Menerima gaji pertama dari hasil kerja yang halal membuat Sina merasa haru. Walau tak seberapa, tak sebanyak yang ia dapat dulu, ia sudah sangat bersyukur. Nafisa bilang rezeki itu yang terpenting keberkahannya. Percuma punya banyak uang, harta berlimpah, tapi dihasilkan dengan cara yang salah.
Rencana nya uang ini akan Sina berikan separo pada Umi, untuk membantu membeli keperluan rumah. Memang tak banyak. Tapi setidaknya ia bisa membantu.
Dan Sisa uang ini akan ia simpan, membeli kebutuhan sendiri atau mengangsur utangnya pada Zain.
Pria itu memang tak pernah mengungkit masalah uang yang ia berikan, tapi Sina sadar, uang seratus juta tidak sedikit, dan ia akan tetap menggantinya.
***
Sina memiringkan badannya ke kanan, melihat kebagian terdepan antrian.
Ia ingin memastikan sesuatu. Sepertinya di ujung sana ia menemukan sosok wanita yang tak asing lagi baginya. Sudah lama Sina tak bertemu wanita itu, terakhir saat malam mereka mencari pelanggan bersama-bersama.
Dia Dewi. Teman terdekat Sina di rumah bordil madam Elisa. Tak banyak yang berubah dari Dewi. Wanita itu masih memakai pakaian sexy, rok diatas lutut dan baju tampa lengan. Melihat Dewi, Sina teringat akan dirinya dimasa lalu. Ia juga seperti itu, dan sama sekali tak merasa risih. Kalau sekarang sudah pasti ia tak akan nyaman.
"Dewi!" Sina keluar dari antrian, memilih menghampiri Dewi yang baru saja selesai membayar dikasir. Ia titipkan keranjangnya terlebih dahulu ke Mbak-mbak penjaga supermarket sebelum mengejar Dewi.
"Dewi!"
Wanita itu berbalik, mengernyit bingung melihat wanita bercadar yang berlari menghampirinya. Perasaan ia tidak pernah bergaul dengan orang-orang seperti ini.
"Iya. Lo kenal gue?" Tanyanya saat Sina sudah berada tepat di hadapannya.
"Gue Sina."
Wanita itu sontak menganga. Apa ia tak salah dengar? Sina temannya yang selama beberapa bulan ini menghilang? Dan dari kabar yang ia dengar dari madam Elisa, Sina sudah tobat dan akan menikah. Jadi kabar itu benar?
"Ya ampun lo beneran tobat Sin?"
"Iya Alhamdulillah, Wi."
Dewi ngeri sendiri melihat perubahan Sina yang sudah seperti ibu ustadzah. Dulu jangankan berpakaian tertutup seperti ini, membaca hamdallah saja tidak pernah. Yang ada kata-kata kotor yang sering wanita itu lontarkan.
"Lo beneran udah nikah? Katanya sama pria baik-baik."
"Enggak, Wi. Pria itu cuma pura-pura bilang gitu supaya madam Elisa mau lepasin gue."
"Kirain beneran. Lagian mana ada laki-laki baik mau sama pelacur kayak kita ini kan."
Hati Sina mencolos. Benar juga perkataan Dewi. Mana ada pria yang mau menerima masa lalunya. Jangankan Ustadz Zain, pria biasa-biasa saja mungkin akan berpikir ratusan kali untuk meminang wanita sepertinya. Sudahlah, Sina tak perlu terbawa perasaan atas ucapan Dewi. Yang terpenting sekarang hubungannya dengan Allah. Bagaimana ia memperbaiki hubungannya dengan Sang pencipta dan lebih mendekatkan diri kepada Nya.
"Kamu baru beli apa aja Wi?"
"Ini, " Dewi menunjukan kantong belanjaannya,"cuma makanan ringan sama perlengkapan mandi."
Sina mengangguk-angguk sebagai balasan.
"Udah mau langsung pulang?"
"Iya. Btw, gimana kehidupan lo setelah tobat?"
"Kita duduk disana dulu yuk. Gue masih mau cerita-cerita nih sama lo."
"Boleh deh."
"Tapi tunggu bentar ya. Gue mau bayar belanjaan gue dulu."
Sina berlalu kembali masuk kedalam supermarket. Sedang Dewi memutar langkah ke arah kursi yang tak jauh dari tempat nya berdiri.
-
_
-
Tak lama Sina kembali, sudah menenteng belanjaan yang tak seberapa. Sina juga membeli dua minuman dingin untuknya dan Dewi.
"Gak ribet apa pakek cadar gitu? Minumnya gimana?" Komentar Dewi saat Sina hendak minum.
Wanita itu mengamati Sina minum dengan seksama, bagaikan anak kecil yang melihat objek baru. Ada rasa takjub dan juga risih melihat Sina minum. Dina pikir terlalu ribet mengangkat-angakat cadar seperti itu dan bersembunyi agar tak terlihat orang lain.
"Gue gak nyangka deh lo kek gini Sin."
Sina tersenyum. Wajar kalau Dewi bilang begitu. Dulu Sina centil bukan main. Kalo soal menggoda pelanggan jangan diragukan lagi, ia jagonya. Melihat Sina yang berubah tiga ratus enam puluh derajat, barang tentu membuat orang-orang yang mengenalnya dulu takjub. Termasuk Dewi yang sangat mengenalnya luar dalam.
"Gue sekarang lebih bahagia Wi. Gak pernah dalam hidup gue sebahagia ini."
"Emang berapa sih penghasilan lo sekarang? Lebih banyak sebelum ngelacur?" Bisik Dewi pelan.
"Ini bukan perkara uang, Wi. Ini perkara hati. Hati gue jauh lebih tenang saat gue kembali kepadaNya."
"Lebay lo ah. Gue bahagia-bahagia aja tuh." Ucap Dewi mencoba menyanggah. Ia rasa hidupnya aman aman saja. Iya sih terkadang ia mendapatkan pelanggan yang rese, tapi sebanding lah dengan bayaran yang diberikan.
"Gak Wi. Yang lo rasain itu hanya kebahagiaan semu. Coba lo tanya diri lo. Apa setelah muasin pelanggan hati lo bahagia? Apa gak ada yang mengganjal di hati lo?"
Dewi terdiam. Kalo boleh jujur ia tidak tahu apa yang ia rasakan sesudah melakukan hal terlarang itu. Ia memang senang saat mendapatkan uang yang bisa dibilang lebih dari cukup. Tapi kalo setelah berhubungan, dia merasa... hampa.
"Gak ada yang ngeganjal tuh dihati gue." Dewi memilih bohong. Ia tidak ingin dipengaruhi Sina. Ia tidak akan meninggalkan pekerjaan ini. Biarkan orang berkata apa, yang terpenting ia bisa hidup dangan layak.
"Gue pikir bukan cuma gue yang ngerasain." Ucap Sina sedih.
"Cuma lo doang kali. Gue mah biasa aja."
"Wi. Apa lo gak mau ninggalin pekerjaan itu?"
Dewi mulai jengah. Lama-lama Sina sudah seperti Ustadzah dadakan. Apa-apa ceramah. Lakuin ini salah, itu salah.
"Gue gak akan ninggalin pekerjaan itu. Udeh deh gue mau balik."
Wanita itu hendak berdiri, namun Buru-buru ditahan Sina.
"Wi, kita gak tahu umur kita sampai kapan. Kalo kita mati dalam keadaan hina tempat kita sudah pasti di Neraka. Sebelum terlambat, ayo kembali. Allah itu maha pengampun."
"Aduh ribet banget sih lo." Dewi menutup telinganya rapat-rapat, muak mendengar ocehan Sina yang tidak penting menurutnya.
"Denger ya Sin. Ini hidup gue. Gue mau lakuin apa aja itu terserah gue. Mau gue nanti masuk neraka itu juga bukan urusan Lo!"
Dia langsung beranjak setelah mengatakan itu, meninggalkan Sina yang kini mengelus dada menahan sabar.
Ternyata tak mudah mengajak seseorang pada kebaikan. Akan ada saja penolakan.
Saat hati sudah mengeras sekeras batu, hidayah akan sulit digapai.
Kita sebagai sesama manusia hanya bisa berusaha menyiarkan hal-hal baik pada mereka, entah itu dengan untaian kata atau perbuatan. Selebihnya serahkan kepada Allah.
Sekiranya itu yang membuat Sina sabar menerima amarah Dewi. Ia maklum.
Sekarang hanya doa yang bisa Sina langitkan untuk temanya itu, agar kelak hati Dewi terbuka, dan mau meninggalkan pekerjaan haram yang sudah pasti dilaknat Allah. Oh apakah itu pantas disebut pekerjaan?
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
MENJEMPUT HIDAYAH | Completed
Spirituale3rd story #1 in Ustadz 25-5-2021 #2 in Spiritual 29-8-2021 #1 in Islam 7-9-2021 Dia yang tadinya buruk menjadi baik Dia yang tadinya hina menjadi mulia Dan Dia yang tadinya tak pantas menjadi pantas. Ini tentang Kania Sasina, seorang kupu-kupu mala...