Bercadar

4.2K 523 4
                                    

Suara azan magrib terdengar menggema tepat saat Sina tiba dirumah. Badannya terasa remuk setelah bekerja seharian. Ia harus menyapu, mengepel, menyusun bangku di belasan kelas, membeli makanan untuk para staff dikantin kampus, belum lagi meghantarkan diktat-diktat tebal keruangan dosen.
Jika tidak ingat bahwa pekerjaan ini adalah rezeki dari Allah, Sina sudah pasti akan membuat daftar keluhan tak berkesudahan.

Sesampainya dirumah, Sina disambut umi dengan hidangan yang lebih banyak dari biasanya. Sedikit bisa meredakan penat di badan. Kata umi beliau sengaja masak lebih untuk merayakan hari pertama Sina bekerja.

Tapi sebelum itu Sina harus mandi dan melaksanakan sholat magrib, serta muroja'ah juz 30 yang telah ia hapal setengah.

-

-

-

"Zain memberi tahu ku kalo kamu diganggu sama seorang pria dikampus. Apa itu benar Sin?"

Tangan Sina terhenti menyuap disaat Nafisa tiba-tiba bertanya masalah dikampus tadi yang sebenarnya tak ingin Sina bagi pada Nafisa maupun umi. Ia tak ingin mereka berdua mengkhawatirkan dirinya.

"Benar Sina?!"

Tuh kan, umi sudah tampak cemas.

"Iya, tapi aku gak papa kok umi, sa." Umi menghembuskan nafas lega, syukurlah tak terjadi apa-apa pada Sina.

"Untung ada mbok Darmi."

Ternyata Zain benar-benar menceritakan semuanya pada Nafisa, termasuk tentang mbok Darmi yang menyelamatkan dirinya.

"Sin, apa gak sebaiknya kamu memakai cadar saja?"

Lagi-lagi suapan Sina terhenti. Kini ia pandang Nafisa lama-lamat. Mencari keseriusan diwajah wanita itu.

Apa mungkin? Seorang Sina bercadar?

"Wajah kamu itu cantik Sina. Ditambah lagi dengan, mohon maaf, pekerjaan kamu yang dulu. Kalau pria hidung belang itu ngenalin kamu gimana? Kayak kejadian tadi pagi."

Sina bergeming, mencerna dan memikirkan ucapan Nafisa. Apa ia siap dan harus bercadar?

Tapi usulan Nafisa itu ada benarnya juga. Dia pasti akan lebih aman jika menutup aurat secara sempurna.

Sina itu cantik, di anugrahi wajah campuran indo arab yang diturunkan sang ayah, dengan hidung mancung, alis mata tebal, ditambah kulit putih kemerah-merahan.

Masalah pekerjaan nya yang dulu juga mendukung Sina untuk menerima usulan itu. Dengan bercadar ia akan terhindar dari para pria hidung belang yang mengenalnya, atau pelanggannya dulu.

"Benar kata Nafisa, Nak. Bercadar juga salah satu amal ibadah. Tapi umi tidak memaksa Sina."

Umi juga turut memberikan komentar.

"Tapi.... aku rasanya belum siap umi. Ilmu agama ku juga belum seberapa, rasanya belum pantas."

"Bukan kita yang mengukur pantas atau tidaknya, Nak. Menjalankan ibadah tidak harus menunggu kata pantas. Selagi kita mampu, ya kerjakan," ucap umi lagi.

Yang dikatakan umi benar. Bukan kata pantas yang menjadi ukuran seseorang menjalankan ibadah. Bukan berarti ia yang baru belajar tak boleh tampil lebih agamis. Memakai pakaian syar'i adalah salah satu bentuk ibadah wajib. Apalagi kondisinya seperti Sina, memiliki rupa rupawan yang akan membuat lelaki tertarik dan membuat mereka membayangkan yang tidak-tidak.

"Umi benar, kamu juga benar Sa. InsyaAllah aku akan belajar memakai cadar."

Baik Umi dan Nafisa sama-sama tersenyum. Ternyata mudah sekali meyakinkan hati Sina untuk berbuat sesuatu yang baik.

MENJEMPUT HIDAYAH | CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang