Chapter 16. Otak Belok

1.3K 537 118
                                    

Malam itu Tiffay harus mengantar gorengan ke sebuah toko sepatu di daerah Kosambi. Cici pemilik toko suka dengan gorengan Ayah karena lebih gurih dan renyah katanya. Tiffany berikan satu keresek gorengan dan langsung Ci toko sepatu bayar beserta ongkos.

"Masih, Fany. Besok kalau ada waktu, sore saja kirimnya, ya?" pinta Cici.

"Iya, Ci. Besok sore pulang sekolah langsung Fany kirim ke sini."

Setelah itu, Tiffany pamitan. Ia berjalan menuju kawasan yang agak sepi karena di depan toko banyak mobil parkir hingga sulit membuatnya menunggu angkot. Namun, Tiffany melihat keributan dari jauh. Ada beberapa lelaki berpakaian hitam dengan rambut dicat warna-warni. Beberapa di antara mereka memakai tindik.

Tiffany bergidik. Ia hendak putar balik, tetapi melihat Dylano ada dalam kerumunan itu. Pria itu berjongkok sambil memegang kepalanya. Tiffany berjalan mendekati. Pelan, tapi pasti ia semakin dekat dengan Dylano.

Rupanya rekan satu partai Dylano mengenali. "Syukur ada Nyonya Besar datang!" seru mereka.

Tiffany bingung. Kenapa mereka senang menyambut Tiffany di sana. Bentor berdiri dan mendekati Tiffany, walau Tiffany sendiri ketakutan melihat penampilannya.

"Nyonya, gimana ini? Tuan Dylano kayaknya kesurupan," ungkap Bentor.

"Kesurupan gimana?" tanya Tiffany.

Bentor mengajak Tiffany mendekati pria itu. Dylano masih duduk memegang kepalanya. "Dylano," panggil Tiffany sambil menepuk bahu pria itu.

Dylano mengangkat wajahnya. Dia tersenyum dan tak lama nyengir. "Kamu kenapa?" tanya Tiffany.

"Nyet ... Nyet ...," jawab Dylano, mirip suara monyet.

"Ya Allah, kamu kenapa? Jangan bercanda!" Tiffany jadi seram sendiri.

Namun, Dylano terus bertingkah seperti monyet. Sampai garuk-garuk dan pura-pura mengambil kutu dari kepala temannya.

"Ini sudah dari tadi kayak gini, Nyonya Fany," jelas Bentor.

"Sudah ditelpon keluarganya?" tanya Tiffany.

"Ben sama Teddy lagi ke luar negeri. Terus kita enggak tahu nomor rumah dia. Buka kunci HPnya juga enggak bisa," jelas mereka.

"Duh, celaka ini. Awalnya gimana, sih?" tanya Tiffany ingin jelas masalahnya. Tangan Dylano memegang lengan Tiffany. Ia gesekan pipi ke punggung tangan gadis itu sambil berjongkok dan mengeluarkan suara seperti monyet.

"Dia makan ini." Bentor menunjukan sebuah buah berwarna hijau dan agak bulat. Bagian luarnya pun agak berduri.

"Ini apa?" tanya Tiffany bingung.

"Buah kecubung. Dia bilang mau nyoba ngefly. Masalahnya makan dekstro sama komik enggak mau, paitnya bikin mual katanya. Dia kemarin saja mukulin bandar narkoba karena narkoba yang dijualnya pait mana harus dihirup bikin dia bersin-bersin. Padahal ini juga pait, sih. Tetap saja dia makan."

"Astaghfirullah. Kalian itu kenapa, sih? Emang mabok sama make kayak gitu bakalan selesain masalah kalian? Memang dengan gitu dunia ini akam berubah? Enggak, kalian malah ngerusak diri sendiri," omel Tiffany.

Mereka semua yang ada di sana langsung menunduk. "Karena minum obat kayak gitu, organ kalian jadi rusak. Kalian jadi sakit, duit lagi keluar. Pakai SKTM pun cuman jadi beban negara! Uang negara kita lebih baik buat biaya pendidikan orang enggak mampu dari pada biaya rumah sakit orang-orang yang rusak diri sendiri kayak kalian! Sayang sama orang tua!"

"Kami enggak punya orang tua," jawab mereka.

Tiffany meneguk ludah. "Masa kalian semua enggak punya orang tua?"

"Aku ada, tapi cerai."

"Aku ada, tapi enggak peduli sama aku."

Tiffany menunduk. Rupanya mereka rata-rata punya masalah yang sama, kurang kasih sayang. "Aku tanya sekarang. Apa kalian suka kehilangan kasih sayang kayak gini?" tanya Tiffany.

Mereka semua menggeleng. "Apa kalian mau anak kalian nanti kayak gini?"

Mereka menggeleng. "Makanya, belajar yang bener. Keluarga kita mungkin enggak sempurna kayak orang lain, tapi jangan bikin masa depan kita ikut enggak sempurna!"

Tiffany mendapat tepukan tangan dari anak buah Dylano. "Aku bawa Dylano pergi. Mau minta tolong sama Bapak-bapak di pasar." Tiffany lekas menuntun pacar, tapi terpaksanya.

Walau, takut karena Dylano dalam keadaan tidak sadar, Tiffany harus memaksakan diri. Lagipula posisinya Dylano malah terlihat lucu. Sekarang saja dia berubah menjadi kucing dan berjalan dengan kedua tangan dan kakinya.

"Tuan Muda, itu kotor. Berdiri, ya?" ajak Tiffany.

Dylano mengeong. Boro-boro ingin menyakiti Tiffany, mendengar suara deru motor yang kencang saja, Dylano lekas bersembunyi seperti bayi kucing.

"Meng .... Meong," ucapnya sambil mengusap pipi dengan punggung tangan Tiffany.

"Lagian kamu ini kenapa, sih? Kayak enggak ada makanan yang layak dimakan, buah kayak gitu dimakan," omel Tiffany.

Mereka berjalan cukup jauh. Mana Dylano sempat mogok. Ia duduk saja di sudut sebuah gerobak kosong sambil mengeong panjang seperti anak kucing mencari induknya.

"Ada ya, orang mabok begini. Di mana-mana, orang mabok kelihatan lebih sangar. Ini malah sadar kayak singa, mabok jadi anak kucing," keluh Tiffany.

Setelah perjuangan lama, akhirnya mereka tiba juga di gerobak gorengan Jatmika. "Ayah! Tolongin temen Tiffany. Dia makan buah ini." Tiffany memberikan buah yang baru pertama kali dilihatnya.

"Astaghfirullah, ini mah atuh buah kucubung, Fan. Mana teman kamunya? Kok bisa makan ginian?" tanya Jatmika kaget.

"Itu!" tunjuk Tiffany. Namun, ia kaget karena tidak menemukan Dylano di sana. Tak lama terdengar suara orang berteriak. Tiffany lekas berlari ke sumber keributan.

"Itu ada yang mau bunuh diri!" tunjuk ibu-ibu di sana histeris. Tiffany terbelalak melihat Dylano sudah naik ke atap pasar sambil duduk berjongkok sambil mengusap kening dengan tangan mengepal.

🍒🍒🍒

🍒🍒🍒

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DylanoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang