Jakarta

903 82 8
                                    

Setelah memikirkan keputusannya dengan matang, Mahalini memutuskan untuk kembali menginjakkan kakinya di Jakarta setelah sekian lama menetap di Bali. Tentunya, ia merasa sedikit berat meninggalkan sang papa yang tengah sakit. Namun, Papa Gede meyakinkan dirinya untuk tetap ke Jakarta.

"Papa gapapa gek, ada kakak-kakakmu juga kan." Ucap Papa Gede menghapus air mata Mahalini yang terjatuh, menatap putrinya yang tak henti-hentinya menangis.

"P-p-papa.." Mahalini kembali memeluk papanya yang tengah duduk di kursi roda.

"Udah itu malu diliatin." Papa Gede berbisik lembut pada putrinya, membuat Mahalini melepas pelukannya masih dengan isakan. Nuca yang berada di belakang Mahalini pun mengusap pelan punggung Mahalini, dengan satu tangannya yang tak ia gunakan untuk memegangi koper.

"Nuca, titip Lini ya." Titah Papa Gede dengan suara payau, menatap Nuca penuh harap. Nuca melepas genggamannya pada koper, lalu menghampiri Papa Gede, memeluk singkat pria paruh baya itu.

"Pasti om." Balas Nuca menyanggupi, Papa Gede menepuk pelan punggung Nuca. Setelah itu, Nuca bergantian memeluk kedua kakak dari Mahalini yang juga ikut mengantarkan mereka berdua ke bandara.

"Ka Jod." Nuca memeluk singkat Jody, lalu bergantian memeluk Dion yang berada tak jauh dari Jody.

"Titip adekku, Nuc!" Dion menepuk pelan punggung Nuca.

"Udah, yuk?" Nuca bertanya pada Mahalini, kembali mengambil kopermya. Mahalini menatap keluarganya secara tak rela, Nuca mengerti akan hal itu.

"Dah sana gek!" Titah Dion, yang juga setengah hati melepas kepergian sang adik.

"Baik-baik!" Papa Gede melambaikan tangannya ke arah Mahalini yang sudah tampak menjauh dari pandangan.

Setelah masuk ke dalam pesawat, kini Mahalini tengah duduk bersebelahan dengan Nuca. Nuca sedari tadi terus memperhatikan Mahalini yang memandangi jendela pesawat. Nuca paham, berat bagi Mahalini untuk meninggalkan keluarganya. Dengan setengah nekat, ia ambil tangan Mahalini yang berada di paha gadis itu, ia kaitkan dengan tangannya, menggenggamnya erat. Mahalini menoleh, menatap Nuca kaget.

"Gapapa, ada aku." Ucap Nuca seakan tahu apa yang Mahalini pikirkan sekarang.  Mahalini tersenyum akan hal itu. Mahalini menyenderkan kepalanya pada pundak Nuca, mulai mengeluarkan isi hatinya sekarang.

"Aku takut, Nuc." Ucap Mahalini, membuat Nuca membungkuk, melirik ke arah Mahalini yang tengah berada di pundaknya.

"Kenapa?" Balas Nuca penasaran.

"Ya takut aja, aku udah lama ga ke Jakarta." Jelas Mahalini.

"Ga usah takut, Lin." Satu kalimat yang menenangkan Mahalini sekarang.

"Kan di Jakarta enak juga, bisa ketemu temen-temen, MyLinz, kan?" Tambah Nuca.

"Iya sih, takut ku tuh bukan gitu, ih!" Elak Mahalini.

"Terus?" Balas Nuca lembut.

"Ga jadi deh." Mahalini membalas menggeleng.

"Kenapa, Lin?" Nuca meminta penjelasan.

"Ga jadi!" Kekeuh Mahalini.

"Kenapa?" Nuca berkata sembari menoel pinggang Mahalini menggunakan telunjuknya seperti yang sering ia lakukan dahulu, membuat Mahalini terperanjak dari duduknya.

"Ish!" Mahalini menepuk pelan pundak Nuca.

"Mau pinjem hp mu dong!" Mahalini berkata, meminta ponsel Nuca. Nuca pun merogoh sakunya, mengeluarkan ponsel dari sana lalu memberikannya pada Mahalini. Senyum Mahalini perlahan mengembang kala melihat wallpaper ponsel laki-laki disebelahnya adalah potret dirinya yang memang Nuca potret beberapa waktu lalu.

Kembali [END] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang