Chapter 36. Batu

1K 386 63
                                    

Motor Dylano meraung sepanjang jalan Kabupaten Bandung Barat. Perlahan, tetapi pasti mulai melewati daerah itu dan masuk daerah lainnya, Subang. Di sini perjalanan semakin indah dengan banyaknya kebun teh yang berjajar rapi.

Tiffany membuka kaca helmnya. Angin begitu sejuk menyentuh pipi, apalagi saat Dylano menurunkan kecepatan motor. "Dylan! Bukit kebun tehnya cantik!" tunjuk Tiffany.

Motor Dylano mulai menepi ke arah kiri. Dia berhenti tepat di samping perbukitan yang penuh dengan pohon-pohon teh. "Mau turun di sini?" tanya Dylano.

"Mau!" Tanpa aba-aba, Tiffany langsung turun. Dia lepas helm di kepala dan memberikan pada Dylano. Tangan pria itu merapikan rambut Tiffany yang sedikit berantakan karena mengenakan helm. "Ayo, turun!" paksa Tiffany tak sabaran.

Dylano menurunkan standar motor lalu turun dari kendaraannya. Dia buka helm dan menyimpan dengan mengaitkannya ke spion pun dengan helm Tiffany. Pacarnya melompat-lompat tak sabaran  ingin lekas masuk ke dalam kebun.

"Tunggu! Sabar," tegas Dylano.

"Sudah. Kita masuk ...." Kalimat Dylano langsung terpotong. Begitu dia menarik kunci motor, Tiffany langsung berlari masuk. "Tify! Tunggu! Bahaya!" panggil Dylano. Namun, gadisnya terus berlari. Jadilah Dylano mengejarnya.

Tiba di belokan, Tiffany hampir saja tersungkur. Untung saja Dylano yang mengejar di belakang sempat menarik lengan Tiffany dan menahan tubuh gadis itu. "Bahaya, Sayang. Hati-hati," nasihat Dylano.

Tiffany mengangguk. Barulah dia berjalan. Tangannya direntangkan dan merasakan pucuk daun teh menyentuh telapak tangan. Dylano tersenyum mendengar suara gelak tawa Tiffany. "Kemarin siapa yang takut diajak ke mari? Sekarang senang, 'kan?"

"Banget!" jawab Tiffany.

Tiba mereka di persimpangan jalan. "Mau ke mana sekarang?" tanya Dylano.

"Kanan!" Tiffany pilih jalan yang menurun. Dylano pegang lengan gadis itu, takut terpeleset karena pagi tadu sempat hujan tanah masih basah. Karena itu mereka datang menjelang sore.

"Kok ada batu sebesar ini di sini?" tanya Tiffany sambil memeluk batu besar yang ia temukan di tengah kebun teh. Pipinya menempel pada batu itu seakan tak takut menjadi kotor. Dia hanya punya masalah jerawat menjelang jadwal bulanan, selebihnya kulit Tiffany selalu licin seperti keramik.

Tangan Dylano menarik gadis itu menjauh. "Jangan peluk-peluk, aku cemburu," protesnya dengan wajah merengut.

Tawa Tiffany begitu renyah terdengar. "Hei, itu cuman batu. Masa cemburu sama batu!"

"Kamu bilang aku ini nggak romantis kayak batu. Kalau cemburu sama batu lainnya, maklum."

"Aku mau naik ke situ, mau lihat pemandangan dari atas," pinta Tiffany sambil merentangkan tangan. Dylano gendong tubuh Tiffany untuk naik ke atas. Begitu keinginannya terpenuhi, Tiffany berteriak. "Dylano Al-lail Khani! Aku cinta kamu!" Setelah itu ia langsung tertawa.

Iseng Dylano mencari pijakan untuk naik. Di atas batu itu kini ia berdiri sambil memegangi tangan Tiffany agar tak jatuh. "Tiffany Anggraeni putri, aku cinta kamu!" timpal Dylano. Suaranya jauh lebih menggema dibanding Tiffany.

Keduanya duduk di atas batu. Tiffany tersenyum melihat pemandangan di depannya. Kebun teh terlihat berkelok mengikuti relief perbukitan dan garis cakrawala di depan sana terhias motif yang dibuat awan tipis.

"Papa kamu suka kayak gitu?" Sebenarnya ini ingin dia bahas sejak kemarin. Hanya saja Tiffany ragu. Gimana pun itu urusan keluarga Dylano dan dia bukan siapa pun.

Dylano mengetuk batu dengan jemarinya. "Baru tahu? Masih mau bilang harus bikin orang tua bahagia? Lihat Papaku apa pantas disebut orang tua?"

"Dia mungkin kesal karena kamu bikin masalah terus," timpal Tiffany.

"Itu pertama kali dia tampar aku. Biasanya enggak pernah. Bukan masalah sakitnya. Tapi itu artinya dia mulai menyimpan harapan padaku dan aku bikin dia kecewa," jawab Dylano.

Tiffany menaikan sebelah alis. "Maksudnya?"

Dylano tatap mata Tiffany. "Adik dan Kakakku, mereka selalu menurut dan jadi anak baik. Tapi kalau sekali saja membuat masalah, mereka akan ditampar begitu. Aku? Bukan sekali membuat masalah dan dia bahkan tak peduli," jawab Dylano.

"Dia terlalu sayang sama kamu?"

Mendengar itu Dylano malah tertawa. "Mana ada orang tua yang enggak peduli anaknya disebut sayang? Bisa dibilang dia enggak pernah sayang semua anaknya. Ini hanya prinsip berguna atau tidak."

Tangan Tiffany menggaruk kening. "Berguna atau tidak?"

"Tahu sampah? Kalau dia tak berguna akan dibuang begitu saja. Tapi barang berguna akan digunakan dan kalau rusak akan diservice. Dan tamparan itu artinya, dia sedang service anaknya yang berguna tetapi rusak."

"Jadi maksudnya Papa kamu mulai ingin kamu jadi anak berguna?"

Dylano mengangguk.

"Lalu karena kemarin kamu sudah bikin masalah lagi, dia jadi kesal karena harapannya salah?"

"Iya."

"Lebih baik kamu nakal lagi sana!" celetuk Tiffany.

Dylano malah tertawa. "Dan enggak diizinin ayah Jatmika buat nikahin anaknya? Terserah Papaku mau anggap aku berguna atau tidak. Aku cuman ingin pantas sama kamu. Gimana aku jadi ayah yang baik buat anak kita nanti, kalau aku saja kayak gini."

Tiffany merona. Wajahnya terasa panas mendengar itu. Kini Tiffany hanya menunduk malu. "Kalau suatu hari nanti kamu jadi seorang ayah, jangan kayak Papa kamu, ya? Kamu harus sayang anak kamu. Kalau kamu enggak bisa jadi ayah yang baik, aku omelin kamu!" ancam Tiffany.

Mereka sangat bahagia hari itu dan saling berpelukan di atas batu seolah tak merasakan bagaimana kesepiannya batu itu di sana. Kabut sore mulai menganyam diri di atas pucuk daun teh. Kini giliran mereka pulang. Dylano turun lebih dulu lalu disusul kekasihnya.

"Tunggu!" Tiffany menarik tangan Dylano. "Kita tandain batunya jadi tugu cinta kita berdua, yuk!"

Dylano mengangguk. Mereka berjalan ke bagian belakang batu yang menghadap ke timur. Tiffany membuka tas punggung dan mengeluarkan spidol dari sana. Spidol papan tulis yang berwarna putih itu terlihat jelas kalau digoreskan pada bebatuan.

"Mau tulis apa?" tanya Dylano.

"Kamu yang pikirin. Aku yang tulis," saran Tiffany.

"Kok aku yang mikir?"

"Soalnya tulisan kamu jelek."

Setelah lama mereka berdiskusi tentang tulisan yang akan digoreskan di atas batu itu, akhirnya mereka sampai dalam mufakat. Tiffany menulisnya dan di bawah tulisan, dibubuhi tanda tangan pun nama oleh keduanya.

Kami saling mencintai. Jika suatu hari sesuatu memisahkan kami, kami akan memilih bersama meski dalam keadaan mati.

-Dylano dan Tiffany-

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DylanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang