Chapter 44. pengorbanan

814 324 68
                                    

"Kamu lagi ngapain di sini?" tanya Tiffany.

Jelas Dylano kaget. Selesai kerja paruh waktu, dia tiba-tiba ditegur pacarnya sendiri di pintu keluar. Dylano menarik napas. Dia melihat ke sisi berlawanan dengan pacarnya. Dylano bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.

"Kenapa diam?" tegur Tiffany lagi.

"Iya, aku mau cari pengalaman. Memang enggak boleh? Lagian juga kamu bilang sendiri kalau mau sukses harus kerja keras," tandas Dylano.

"Kenapa enggak bilang sama aku. Kita bisa dikusiin ini berdua. Kalau orang tua kamu tahu, kamu bisa kena marah, Dylan!"

"Apa yang salah, sih? Aku cari uang halal, kok!" Dylano terus membela diri.

"Iya, ini enggak salah buat orang seperti aku. Tapi kamu .... Ini enggak pantes buat kamu. Pekerjaan ini enggak sesuai sama kedudukan kamu. Kamu enggak akan terbiasa kayak gini," omel Tiffany.

"Aku bukan anak bandel dan manja kayak dulu lagi, Tify. Aku sekarang sudah dewasa dan kalau punya keinginan harus bisa penuhi sendiri. Aku punya keinginan dan aku ingin usaha," alasan pria itu.

"Keinginan apa?" tegur Tiffany.

"Apa aku harus selalu bilang sama kamu?"

Tiffany tertegun mendengar jawaban pacarnya. Dia sengaja berdiri di sana untuk menunggu Dylano keluar dan menjelaskan semuanya. Namun, prianya itu terus menutupi.

"Ya sudah! Terserah kamu!" ucap Tiffany kecewa. Gadis itu lekas berbalik dan berjalan pergi. Dylano tahu tak seharusnya dia membuat Tiffany marah. Disusul gadis itu dan ditarik lengannya. "Lepas!" bentak Tiffany.

"Aku minta maaf. Aku memang salah. Enggak seharusnya aku kayak gini. Tapi Dylan punya alasan," jelas Dylano.

"Iya, alasan apa? Alasan apa sampai kamu harus kerja?"

"Papaku sakit. Kakekku sudah enggak ada. Nenekku enggak ikut pulang ke sini. Aku diminta tinggal di Amerika. Aku enggak mau. Aku enggak mau jauh dari kamu."

Tiffany menaikan sebelah alisnya. "Terus?"

"Katanya kalau aku terus mau di sini, aku harus biayai hidupku sendiri. Makanya aku kerja," jelas Dylano.

Tiffany menunduk. Dia menahan tangis. "Sejauh itu?" tanya Tiffany.

"Ini semua demi kamu," jawab Dylano.

Tiffany menggeleng. "Kamu bisa capek. Kamu bisa lelah. Jangan kayak gini."

"Memang kamu enggak capek? Memang enggak lelah? Kalau kamu suruh aku berhenti, kamu juga!" tegas Dylano.

"Iya, aku enggak bisa. Keadaan keluarga aku kayak gini. Kalau aku berhenti, aku makan dari mana?"

Dylano memegang bahu Tiffany. "Aku juga gitu. Kalau aku berhenti, aku makan dari mana?"

"Kalau gitu ikut pulang ke Amerika! Aku cabut ucapan aku yang dulu. Aku bisa kok jauh dari kamu dulu, asal kamu bahagia."

"Aku yang enggak bisa. Maaf," tolak Dylano sambil berjalan pergi.

"Dylan! Dylano! Tuan Muda! Kamu dengar aku enggak sih?" panggil Tiffany.

Dylano sama sekali tidak berbalik. Dia terus melangkah pergi. Tiffany duduk berjongkok sambil menangis sesegukan. "Maafin aku. Aku yang kayak gini cuman nyusahin kamu," keluhnya.

Dylano sadar tidak mendengar langkah Tiffany di belakang. Dia berbalik dan melihat pacarnya sedang duduk sambil menangis. Dylano hampiri gadis itu dan memeluknya.

"Aku yang minta maaf. Kamu enggak nyusahin aku, kok. Biarin aku belajar dewasa Tiffany. Sudah cukup aku jadi anak manja yang sering buang uang orang tua. Biar aku belajar jadi pria bertanggungjawab untuk kamu kelak. Enggak ada yang salah, 'kan? Semua pekerjaan itu baik," jelas Dylano.

Tiffany mencoba menghapus air matanya. "Tapi masalahnya kamu ...."

"Enggak ada yang perlu dipermasalahkan. Aku hanya perlu belajar. Sudah, itu saja."

Setelah hari itu, sudah jadi terbiasa bagi Tiffany untuk melihat Dylano sore hari bekerja di restoran ayam itu. Dia tak bisa menghentikan pria itu. Tiffany hanya mencoba mengerti bahwa Dylano ingin berubah lebih baik seperti apa yang Tiffany harapkan selama ini.

Namun, hari itu lagi-lagi Ben yang jemput Tiffany ke sekolah. "Dylan, mana?" tanya gadis itu.

"Dia enggak masuk. Badannya demam," jawab Ben.

"Iya kah? Aku mau jenguk dia." Tiffany langsung merasa khawatir. Dylano jarang sakit, malah hampir tak pernah sakit.

"Jangan. Di rumah ada ibunya. Berani enggak kamu ke sana?" Teddy yang datang mengikuti Ben berucap.

Tiffany menggeleng. "Dia sakitnya enggak parah, 'kan?" Paling tidak Tiffany bisa memastikan seperti apa keadaan kekasihnya.

"Nanti sampai di sekolah video call saja. Kata dokter dia kelelahan. Yang pasti ibunya marah. Dia ketahuan kerja paruh waktu dan langsung diomeli," ungkap Ben.

"Bukannya dia kerja begitu orang tuanya tahu?" tanya Tiffany bingung.

"Tahu gimana? Kalau tahu mana mungkin dibiarin, Fan," kilah Ben.

"Dia bilang sama aku. Katanya orang tua dia maksa supaya dia ikut ke Amerika. Karena dia enggak mau, semua keperluan dia distop. Makanya dia nekat nyari uang sendiri."

Ben dan Teddy saling tatap. "Setahuku emang dia diminta pulang ke New York. Tapi orang tuanya enggak mungkin sejauh itu, Fan. Apalagi kalau sampai Dylano kerja. Dia sekarang jadi anak kesayangan. Mana mungkin dibiarin liar kayak dulu."

Tiffany menggaruk kening. "Dia bohong sama aku. Buat apa?"

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DylanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang