Takdir Allah

4.9K 522 33
                                    

Bismillah.

Part ini mengandung bawang.

Selamat membaca.

****

Takdir adalah satu hal yang tidak bisa dihindari. Entah itu takdir baik maupun buruk, semuanya harus dilalui meski dengan hati yang patah. Mencoba bertahan merupakan pilihan pasti, sedangkan ikhlas adalah kata lain untuk menguatkan diri.

Dan kematian merupakan satu bagian dari takdir. Tak seorangpun dapat mengelak, jangankan mengelak, menundanyapun tidak akan bisa.

Semua yang bernyawa punya waktu masing-masing. Tapi bagaimanapun kita paham betul akan hal itu, tetap saja perkara kehilangan adalah hal yang paling ditakuti. Tidak akan ada yang benar-benar siap melepaskan. Faktanya, keadaanlah yang memaksa kita untuk ikhlas. Karena bagaimanapun juga, yang sudah tiada tidak akan pernah kembali.

Benar, Sina tidak akan kembali lagi ke sisi Khabib.

Rabbi, dunia pria itu runtuh- seruntuhnya manakala mendengar kabar dari sang asisten rumah tangga bahwa Sina kecelakaan.

Tidak lagi memikirkan rasa lelah, Khabib yang kala itu baru saja menginjakan kaki dirumah, lekas pergi ke rumah sakit. Yang ada dipikirkannya hanya Sina, Sina dan Sina. Tidak ada yang lain.

Sesampainya disana, Khabib langsung bertanya pada admin rumah sakit. Dan dari informasi yang ia dapatkan, nama Kania Sasina tercatat sebagai pasien kecelakan yang masuk tadi pagi.

Maka tujuan Khabib kini ialah ruang IGD. Dengan langkah lebar--setengah berlari, ia mencari ruangan tersebut. Khabib bahkan tidak peduli lagi berapa banyak orang yang ia senggol, yang berujung memaki dirinya. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanya kondisi Sina dan buah hati mereka.

Setelah mengikuti arahan dari suster, Khabib menemukan Umi juga yang lainnya diujung lorong bangsal melati.

Isak tangis adalah hal pertama yang Khabib dengar. Tangisan Diba. Gadis itu menangis kencang didalam pelukan Nafisa--yang juga menangis meski dalam diam. Disisi lain ada Umi tengah duduk dibangku tunggu dengan kondisi yang tak jauh beda.

Barangkali hanya Zain yang tampak sedikit tenang. Pria itu duduk tepat disamping Umi dengan sesekali mengusap bahu sang Ibu, sedang tangan lain berisikan tasbih yang bergerak seirama dengan kalimat zikir yang keluar pelan dari bibirnya.

"Umi!" Khabib berlutut didepan Umi dan meraih tangan beliau yang saling tertaut diatas paha.

"Sebenarnya ada apa Umi? Sina kenapa?"

Dengan kepiluan dan air mata yang kembali jatuh, Umi meraih pipi sang putra lalu mengusapnya pelan.

"Kamu yang sabar sayang."

"Sina baik-baik saja kan Umi? Anak kami juga baik-bak saja kan?"

Umi memggeleng lemah, "Umi gak tahu Bib. Tadi Sina sempat sadar, tapi tak lama kembali kritis. Sekarang dokter sedang melakukan pemeriksaan."

Ucapan yang baru saja Khabib dengar mampu menambah sesak didadanya. Ia tercenung. Bibirnya  kelu ntuk mengeluarkan sepatah kata.

Kini, tiada yang dapat ia lakukan selain merapalkan doa,  bermunajat kepada Allah untuk keselamatan sang istri dan anak mereka.

"Kita berdoa Bang, semoga Ukhti Sina baik-baik saja." Khabib melirik Zain.

"Abang gak tahu bagaimana hidup abang tanpa Sina, Zain."

"Percayakan sama Allah Bang. Dia tahu apa yang terbaik untuk hambanya."

Pria itu mengangguk. Setidaknya ucapan Zain mampu memberikan ketenangan pada jiwanya yang saat ini sedang terguncang. Ia pasrahkan semuanya pada Allah.

MENJEMPUT HIDAYAH | CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang