"Dylano Khani!" panggil seorang guru di depan pintu. Semua mata tertuju pada pria itu, termasuk mata Dylano. "Ikut ke ruang BK!"
"Baik, Pak." Dylano berdiri sembari sedikit menggeser kursinya.
Dylano melangkah ditemani sorotan mata yang terus mengikuti ke mana ia berjalan. Bahkan mereka ikut berdiri dan mengintip hingga pintu. Sedang Dylano mengikuti guru yang memanggilnya. Lorong demi lorong dia lalui. Setiap kelas yang dia lewati mendadak ramai. Mereka bertanya, ada apa gerangan Dylano berjalan bersama guru BK.
Termasuk kelas Tiffany. Mereka semua gempar mendengar pesan siaran di grup telegram siswa Berbudi. "Dylano! Dia dipanggil ke ruang BK lagi!" Walau bukan yang pertama, tetap saja kejadian itu selalu menarik perhatian. Bukan karena menyenangkan, hanya saja bagaimana cara Dylano menghadapi persidangan di ruangan itu benar-benar bikin 'mengcapek'.
Seruan siswa lain bisa Tiffany dengar. Gadis itu berdiri dan lari ke arah jendela karena pintu kelasnya penuh dengan siswa lain berdesakan. Telapak tangan Tiffany bersandar ke kaca jendela. Tak lama di matanya terlihat sosok Dylano berjalan sambil menunduk. "Dylan!" batin Tiffany.
"Apa ini gara-gara kejadian sama Dave kemarin?" tanya Irma yang berdiri di belakang Tiffany.
Tangan Tiffany bergetar. Bola matanya bergerak-gerak dan mulai terasa hangat. "Aku harus ke sana!" Tiffany turun dari kursi. Namun, Lorna langsung menahannya. "Lepasin, Lorna," pinta Tiffany.
"Kamu gila apa? Kalau kamu ikut campur, kamu bisa kena masalah. Posisinya Dylano emang salah! Dia bisa lindungin dirinya sendiri karena embel-embel keluarga Khani. Kamu? Kamu bukan siapa-siapa yang suaranya bisa di dengar guru, Fany!" omel Lorna.
Irma mengangguk. "Lorna bener. Lebih baik kamu diem saja. Dylano juga pasti ngerti."
Dan kini Dylano telah sampai di ruangan itu. Dia diminta duduk menghadap kepala sekolah. Sudah ada Dave dan keluarganya di sana. "Ini, Pak! Anak ini! Aku dengar dari siswa lain, dia sering bikin masalah. Lihat anak saya! Anak saya anak baik dan nurut sama orang tua. Dia juga berprestasi di sekolah ini. Tapi dibikin babak belur gini sama dia!" tunjuk Ibu Dave ke arah Dylano.
Kepala sekolah mengangguk. Matanya melirik ke arah Dave lalu ke arah Dylano. "Bapak ingin mendengar penjelasan dari kalian berdua agar Bapak adil untuk memberi hukuman. Kalian sudah remaja tentu tahu mana yang salah dan mana yang tidak," tegas Kepala Sekolah.
"Aku yang salah!" aku Dylano membuat semua orang di sana bingung. Biasanya pelaku selalu mencoba membela diri.
"Aku pukuli dia karena dia sentuh pacarku," ungkap Dylano.
"Anak muda! Cuman karena masalah sepele begitu, kamu sampai pukulin anak orang? Cinta monyet yang enggak guna buat masa depan. Lebih baik kamu belajar yang rajin, bukannya cinta-cintaan! Apalagi kalau sampai melakukan hal bodoh seperti ini!" omel Papa Dave.
Dylano masih menunduk. Dia mainkan jemarinya. "Anak Bapak kirim cokelat ke pacar saya dan nyatain cinta. Jadi yang melakukan hal tidak berguna itu, bukan hanya saya," timpal Dylano.
Kedua orang tua Dave berdeham. "Tapi saya akui. Saya salah mukul dia, karena ternyata dia hanya menolong pacar saya. Saya ucapkan maaf dan terima kasih. Hanya saja untuk ungkapan cintanya itu, saya tetap enggak bisa maafin dia. Dia sudah melukai harga diri saya karena dia tahu wanita yang dia nyatakan cinta itu sudah punya pacar." Dylano memang selalu punya cara sendiri dalam menghadapi masalah.
Terdengar keributan di luar. Rupanya para siswa banyak yang menguping di luar ruangan. Mereka kaget melihat rombongan yang menggunakan jas datang. Yang paling depan tentu pimpinan Khani Group (dulu perusahaan ini belum bergabung dengan milik keluarga Arifin).
Melihat Abraham Khani, tamu di ruangan itu langsung berdiri pun Kepsek yang langsung menunduk hormat. "Salam kepada Pimpinan," sapa Kepsek.
Abraham tak merespon. Matanya masih menatap tajam ke arah putra keduanya. Di satu sisi Tiffany tak mendengarkan saran dari Lorna pun Irma. Gadis itu tetap berlari meninggalkan kelas menyusul Dylano. Dia ingin minta maaf tentang apa yang menimpa Dave karena merasa, dia penyebab utamanya. Tiffany tak ingin Dylano disalahkan selebihnya.
Tiba di ruang BK, mata Tiffany terbelalak. Pria yang mengenakan jas abu-abu menampar keras pipi Dylano. "Anak sialan! Kapan kamu akan berguna untuk keluarga? Kamu ini manusia apa setan? Bikin malu saja kamu!" bentak Abraham.
Dylano masih duduk sambil menunduk dan memegang pipinya. Namun, Abraham langsung menarik kerah blazer Dylano dan memaksanya berdiri. "Mau jadi jagoan kamu? Apa tidak sadar kamu makan dan hidup dari siapa? Jawab!"
Abraham mendorong Dylano hingga jatuh. Tiffany berlari masuk. Dia raih tubuh Dylano dan memeluknya. "Kenapa anda kasar sekali? Salah dia apa?" tanya Tiffany dengan mata berkaca-kaca.
"Siapa kamu? Minggir! Biar aku kasih pelajaran anak iblis ini!" Kembali Abraham meraih kerah blazer Dylano, tetapi langsung Tiffany tepis. Mata gadis itu menatap tajam ke arah Abraham seakan tak takut meski tak tahu siapa yang tengah dia hadapi. Abraham Khani, Chairman Khani Group, ayah kandung Dylano.
🍒🍒🍒
KAMU SEDANG MEMBACA
Dylano
Teen FictionRank #1NCTAU "Pegangan sini!" Dylano menunjuk pinggangnya. Namun, Tiffany diam saja. "Enggak mau pegangan entar bisa oleng, loh. Oleng dari motor lebih bahaya daripada oleng dari hati Dylano." Nggak pernah Tiffany sangka jika masa depannya di salah...