawab Dylano santai tanpa menatap ke arah Edo.

Merasa tak diacuhkan, Edo menghampiri Dylano. Ia berjongkok di depan pria itu. "Kamu punya sopan santu nggak, sih?" tegur Edo.

"Faedahnya apa pergi ke sana?" Dylano malah balik bertanya.

Edo makin kesal. "Kita lagi ada acara sekolah. Harusnya kamu bisa ikut ngeramein. Bukannya ngajak main urat!"

"Aku tanya faedahnya apa?" Lagi Dylano malah makin menjadi.

"Kalau nggak suka, sekolah di tempat lain sana!" balas Edo terpancing emosi.

Dylano tersenyum sinis. Ia berdiri dan berjalan ke tengah lapangan. Edo sendiri merasa puas. Ia mendengar selentingan akan keganasan siswa itu. Begitu melihat Dylano menurut padanya, jelas Edo merasa menang.

"Lha, cuman gitu, doank!" komentarnya singkat. Ia berdiri dan jalan ke tengah lapangan lagi.

"Oke, hari ini kita mau bikin acara joget bareng. Kalau lagunya berhenti, kalian harus coba isi kursi yang ada. Kalau nggak, kena cemong tuh muka pakai terigu!" jelas Edo.

Panitia langsung memasang kursi yang kurang satu dari jumlah peserta. Lagu langsung diputar. Peserta joget mengikuti irama lagu, kecuali Dylano.

"Stop!" Edo berteriak. Lagu langsung dimatikan. "Kamu kenapa diam saja?" tanya Edo.

Tak ada jawaban dari Dylano. Pria itu masih menatap Edo. "Apa? Nantangin?" bentak Edo.

Senior lain langsung menarik tangan Edo. "Santai, Do. Dia bukan lawan kita." By the way, dia korban keganasan Dylano kemarin.

Dylano tersenyum sinis ke arah Edo. Dia lalu berjalan pergi meninggalkan lapangan. Tiffany menurunkan buku tulisnya, ia mengintip apa yang terjadi di depan sana.

"Itu anak nggak ada hormat-hormatnya, ya? Psiko apa gimana?" tanya Lorna sambil memberikan tinju ke arah Dylano.

Irma ikut melihat ke arah Dylano. "Anak keluarga Khani. Pantas kalau nggak punya rasa takut juga. Orang tuanya tajir melintir," ungkap Irma.

Baik Lorna dan Tiffany menatap kaget ke arah Irma. "Khani? Yang bener?" tanya Lorna tak percaya.

Tiffany paling bingung. "Khani ini siapa?" tanya Tiffany.

"Di kalangan pebisnis nama itu populer

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Di kalangan pebisnis nama itu populer. Yang jelas dia anak orang kaya." Irma menunjuk Dylano.

Edo mungkin merasa hebat karena dua kali dia mengusik Dylano dan anak itu tak balas mengusiknya. Seakan Dylano memberi kesan jika ia tak berani melawan Edo hingga memilih pergi.

Namun sore itu, Edo masuk ke dalam mobil. Ia melihat dari kaca, Dylano berdiri di pinggir lapangan parkir menatap ke arahnya. Tatapannya itu tak tahu kenapa berhasil membuat merinding bulu kuduk Edo. Ditunggu, Dylano masih diam saja. Akhirnya Edo memutar kemudi mobil dan meninggalkan parkiran.

Besoknya SMA Berbudi gempar. Bayangin saja. Dylano datang ke kelas Edo sambil menyeret ban mobil. Ia siram ban itu dengan bensin dan menyulut api. Semua siswa berteriak. Guru yang baru datang pun sama paniknya. Asap dari ban itu menyalakan alarm kebakaran. Air otomatis disemprotkan dari langit-langit ruangan.

Sementara itu semua siswa di sekolah panik dan lari keluar. Sedang pelaku malah duduk santai di kursi guru, tak peduli bajunya basah tersiram air. Ia mengusap rambut dan tersenyum puas ke arah Edo.

"Sialan!" teriak Edo. Ia baru sadar jika ban yang Dylano bakar di kelasnya ternyata ban mobilnya yang baru ia ganti dengan ban mahal.

Dylano sendiri? Jelas sekarang dia ada di ruang bimbingan konseling. "Dylano, ini sudah ketiga kali dalam dua hari kamu diadukan karena kenakalan. Ibu nggak akan sebut kamu nakal. Ibu yakin ada alasan, 'kan?" tanya guru BK.

"Dia lebih tahu dari aku," jawab Dylano santai. Ia bersandar ke kursi, bertopang kaki dan memainkan spinner di tangan.

"Siapa?" tanya guru BK.

"Pemilik ban mobil itu," jawab Dylano lalu tersenyum puas.

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DylanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang