Hanya Allah yang Dapat Menolong

4.4K 510 16
                                    


Assalamualaikum

Selamat membaca

****

Suasana dimeja makan pagi ini kembali dingin. Sejak makanan terhidang belum juga ada yang bersuara. Diba, yang biasanya paling aktif melontarkan kata kini ikut bungkam. Wajah gadis itu bahkan sudah kusut masam, semakin tak enak dipandang kala Bian memunculkan diri.

Bian duduk tepat disamping Diba. Disebelahnya ada Umi, satu-satunya orang yang mau tersenyum pada wanita itu saat ia bergabung tadi. Jujur, Bian malu berada diantara mereka setelah apa yang ia perbuat semalam.

Dirinya benar-benar diluar kendali. Keputusasaan karena tak dapat memiliki Khabib membuatnya gelap mata. Untuk pertama kali dalam hidup, ia meminum minuman terlarang itu, berharap sesudah minum, hati dan perasaannya jauh lebih baik, seperti yang dianjurkan teman-temannya. Entah setan apa yang merasuki Bian kala itu, salahnya juga bergaul dengan orang-orang berkehidupan bebas.

"Umi," Bian melirik takut pada wanita paruh baya disampingnya.

Semua orang yang juga baru selesai makan ikut melirik.

"Ma... maafin aku."

Umi lantas tersenyum, "jangan minta maaf ke Umi. Minta maaf sama Allah karena perintah yang kamu langgar adalah perintah Nya."

"I...iya Umi. Dan aku juga," Bian memberanikan diri menatap kesekeliling, "a...aku juga mau minta maaf sama yang lain."

"Ck. Anda ingat gak sih apa yang udah anda bilang ke Mbak Sina?"

"Emangnya aku bilang apa?" Tanya Bian cepat. Ia kemudian menatap Sina dengan tak enak hati. Jangan-jangan dia mengatakan sesuatu yang tak pantas untuk diucapkan. Kalau boleh jujur, jauh didalam lubuk hatinya, ia masih tak dapat menerima Sina sebagai istri Khabib, apalagi setelah mengetahui bahwa wanita itu tengah hamil. Apa dia mengungkapkan isi hatinya tersebut?

"Ck." Diba kembali berdecak, tampak semakin kesal.

"Anda ngancam mau bunuh anak dalam kandungan Mbak Sina."

"Astagfirullah," Bian seketika menutup mulutnya, "aku bilang gitu?" Jadi benar dia mengatakannya. Ya Allah, ampunilah dia.

Sungguh Bian tidak akan benar-benar melakukannya. Dia yakin hal itu ia katakan karena patah hati saja. Iya benar, dia tidak sejahat itu.

Dengan cepat Bian menarik kursi lalu memutari meja untuk menghampiri Sina. Dia lantas berlutut dengan raut penuh sesal.

"Sina."

"Bian. Kamu gak perlu lakuin ini."

Sina menyentuh kedua bahu Bian lalu memaksa wanita itu berdiri. Benar ia sempat sakit hati dengan ucapan Bian semalam. Tapi semua itu pasti Bian ucapkan dalam keadaan tak sadar. Jadi dengan hati yang lapang dia sudah memaafkan Bian.

"A...aku benar-benar minta maaf sama kamu. Aku tidak akan melakukan hal serendah itu Sina. Kamu percayakan?"

Sina mengangguk dengan senyuman tulus, lalu dihapusnya air mata yang baru saja jatuh dari pipi Bian.

"Aku maafin kamu. Tidak ada orang yang luput dari dosa."

"Tapi Mbak Sina harus hati-hati. Kita tidak tahu hati seseorang itu gimana. Biasanyakan orang yang mabuk itu bicara jujur."

Delikan tajam Diba padanya membuat Bian seketika menunduk. Sepertinya dia benar-benar tidak punya harga diri lagi dimata keluarga ini. Jangankan untuk kembali bersama Khabib, bahkan ia tak yakin bisa disambut layaknya saudara sebagaimana ia diperlakukan dulu. Tapi apakah hatinya kuat menghadapi kenyataan itu. Ia masih sangat mencintai Khabib, ia sangat ingin kembali bersama Khabib. Tapi sekarang pria itu bagaikan rembulan yang tak akan pernah ia gapai.

MENJEMPUT HIDAYAH | CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang