Chapter 15. Kenyataan Aneh

1.3K 531 131
                                    

"Dia pacarnya Dylano? Beneran?"

"Paling jadi mainan. Dylano mana mau pacaran beneran sama dia."

"Kalo main-main, enggak mungkin sampai nempel pamflet kayak gitu."

Sekolah gempar akan pengakuan Dylano itu. Tiffany melepas tas dan menyimpan di meja. Ia pijiti kening yang terasa nyeri setelah melihat banyak selembaran berisi fotonya.

Dari kejauahn terdengar suara sepatu bertabrakan dengan lantai. Suaranya terdengar keras hingga semakin dekat dengan Tiffany. Napas pemilik sepatu itu terdengar jelas. Tiffany mendongak.

"Ini beneran?" tanya Lorna sudah memperlihatkan pamflet yang tak ingin dilihat Tiffany. Dan mau tidak mau orang yang fotonya ada dalam pamflet itu mengangguk. "Jadi beneran kamu pacaran sama dia? Ya Allah, enggak demam sampai step kamu? Apa otak kamu sudah enggak jenius lagi?" tanya Lorna. Ia sampai memegang kening Tiffany.

"Terus mau bilang apa? Kamu pikir aku bisa bilang enggak sama Dylano? Itu Dylano, Lorna. Bukan anak tukang batagor, tetangga sebelah yang sudah tua berani ngecengin aku."

Lorna duduk di kursinya. "Dia maksa sampai ngancem?"

"Enggak ngancem pun aku tetep takut."

Siswa lain masuk ke dalam kelas. Baik Tiffany dan Lorna mengakhiri obrolan. "Pagi, Tiffany!" sapa mereka.

"Pagi," jawab Tiffany sambil tersenyum.

Lorna tertawa getir. "Tumben! Ada angin apa kalian nyapa Tiffany? Biasanya juga dia dianggap makhluk ghaib di sini!" sindir Lorna.

"Apaan, sih? Suka-suka kita dong, Lor! Salahnya di mana? Kita cuman nyapa," timpal anak lain.

Hari itu memang jadi hari yang paling aneh untuk Tiffany. Seisi sekolah baik padanya. Bahkan saat Lorna mengajak Tiffany ke kantin, gadis itu lagi-lagi mendapat sapaan yang ramah. Sebagian malah memberikan Tiffany makanan.

"Mereka kayak gitu karena takut sama Dylano. Lain kalau Dylano enggak ada," komentar Lorna.

"Tapi si Dylan enggak ada. Ke mana dia?" Irma melihat ke sekitar.

"Ini istirahat pertama. Istirahat kedua dia baru muncul karena baru berangkat ke sekolah. Ingat, buat Dylano ini cuman tempat tongkrongan, bukan sekolahan."

Yang paling sikapnya mengejutkan adalah Reva dan teman-temannya. Mereka tak menyapa seperti biasa, tetapi tak berani menatap Tiffany. Sepertinya memang Dylano menghukum mereka terlalu keras.

Kembali ke kelas, Tiffany sudah mendapatkan makanan ringan di meja. Jelas gadis itu aneh. Ia mendapat sebuah surat di sana. "Kata Bos Dylan, selama belajar harus banyak makan supaya sehat."

Lorna mengambil kertas itu dan membacanya. "Dia sakit jiwa atau gimana? Ini makanya efek sekolah cuman absen doang! Makanan ginian sehatnya dari mana?" ledek Lorna.

Jam istirahat kedua seperti yang Lorna prediksi, Dylano baru tiba di sekolah. Tiffany yang selesai salat Zuhur langsung kembali ke kelas. Ia kaget Dylano sudah duduk di kursinya sambil melambai. Terpaksa Tiffany duduk di kursi Irma.

"Dari mana, Sayang?" tanya Dylano mengusap rambut Tiffany hingga bahu.

"Habis salat. Lorna sama Irma kayaknya langsung ke kantin."

"Kamu enggak ke kantin juga?"

Dengan yakin Tiffany menggeleng. "Aku sudah kenyang. Makanya tadi bilang sama mereka mau ke kelas aja."

Dylano mengetukan jari di meja. "Tapi aku belum makan."

"Kenapa belum makan?"

"Suapin!" Dylano berikan kotak bekal pada Tiffany. Tak biasanya ia minta kotak bekal. Biasanya bekal yang dia punya hanya kartu debit berbagai warna.

Tiffany terima kotak itu. Ia buka tutupnya. Di dalamnya ada bento dan sudah ada sendok serta garpu. "Ini beli?"

"Pelayanku yang buat."

Tiffany sendok potongan daging sapi dengan bumbu teriyaki. "No! Dagingnya tinggalin. Bawa bawangnya saja sama sayur!" Dylano langsung memberi peringatan.

"Kenapa?"

"Aku enggak suka daging. Bau!" protesnya.

Tiffany mengangguk. Ia lakukan hal sesuai perintah Dylano. Pria di depannya makan dengan lahap walaupun harus memeriksa takut daging sapi masuk ke dalam sendok.

"Kamu makan saja dagingnya kalau sudah dipisahin," saran Dylano.

Pandangan Tiffany menurun. Gimana bisa dia makan pakai sendok bekas Dylano? "Enggak usah, aku kenyang. Dan Tuan, kita harus makan daging juga kalau kita bukan vegetarian. Karena protein daging lebih mudah dicernah tubuh dibanding dengan sayuran. Itu karena sel dalam tubuh kita lebih mirip dengan hewan," nasihat Tiffany.

"Dikit saja tapi."

Agak kaget juga. Dylano mau. Sendok kali ini Tiffany tambahkan satu potongan daging. Dylano mau memakannya walau, kembung-kembung pipi pria itu ketika mengunyah daging di mulut. Bahkan ia telan dengan susah payah.

"Enggak terlalu ngeri, 'kan?"

Dylano mengangguk saja. Ternyata rasanya tak semengerikan yang ia pikir. "Aku kasih daging dikit lagi?" tawar Tiffany.

"Dikit saja."

Seperti anak kecil, Dylano disuapi Tiffany hingga bekalnya habis. "Aku kenyang."

Tiffany tersenyum. Tak tahu kenapa ia senang bisa membuat Dylano menghabiskan makanannya. "Makan yang banyak." Tanpa sadar Tiffany mengusap rambut Dylano. Keduanya mematung. Tiffany hendak menurunkan tangan, tetapi Dylano cegah.

"Terus gitu. Nyaman," pinta Dylano.

Senyum Tiffany melengkung. Ia masih mengusap rambut Dylano. Sedang Lorna dan Irma memperhatikan dari pintu sambil memakan cheetoz. "Kok Si Dylan bisa jinak begitu?"

"Apa yakin dia tadi enggak ketabrak becak terus amnesia?" timpal Irma.

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DylanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang