Papa

2.4K 85 2
                                    

"Gek, umur papa udah ga lama lagi, papa harap kamu bisa ngerti." Ucap Papa Gede lirih, sembari menatap sendu sang putri. Mahalini kini tengah duduk di tengah-tengah kedua kakaknya, menundukkan wajahnya.

"Papa hanya ingin yang terbaik untukmu, gek." Tambah sang papa kini dengan tangis.

"Tapi pah, aku udah sama Adit!" Mahalini berucap dengan tangisnya, sedikit membentak sang papa.

"Adit ga baik untukmu, gek. Papa bisa lihat itu." Jelas papa Gede lembut, memelankan suaranya.

"Aku ga bisa ngasih jawaban sekarang pah, lagi pula aku belum liat orangnya." Mahalini berucap memalingkan wajahnya ke arah lain, dengan mata berair.

"Papa paham, gek. Tapi, yang mesti kamu tahu, papa sudah pernah berunding sama mendiang mamamu dulu." Tambah Papa Gede, menatap potret mendiang Mama Serini, yang merupakan mama dari Mahalini.

"Biar Lini mikir dulu pah." Jody, kakak tertua Mahalini pun menginterupsi sang papa dengan perlahan. Ia mengerti, sang adik merupakan orang yang tak bisa dipaksa. Papa Gede mengangguk paham.

Mahalini pergi meninggalkan ruang tamu, menuju kamarnya. Ia butuh sendiri sekarang. Di dalam kamar, ia menangis sejadi-jadinya mendengar perintah dari sang papa. Ia tahu, papa nya lebih mengetahui yang terbaik untuknya. Tapi, untuk meninggalkan sang kekasih yang sudah lama bersamanya, rasanya sangat berat. Ia pun memutuskan untuk mengecek ponselnya, berniat menghubungi sang kekasih. Ia menekan aplikasi WhatsApp guna mengirim pesan pada Adit, kekasihnya. Ia pun mulai mengetikkan pesan.

Mahalini

Sayang

Kamu kemana

Ketemu sih

Aku kangen

Setelah beberapa menit menunggu, tak kunjung ada balasan. Mahalini pun memutuskan untuk beranjak dari kasur, pergi berdiri di depan potret mendiang mamanya. Air matanya mengalir kembali.

"Ma, kenapa mama ninggalin aku?" Lirih Mahalini menatap potret tersebut.

"Aku ga mau di jodohin, ma!" Tambah Mahalini, kini dengan sedikit keras.

"Ma, aku sangat sayang Adit!"

"Ma, aku ga tau harus apa, ma." Mahalini menangis, air matanya mengalir deras membasahi pipinya. Ia tak kuasa lagi menatap potret mamanya, ia pun kembali ke kasur guna memenangkan pikirannya.

Sebuah dering notifikasi dari ponselnya, membuyarkan lamunan Mahalini. Dengan cepat, ia lihat siapa yang mengirimkannya pesan saat ini.

Julita

Gek

Kamu harus liat ini

Photo sent

Mahalini membelalakkan matanya terkejut. Ia tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang. Tangannya gemetaran memegangi ponselnya. Dengan cepat, ia mengetikkan balasan kembali untuk sahabatnya.

Mahalini

Dari siapa?

Julita

Kan

Udah aku duga

Close friend nya Dewi

Barusan banget

Mahalini meneguk ludahnya kasar. Pantas, dari kemarin malam Adit tak bisa dihubungi. Pikiran Mahalini kini menerawang jauh memikirkan sang kekasih. Di foto tersebut terlihat jelas Adit tengah meminum minuman keras bersama seorang wanita yang tak ia kenal, ditambah pose Adit yang merangkul pinggang dari wanita tersebut, menjelaskan semuanya. Mahalini sangat mempercayai kekasihnya, sampai mungkin ia dibodohi oleh rasa kepercayaannya itu.

Mahalini menangis sejadi-jadinya sekarang. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Kini, saking lelahnya menangis, ia pun memejamkan matanya dan mulai memasuki dunia mimpi.

Mahalini memicingkan matanya, menatap sekeliling. Ia tak tahu sedang berada dimana sekarang.

"Gek?" Panggil seseorang dari belakang, membuat Mahalini menoleh. Ia terkejut, kala melihat kembali sang mama dengan pakaian berwarna putih sedang tersenyum.

"Ma!" Mahalini menghamburkan pelukannya pada mamanya yang sudah lama tak bertemu dengannya.

"Mama, aku kangen." Mahalini menangis terisak dalam dekapan sang mama.

"Mama juga, gek!" Balas sang mama, mengelus rambut Mahalini.

"Ma, kenapa mama ninggalin aku?" Tanya Mahalini, dengan terisak.

"A-a-aku ga bisa sendiri, ma." Mahalini berucap dengan terbata.

"Mama ga ninggalin kamu, gek. Kamu ga sendiri juga." Balas sang mama lembut, menyeka air mata Mahalini yang mengalir.

"Ma, kenapa Adit tega?" Mahalini menatap sendu wajah mamanya, menyiratkan binar kecewa yang amat dalam. Mama Serini mengerti atas apa yang Mahalini rasakan, ia bawa kembali putrinya kedalam dekapannya.

"Sudah, gek. Ambil hikmahnya, dia bukan yang terbaik." Mama Serini berucap lembut, memberi pengertian pada putrinya.

"Ma? Perjodohan yang papa maksud? Apa bener itu udah kalian bicarain?" Tanya Mahalini, dengan raut bertanya.

"Sudah, gek." Mama Serini mengangguk mengiyakan.

"Tapi.. kenapa, ma?" Tanya Mahalini meminta penjelasan.

"Semua pertanyaan yang muncul di benakmu sekarang, akan terjawab, gek--

"Ikuti saja alurnya." Lanjut Mama Serini lembut.

"Apa mama yakin dia yang terbaik?" Tanya Mahalini menatap ragu sang mama.

"Mama ga pernah seyakin ini, gek." Mama Serini menjawab dengan senyum.

"Mama pergi dulu, gek." Mama Serini mengucapkan hal itu yang membuat Mahalini menahan sang mama.

"Jangan ,ma!" Mahalini menahan tangan sang mama agar tak pergi. Namun, ia tak bisa. Seakan ada dorongan yang mendorong kedua tangan itu agar terlepas. Mahalini berteriak menjerit memanggil sang mama yang sekarang semakin menjauh dari pandangannya.

"Maaaaaa!"

Mahalini bangun dari mimpinya dengan wajah yang sudah basah akan air mata, deru nafasnya tak karuan kali ini. Ia mencoba menetralkan kembali detak jantungnya. Ia usap wajahnya kasar.















aku mutusin buat nulis 2 cerita, ini dan Malica! Hope you like it!🌹🤍

Kembali [END] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang