TIGAPULUH SEMBILAN

9 1 0
                                    

Dyrga selesai menyanyikan lagu pertama yang ia bawakan, membuat Dinda melepaskan pelukannya pada Jihan. Kini, pemandu acara menaiki panggung untuk memanggil perwakilan kelas

"Baiklah, kini giliran perwakilan dari kelas XI IPA 2 yang menampilkan aksinya. Untuk perwakilannya silahkan maju ke depan." ucap sang MC membuat Erland gugup. Erland buru buru menghapus air matanya, kemudian berjalan menuju panggung. Tepukan tangan mengiringi langkahnya.

"Saya, akan menyanyikan sebuah lagu yang mengungkapkan perasaan saya. Bahwa saya tidak ingin, orang yang saya sayangi pergi dari hidup saya. Karena saya, sangat menyayangi Dia. Jujur, aku belum siap kehilangan kamu Dinda Kayla Mahesa" ucap Erland membuat semua orang menatap Dinda. Erland-pun mengambil gitar dan memetiknya sesuai nada.

Yaps! Erland menyanyikan lagu Steven Pasaribu dengan judul Belup siap kehilangan. Jujur, memang Erland belum mempersiapkan penampilannya kali ini. Tapi ia yakin bahwa jika ia menyanyikan lagu ini dengan perasaan dan penghayatan, hasilnya akan sempurna. Sepanjang bernyanyi, Erland terus menatap Dinda yang ada di barisan paling depan.

Lagi lagi bayangan indahnya dengan Dinda kembali berputar. Apakah Dinda juga merasakan hal yang sama? Takut kehilangannya? Apakah Dinda juga masih ingin berjuang bersama? Entahlah. Hanya Dinda, Tuhan, dan Author yang tau perasaan Dinda.

"Kenapa harus lagu ini. Lagi lagi lo bikin gue ragu sama perasaan gue sendiri Er, gue takut gue salah ambil keputusan" Batin Dinda yang perlahan berjalan menjauhi panggung. Membuat teman temannya menatapnya dengan tatapan sendu.

Mungkin memang Dinda harus pergi dari kehidupan Erland untuk saat ini. Mengingat luka yang Erland beri, sangatlah membekas.

Dinda berpikir, bahwa dirinya bukanlah kalung berlian yang ditukarkan dengan sebuah Mini cooper. Tapi dia seorang gadis yang memiliki perasaan. Yang bahkan perasaannya tidak bisa dibeli dengan apapun.

Dinda mendudukkan dirinya di salah satu kursi di bagian paling belakang. bahkan tidak bisa dilihat dari panggung. Dua pasang pasutri datang menghampirinya.

"Kamu yakin mau pergi malam ini?" Tanya Laras mencoba menahan air matanya.

"Dinda yakin mah" balas Dinda yakin.

"Maafkan Erland Dinda. Bunda merasa bersalah sama kamu. Maafkan Bunda ya sayang" ucap Diva memegang tangan Dinda.

"Bunda jangan sedih ya. Dinda nggak apa apa kok. Dinda cuma mau pergi sebentar. Lagian kan Dinda pergi nggak terlalu jauh.  Bunda mau kan ikut anterin Dinda ke bandara" ajak Dinda diangguki oleh Diva dan David.

"Pasti sayang. Kamu baik baik ya Disana. Bunda disini akan jaga mamah kamu. Salam juga untuk orang orang disana" ucap Diva membelai surai Dinda.

"Dinda boleh minta sesuatu sama kalian nggak?" tanya Dinda pada keempat orang didepannya.

"Pasti boleh dong. Selagi kita bisa melakukan pasti kita akan lakukan" balas Adit antusias.

"Tolong jangan kasih tau Erland dan temen temen Dinda, kemana Dinda akan pergi" ucap Dinda membuat keempat orang itu Diam tak menjawab.

"Kita akan usahain" balas Laras diangguki tiga orang lainnya.

"Makasih" balas Dinda dengan senyumnya. Mereka pun melenggang menuju parkiran hendak langsung mengantar Dinda ke Bandara. Barang barang Dinda juga sudah ikut dibawa tadi.

Dilain tempat, Erland mmenyelesaikan lagunya dengan sempurna. Dengan air mata yang menetes pastinya. Erland turun dari panggung dan menghampiri teman temannya.

"Dinda dimana?" Tanya Erland pada Jihan.

"Dia tadi kebelakang, nggak tau kemana. Kayanya ke toilet" balas Jihan yang memang tak tau dimana Dinda sekarang.

"Nggak mungkin Dinda ke toilet sendirian. Dia kan penakut banget. Dimana Dia? gue khawatir" ucap Erland panik. Erland pun menatap kursi tamu kehormatan sekolah. Orang tuanya dan Orang tua Dinda tak ada Disana. Apakah mereka pergi bersama?

Erland mengambil ponselnya di dalam saku celana, menghubungi mamanya. Jika panggilannya Diangkat.

"Lo telfon siapa?" Tanya Bryan serius. Baru kali ini sepanjang sejarah, Bryan bicara serius.

"Bunda. Siapa tau dia pergi sama Dinda" balas Erland kemudian menekan tombol telfon pada nomor Bundanya. Tak lama kemudian panggilan diangkat.

"Ada apa Erland?" Tanya Diva.

"Bunda sama Dinda nggak?" tanya Erland panik.

"Ya enggak lah. Bunda kan ada urusan kerjaan sama orang tuanya Dinda. Makanya bunda pulang duluan" balas Diva berbohong. Erland pun menutup sambungannya.

"Gue harus cari Dinda" ucap Erland kemudian berlari meninggalkan acara. Teman temannya yang ada disitu pun mengejarnya.

"Er, udahlah. Besok pasti dia berangkat sekolah. Dibahas besok ya. Jangan sampe hari ini rusak gara gara masalah ini. Percaya sama kita. Besok Dinda pasti sekolah" bujuk Revan. Baru kali ini Revan berbicara panjang lebar.

Akhirnya Erland pun mengangguki ucapan Revan. Dia pikir, mungkin Dinda masih butuh waktu untuk sendiri dan menenangkan pikirannya. Besok, ia akan coba perbaiki semuanya.

*****

Pagi ini, Erland tak ada semangat untuk hidup. Langkah kakinya perlahan  melangkah menuju kelasnya dengan sangat lemas. Sudah seperti mayat hidup. Paginya kali ini begitu hancur. Sama seperti kemarin.

Kakinya melangkah masuk ke dalam kelas. Ditatapnya bangku Dinda yang masih kosong tak berpenghuni.

"Dinda belum dateng?" tanya Erland pada teman temannya.

"Kayanya agak telat deh" balas Jihan mencoba ceria seperti biasanya.

Tanpa balasan, Erland Duduk di kursinya. Tepat di samping kursi Dinda. Bayangan ketika gadis itu duduk disitu, bercanda dengannya. Itu semua telah pupus karena kenyataan pahit itu.

Hingga bel istirahat berbunyi, kursi Dinda tetaplah kosong. Membuat Erland tak bersemangat. Teman temannya pun bingung. Baru pertama kalinya setelah lima tahun berteman, Erland seperti mayat hidup.

"Kantin kuy" ajak Bryan seperti biasanya.

"Kalian aja" balas Erland datar.

"Kesambet apa dah lo jadi datar gitu? gue aja jadi banyak omong" ucap Revan. Memang ia belajar merubah sikapnya hanya untuk menghibur Erland.

"Ga peduli" balasnya datar.

"Gimana kalau kita tanya tante Laras aja. Dia pasti tau Dinda dimana" Ide dari Bryan yang langsung mendapat persetujuan teman temannya.

Tanpa membuang waktu lagi, Erland segera berlari mencari Laras. Ibu Dinda. Sesampainya di depan Ruang guru, Erland mendapati Laras berjalan berdampingan dengan bundanya. Penuh canda tawa.

"Bunda, mamah" panggil Erland membuat perempuan paruh baya itu menoleh.

"Ada apa Erland?" Tanya Laras pada Erland yang kini berdiri di depannya.

"Mah, kasih tau Erland. Dimana Dinda sekarang. Erland nggak mau jauh dari Dinda. Erland nggak mau mah" rengek Erland.

"Maaf Erland, tapi mamah nggak bisa kasih tau kamu. Ini permintaan Dinda. Putri satu satunya mamah. Dan sebisa mungkin, mamah harus lakuin" balas Laras penuh penekanan.

"Bunda bantuin Erland bunda. Tolong pertemuin Erland sama Dinda" kini Erland membujuk bundanya yang berdiri disamping Laras.

"Terkadang, kita baru merasakan kehilangan, saat orang itu tidak ada bersama kita. Maaf Erland. Tapi bunda nggak tau Dinda ada dimana. Karena bunda bukan siapa siapanya" balas Diva kemudian melenggang pergi bersama Laras.

"Arghhhh" Teriak Erland frustasi

To Be Continue...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 24, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A D I N D A  [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang