Chapter 41. Titik

838 343 31
                                    

“Terus saja!” omel Ema sudah kesekian kalinya. Dia menjewer telinga Daniel hingga pria itu meringis kesakitan.

“Aku salah terus di depan kamu,” omel Daniel.

“Habis emang salah! Di mana enggak salahnya coba? Berapa kali aku bilang tolong sekali saja kamu itu enggak usah ladenin anak kurang kerjaan yang hobinya berantem! Kamu mau kuliah, Dan. Pasti sikap kamu di sekolah dipertanyakan,” omel Ema.

“Iya, Sayang. Aku bakalan jadi anak yang baik, kok. Kalau ....”

“Kalau apa?” Ema memelototi Daniel.

“Kalau ingat,” celetuk pria itu membuat Ema mencubit lengannya.

“Ya ampun. Walau galak, aku kok bisa terus sayang, ya? Apalagi kalau baik. Bisa-bisa aku kegilaan,” komentar Daniel.

Namun, ada seseorang di depan mereka masih menunduk lesu. Ema bisa melihat hal itu, tak sekalipun gadis di depannya mengeluarkan kata-kata. “Kamu baik-baik saja, Fany?” tanya Ema. Sengaja Ema mengajak Tiffany keluar.

Kata Bundanya, anak itu terus mengurung diri di kamar. Keluar kalau mau makan, selebihnya diam saja. Kadang gantikan ayahnya menunggu gerobak. Namun, selain bicara dengan pelanggan masalah membeli gorengan, sisanya hanya iya dan tidak.

“Baik,” jawab Tiffany dengan suara lemah.

“Sumpah, ya? Ngelihat kamu diem kayak gitu persis ngelihat Ema kalau lagi datang bulan,” ledek Daniel.

“Kenapa?” tanya Ema penasaran.

“Serem, kayak Kesambet setan,” celetuk Daniel membuat Ema mengambil bala-bala dan memaksa pacarnya makan.

“Mulut kamu harus disumpal biar enggak sembarangan ngomong! Kesel aku!” protes Ema.

“Pernah enggak sih, mau hidup malas hidup. Mati takut tak bertemu?” tanya Tiffany.

Ema dan Daniel kali ini mematung. Raut keduanya bingung mencoba menerjemahkan apa yang Tiffany coba katakan. “Kamu depresi?” tanya Ema. Dia pegang tangan Tiffany. Seketika aur mata Tiffany menetes. Jelas Ema kaget.

“Ya ampun, Ma. Kamu nyentuh dia saja bikin dia nangis. Aura kamu emang nyeremin,” ledek Daniel.

“Aku lagi serius, Dani! Jangan main-main. Kasihan Tiffany!” omel Ema.

Daniel menganggukkan kepala. “Dylano belum pulang juga? Ini sudah mau satu bulan, loh!” tanya Daniel dan mampu membuat Tiffany semakin sedih hingga air matanya kini mengalir melewati pipi.

Ema ambil tisu dan mengelap air mata gadis itu. “Dylano pasti pulang, kok. Dia harus ujian akhir. Pasti ke sini. Mana mungkin langsung pergi enggak pulang lagi,” nasihat Ema.

“Iya, Fany. Namanya juga nganter orang meninggal. Pasti ada pengajian sampai empat puluh harinya,” timpal Daniel.

Ema melirik pacarnya. “Emang di Amerika ada, ya?” tanya Ema.

“Orang Amerika juga ada yang islam. Lagian keluarga Dylano enggak bule seutuhnya, dia masih ada keturunan Indonesia. Pasti masih kental budaya sini juga.” Daniel mencoba membuat Tiffany mengerti.

“Itu tuh kata Daniel. Mungkin Dylano disuruh nunggu sampai peringatan empat puluh harinya. Doain saja dia pulang selamat, Fan. Dia pasti juta rindu sama kamu.”

“Aku tahu. Makanya aku enggak mau sedih. Tapi enggak lihat dia jemput aku, enggak dengar suara dia, enggak lihat fisik dia. Rasanya sakit banget. Aku terbiasa ada dia. Setia hari ketemu dia, bicara sama dia, pegang tangan dia. Sekarang? Aku cuman bisa ingat dia saja. Setiap hari takut dan takut dia enggak pulang. Dylano itu, dia kayak hidup Fany. Kalau dia hilang, hidup Fany juga rasanya hilang. Siapa yang bakalan peluk Fany kalau sedih?”

Air mata Tiffany menetes semakin banyak. Sesekali gadis itu mengusapnya. Tangan Tiffany gemetaran. “Aku rindu sama dia. Mau bilang langsung juga gimana?”

“Aku juga rindu kamu,” ucap seseorang merangkul Tiffany dari belakang. Tiffany kenal suara itu. Gadis itu berdiri dan berbalik.

“Dylan!” panggilnya langsung menyeret kursi ke samping agar tidak menghalangi. Dia peluk Dylano dengan erat sambil menangis. “Dylan, kenapa lama banget datangnya. Aku nungguin kamu. Aku takut kamu nangis sendirian. Aku takut kamu enggak pulang.” Lirih suara Tiffany saat memeluk kekasihnya itu.

Daniel sudah tahu Dylano akan pulang hari itu. Karenanya Daniel minta Ema mengajak Tiffany jalan-jalan. Dia sengaja ingin memberikan Tiffany kejutan seperti yang Dylano pesan.

“Aku pulang ini. Aku baik-baik saja, kok. Aku enggak nangis sendirian. Soalnya aku kalau nangis pasti ingat kamu. Senang juga ingat kamu. Pokoknya aku selalu ingat kamu,” ucap Dylano sambil mengecup rambut kekasihnya.

“Dylan sudah pulang, jangan nangis lagi,” pesan Ema sambil tersenyum.

Tiffany menggeleng. “Mau berhenti nangis juga, tetap saja pengen nangis. Dylan, Tiffy kangen,” ucap Tiffany lagi.

Dylano mengusap punggung pacarnya. “Aku juga kangen, kok. Aku juga mau nangis. Tapi takutnya kamu nanti enggak kebagian waktu nangis. Jadi aku kasih saja waktu nangisku sama kamu.”

Daniel dan Ema saling tatap. Ema peluk lengan Daniel. “Kamu kalau pergi, aku juga gitu, kok,” ucap Ema.

“Aku enggak percaya, Ma. Buktinya waktu aku camping ke Kiara Payung kamu malah asik di warnet main game sama teman kamu.”

Saat Tiffany dan Dylano melepas rindu, Ema dan Daniel malah melepas ledekan. Senyum Dylano terkembang.

Lagu paling merdu yang pernah aku dengar darimu adalah kata rindu
Puisi paling bermakna yang pernah aku baca adalah ungkapan cintamu
Aku suka kamu rindukan, tapi tak suka berpisah
Cinta memang aneh, Tiffany
Atau cintaku padamu saja yang aneh?

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DylanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang