Part 16
Jonathan mengambil ponselnya saat mendengar suara nada dering dari sana, untungnya kedua putranya sudah terlelap sekarang, jadi ia bisa keluar dan terima telepon dari yang nomor tidak dikenal atau nomor yang tidak terdaftar di kontaknya.
"Halo, siapa ini?" tanyanya sembari menutup pintu kamar kedua putranya.
"Aku Sinta."
"Oh ini nomormu, nanti aku save ya? Ada apa?" Jonathan melangkahkan kakinya ke arah kamarnya sembari mengistirahatkan tubuhnya.
"Tadi siang mantan suamiku datang."
"Oh ya? Tapi untuk apa dia datang?"
"Dia sudah tahu kalau aku enggak mau hamil karena aku punya penyakit tumor rahim." Nada suara Sinta terdengar sendu, membuat Jonathan merasa khawatir.
"Apa dia memarahimu karena kamu berbohong?"
"Enggak. Dia malah minta maaf karena baru tahu penyakitku, dia juga ingin kembali bersamaku, tapi aku enggak mau."
"Kenapa? Bukannya kamu masih mencintai Pak Rehan?"
"Iya, tapi sudah enggak sepenuhnya. Apalagi kemarin aku baru saja menemui istrinya, dia bilang kalau Rehan ingin kembali bersamaku. Dia juga memohon untuk aku menolaknya, supaya anaknya enggak lahir tanpa seorang ayah."
"Dan kamu mau menuruti keinginannya?" Jonathan menyenderkan tubuhnya di sandaran ranjang, ia tahu hati Sinta sedang dilema sekarang.
"Iya. Karena aku tahu, Rehan sangat menginginkan seorang anak. Kalau dia kembali bersamaku, dia mungkin enggak akan bisa memilikinya."
"Pak Rehan akan tetap memiliki anak dari istrinya kan? Kamu dan Pak Rehan bisa merawat anak itu. Lalu kenapa kamu masih menolak?"
"Maksud kamu, aku harus memisahkan anak dari ibunya begitu? Enggak, aku enggak akan setega itu, meskipun Rehan juga memberiku solusi yang sama." Sinta menjawab tegas, yang berhasil membuat Jonathan kagum dengan pemikirannya.
"Lalu apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku tetap berpura-pura kalau kita sedang dekat sampai Rehan menyerah."
"Begitu ya? Baiklah. Aku akan membantumu."
"Terima kasih. Aku menghubungi kamu karena aku juga ingin bertanya, apa rumahmu dan rumah orang tuaku jaraknya cukup jauh?" Mendengar pertanyaan Sinta, Jonathan refleks menggeleng pelan.
"Enggak kok. Kenapa?"
"Aku tahu kamu pasti sibuk, tapi saat Rehan ke sini apa kamu bisa datang? Dia sempat bilang kalau dia akan terus menemuiku. Aku takut, perasaanku akan goyah." Sinta berujar dengan nada putus asa, yang bisa Jonathan pahami perasaannya.
"Iya, aku enggak terlalu sibuk kok, aku juga jarang ke kantor, karena pekerjaanku juga bisa ditangani bagian direktur." Jonathan berujar jujur, karena memang kesibukannya hanya mengontrol tanpa harus bekerja langsung. Mungkin pagi dan siangnya ia harus mengantar jemput anak-anaknya.
"Terima kasih sudah mau membantuku dan maaf selalu merepotkanmu, suatu saat nanti aku pasti akan membalas kebaikanmu."
"Sudahlah, lebih baik kamu istirahat ya? Sepertinya kamu sedikit tertekan sekarang."
"Kenapa kamu bisa tahu?"
"Dari suaramu?"
"Begitu ya? Ya sudah, aku tutup teleponnya. Sekali lagi terima kasih."
"Iya." Setelah menjawabnya, sambungan teleponnya terputus, menandakan Sinta sudah mematikannya. Di saat itu lah Jonathan meletakkan ponselnya di atas meja, lalu membaringkan tubuhnya di ranjangnya dan menutup matanya, ia ingin tertidur sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second mate (TAMAT)
RomanceMengikhlaskan seorang suami untuk selingkuhannya, tentu saja sangat sulit untuk dilakukan semua wanita, tak terkecuali Sinta. Namun saat ia sadar kekurangannya, rasa sakit hati itu tenggelam dan menghilang. Sinta lebih memilih pergi dan merelakan. K...