Part 11
"Anda pasti berbohong. Sekarang di mana Sinta? Saya ingin berbicara langsung dengannya." Rehan masih tampak tidak terima dengan apa yang baru didengarnya.
"Tidak ada yang harus dibicarakan, Anda dan Sinta sekarang hanya mantan suami istri yang sudah bercerai. Jadi saya mohon, jangan pernah mengganggunya lagi atau saya benar-benar akan mengunakan wewenang saya untuk membatalkan kontrak kerja sama perusahaan kita." Jonathan kembali berujar dengan serius, sampai saat ponsel Sinta terdengar suara sambungan terputus, di saat itu lah Jonathan memberikannya pada Sinta.
"Maaf," ujarnya menyesal.
"Maaf untuk apa?" tanya Sinta sembari menerima ponselnya.
"Maaf karena aku sudah ikut campur dengan masalah kalian, aku benar-benar enggak terima kamu direndahkan, seolah wanita yang enggak mau hamil adalah pendosa terbesar."
"Kamu enggak perlu minta maaf, seharusnya aku yang berterima kasih, karena kamu sudah membuat aku tampak lebih berharga. Terima kasih." Sinta menitikkan air matanya, ia tidak menyangka bisa dibela lelaki baik seperti Jonathan, padahal ia hanya wanita berpenyakitan yang tidak akan bisa punya anak.
"Iya. Tapi, apa aku boleh pinjam ponsel kamu lagi?" tanya Jonathan ke arah Sinta yang tanpa ragu langsung menyerahkan ponselnya lagi.
"Ini, tapi untuk apa?" tanyanya sembari berusaha tersenyum, hatinya sedikit merasa lebih baik setelah dibela Jonathan.
"Kalau ada apa-apa, kamu hubungi nomorku ya? Aku akan berusaha bantu kamu. Mungkin nanti kamu enggak sengaja bertemu dengan Pak Rehan dan dia bertanya tentang hubungan kita, kamu langsung hubungi aku saja, aku pasti akan segera datang."
"Maksudnya kamu mau berpura-pura memiliki hubungan denganku begitu?" tanya Sinta tak yakin.
"Iya, itupun kalau kamu enggak keberatan? Aku cuma mau bantu kamu, tolong jangan berpikir buruk."
"Enggak. Aku malah sangat berterima kasih, karena sikap kamu seperti mengistimewakan aku di depan orang-orang yang enggak tahu apa-apa, yang bisanya cuma merendahkan aku." Sinta berusaha untuk tersenyum, meski hatinya masih terasa sakit bila mengingat ucapan orang tentangnya.
"Iya. Mungkin kita bukan keluarga, tapi kita masih bisa berteman, jadi jangan sungkan untuk meminta bantuan." Jonathan berujar tulus yang diangguki setuju oleh Sinta.
"Terima kasih. Oh ya, kamu sudah sarapan?"
"Belum. Aku buru-buru ke sini, karena aku pikir kamu butuh dompet dan ponsel kamu."
"Ya sudah Kalau begitu kita sarapan sama-sama ya? Aku juga belum sarapan." Sinta mendirikan tubuhnya, namun Jonathan justru menggeleng pelan.
"Enggak usah. Aku akan pulang dan sarapan di rumah." Jonathan mendirikan tubuhnya, ia berniat pamit pulang.
"Bukannya sekarang kita sudah berteman?" tanya Sinta yang diangguki Jonathan kali ini.
"Iya."
"Kalau begitu, kamu enggak bisa menolak ajakan aku. Pokoknya aku mau kita sarapan sama-sama, sekarang juga." Sinta berujar serius, ekspresi wajahnya bahkan terlihat tidak ingin ditolak.
"Tapi ...."
"Enggak ada tapi-tapian. Anggap saja aku mau balas kebaikan kamu yang tadi malam, tapi kalau untuk kebaikan kamu yang tadi, aku balasnya kapan-kapan." Sinta menyunggingkan senyumnya, yang tentu saja ditatap tak percaya oleh Jonathan meskipun bibirnya sama-sama tersenyum semringah.
"Kenapa balas budinya enggak sekalian?"
"Karena kebaikan kamu terlalu besar kalau cuma untuk dibalas dengan sarapan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Second mate (TAMAT)
RomanceMengikhlaskan seorang suami untuk selingkuhannya, tentu saja sangat sulit untuk dilakukan semua wanita, tak terkecuali Sinta. Namun saat ia sadar kekurangannya, rasa sakit hati itu tenggelam dan menghilang. Sinta lebih memilih pergi dan merelakan. K...