Abang Sang Ustadz

4.3K 565 27
                                    

Ia kian terbawa arus perasaan yang tak berujung. Sampan yang ia bawa terus berlayar meski tahu tak akan pernah berlabuh.

Raga dan akalnya memekik ingin berhenti, memerintah agar mencari asa yang baru, namun kemudi itu tetap berada dititik yang sama, membawanya pada cinta yang tak kan berbalas.

Sina menghembuskan nafas berat untuk kesekian kali. Lalu netranya memandang dua insan yang bersanding diatas sana.

"Wah Abang sama Ustadzah Nafisa cocok pake banget deh. Diba jadi iri."

Gadis disamping Sina terlonjak senang.

Sina akui, Zain dan Nafisa sangat cocok, seolah melengkapi satu sama lain. Yang satu cantik yang satu tampan. Yang satu anggun yang satu menawan.

Andaikan dirinya yang berdiri disana. Andai ia lah si wanita yang ditatap Zain dengan penuh cinta. Andai saja.

"Sina!"

"Sa!" Sina tersenyum lebar saat dirinya menghampiri kedua mempelai itu. Percayalah, tak mudah baginya untuk melangkah, tak mudah baginya untuk berdiri disini. Ia berusaha tegar meski sang hati serasa diremas oleh tangan tak kasat mata.

"Semoga kamu sama Ustadz Zain bisa bersama selamanya hingga kesurga ya, Sa."

"Makasih Sin." Nafisa memeluk Sina, yang ikut dibalas oleh wanita itu erat.

Bisa kalian bayangkan, bagaimana rasanya saat kalian memanjatkan doa untuk orang yang kalian cinta agar bahagia dengan wanita lain? Sakit bukan?

"Aku kesana dulu ya, Sa. Mau makan."

"Oke Sin."

Sina berlalu, melewati Zain yang berada tepat disamping Nafisa. Melewati pria itu tampa mau singgah atau sekedar menatap. Terserah Zain ingin berkata apa lantaran Sina yang tak menyapa. Ia hanya coba membentengi diri.

Sesudahnya ia terus berjalan menjauhi kerumunan. Bagian tersudut ballroom ini mungkin pilihan yang tepat. Tidak akan ada yang mengganggu termasuk Diba yang sedari tadi mengekorinya. Untunglah gadis itu sudah bergabung dengan anggota keluarga yang lain. Jadi Sina bisa menyendiri disini.

Sina menatap gelas berisi sup buah dihadapannya. Sebenarnya ia tak berselera menyentuh apapun. Yang ia katakan pada Nafisa jika ingin makan hanyalah alabi, agar ia tak berlama-lama disana.

"Assalamualaikum." Perhatian Sina teralihkan, pada pria yang baru saja datang menghampiri mejanya.

"Wa'alaikummusalam. Ada apa ya?"

"Boleh saya duduk."

Sina agak ragu menjawab ya. Tapi akhirnya ia menggangguk. Bukan haknya juga melarang siapapun untuk duduk dimeja ini.

"Kalau boleh tahu siapa nama kamu?"

Sina menatap pria itu dalam diam, menelisik curiga. Ia mulai tak nyaman. Ia pikir pria dihadapannya ini hanya sekedar duduk dan tak akan mengganggunya, tapi sekarang ia malah ditanyai begini.

"Maaf saya harus pergi." Sina memilih berdiri.

"Apa kamu kenal adik Saya?"

Ha? Apa yang pria itu tanyakan? Adiknya yang mana yang ia maksud?

Sina kembali duduk.

"Maksud anda?"

"Zain. Dia adik saya."

Mata Sina membulat. Jadi yang dihadapannya kini adalah Abang Zain yang selama ini menetap di Malaysia.

Kalau dilihat-lihat mereka memang mirip. Bedanya, wajah pria ini bersih tanpa jenggot, sorot matanya lebih tajam dengan rahang yang lebih tegas. Badannya juga lebih atletis dari Zain.

MENJEMPUT HIDAYAH | CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang