Chapter 19. Level Up

1.3K 539 165
                                    

"Turunan dari x itu 1

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Turunan dari x itu 1. Angka empat hilang karena enggak ada variabelnya. Sekarang tinggal kita pindah. Akar yang atas simpan ke bawah, ubah minus jadi plus. Ubah x jadi 4 semua. Delapan dibagi min 2, jawabannya min 4," jawab Dylano.

Seisi kelas tercengang mendengar penjelasannya. Guru matematika sampai berdeham. Dia baru selesai menulis soal dan tiba-tiba Dylano memberikan jawaban. Karena itu, guru meminta dirinya menjelaskan di depan kelas.

"Kapan kamu belajar ini?" tanya Guru.

"Setiap bapak jelasin," jawabnya santai.

"Kamu 'kan tidur?"

"Tapi denger," timpalnya.

"Tapi 'kan enggak lihat!"

"Tapi 'kan dengar."

"Terus kenapa enggak pernah serius belajar. Kamu bisa jadi ahli matematika itu," nasihat Guru.

"Saya mau nikahin Tiffany, Pak. Siswi kelas depan sana. Makanya sekarang saya rajin sekolah," jawabnya.

Guru itu mengedipkan mata. "Apa pula kau ini! Masa gara-gara cewek kau rajin. Giliran buat masa depan kau males-malesan macam kukang!"

"Karena semua quotes yang lewat beranda Instagram bilang, cinta butuh diperjuangkan, Pak. Enggak ada yang bilang masa depan."

"Itu karena yang kau cari cinta-cintaan muluk!"

Dylano nyengir. Ia kembali ke mejanya. "Nah anak-anak, jadilah kayak dia. Tidur, nonton di kelas, tapi otaknya jalan."

"Bedalah, Pak. Kita tidur di kelas bukannya pelajaran yang masuk, malah jin," timpal siswa yang lain.

Ketika jam pelajaran berakhir, Dylano masih duduk di kelas. Ia melihat buku-bukunya. "Duh, selama ini aku ke mana saja, ya?" tanyanya baru sadar akan kelakuan.

"Gile lu, Dyl! Sejak kapan otaklu ada aljabarnya? Gue pikir isinya cuman Al-lakadarnya," ledek Ben.

"Tahu, lah. Sodara macem apaanlu. Tahu enggak tiga hari aku enggak sadar ada di rumah Tiffany. Mabok dan malu-maluin," protes Dylano.

"Hah? Kok bisa?" tanya Ben.

Teddy yang tak ingin kehilangan ghibahan ikut bergabung di dekat meja Dylano. "Tahu buah pait yang dibawa si Bentor? Efeknya tiga hari kayak orang kesurupan."

"Lha, aku pikir kamu enggak bakalan makan karena pait." Ben sampai menggelengkan kepala.

"Habis penasaran. Aku gigit terus telen saja pakek aer. Enggak dikunyah. Tetap saja teler," ceritanya polos.

"Maaf, Dyl. Enggak tahu kita. Tahu sendiri kemarin kita pada balik ke Manhattan. Tapi bagus juga, jadi nginep di rumah Ayang, 'kan?"

Dylano mengambil buku Matematika dan menukul kepala Ben. "Gara-gara itu, aku enggak dapat restu dari mertua. Kalau gini caranya, jalanku bakalan dijegal." Dylano memijiti kening. Dia diam lumayan lama.

"Kenapa, Dyl? Kok diem?"

"Mikir," jawab Dylano.

"Bisa?" tanya Ben lagi.

Kembali Dylano memukul sepupunya dengan buku matematika. "Emang kamu pikir tadi aku ngerjain soal matematika pakek apa? Pakek wajan? Ya pakek otak, Goblok! Itu mikir namanya!" serang Dylano. Ben dan Teddy tertawa.

Saat itu Tiffany lewat di depan kelasnya dengan Lorna dan Irma. Tak tahu kenapa sudah jadi tren siswa kalau selesai jam pelajaran harus ke kamar mandi dulu. Dylano berdiri dan lari ke pintu. "Yang, apa kabar?" tanya Dylano.

Tiffany kaget luar biasa melihat Dylano tahu-tahu muncul dari pintu. "Baik. Tuan ... Eh, kamu gimana? Sudah enggak pusing?" tanya Tiffany.

"Ngapain peduliin dia, sih? Bagus-bagus jadi pusing jadi cepet tobat!" sindir Lorna.

"Itu mulut, bawa ke bengkel sana! Oleng, tuh!" balas Dylano.

"Jangan berantem!" tegas Tiffany.

"Maaf, Sayang. Maaf," ucap Dylano sambil memegang tangan Tiffany.

Lorna memegang kening pria itu dan langsung ditepis Dylano. "Jangan sentuh! Bisa alergi gue!" protesnya.

"Enggak sakit jiwalu? Nurut amat sama Fany? Dipelet pakek apaan, Fan? Orang tuanya saja enggak bisa melet dia," komentar Lorna.

"Cinta dan kasih sayang sejati. Iya, 'kan?" tanya Dylano sambil mengedipkan mata pada Tiffany.

"Masuk kelas sana. Belajar yang bener. Jangan ulangin lagi kesalahan kemarin. Rasul bersabda, orang yang paling rugi di dunia ini adalah orang yang kemarin dan hari ini masih sama. Sedang orang yang hari kemarin lebih baik dari hari ini adalah orang yang celaka."

"Iya, siap!" seru Dylano. Dia lekas masuk ke dalam kelas setelah mencuri satu kecupan di pipi Tiffany.

"Astaga, cuci pakek air sama tanah!" titah Irma.

"Dia bukan anjing, Ir," timpal Tiffany sambil mengusap pipinya.

"Masih sebangsa, tauk."

Waktu demi waktu berlalu. Ketika bel berbunyi, Tiffany lekas merapikan barang-barangnya. Saat melirik ke pintu, Dylano sudah berdiri di sana sambil melipat tangan di dada.

"Aku pulang duluan, ya?" pamit Tiffany. Ia lekas berlari menghampiri Dylano. Tangan pria itu mengulur begitu ada di depan Tiffany. Namun, Tiffany malah membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah buku di sana. "Ada yang bilang menulis membuat orang lebih tenang dan nyaman. Menulis membuat orang lebih bisa merefleksikam diri. Tulis sesuatu di sana. Apa pun yang kamu rasa," saran Tiffany.

Buku itu memiliki sampul hitam dari kulit sintetik. Dylano menatap buku itu lumayan lama. "Aku beli itu pakai uang tabunganku. Aku pikir itu baik buat kamu yang suka kesepian."

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DylanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang