BAB 3: Alibi

20.8K 2.2K 54
                                    

enjoy, love<3

***

BAB 3: Alibi

.
.
.
.
.

"Ada apaan sih di depan? Rame banget," tanya Raya pada Ibra yang saat itu tengah meminta deadline naskah yang ia kerjakan.

"Katanya sih ada yang pindah kantor, tapi gue nggak yakin, soalnya gue tahu dari ruang sebelah," jawab Ibra.

Pandangan Raya tidak bisa teralihkan dari jendela transparan yang mengotaki ruang kerjanya, di sana terlihat sejumlah laki-laki membawa peralatan kantor yang ukurannya cukup besar melewati ruang kerjanya. Beberapa dari mereka sejak tadi sibuk hilir-mudik. Sepertinya benar kata Ibra, ada seseorang yang memindahkan ruang kerjanya ke kantor Laksara Publishing. Jika dugaan itu salah, mungkin saja mereka hanyalah staf toko yang tengah mengirimkan barang baru milik pimred atau manajer. Tak peduli, Raya kembali melanjutkan kegiatannya.

"Nih." Gadis itu mencabut diska lepasnya dan memberikan benda kecil itu ke Ibra. Para editor di Laksara Publishing memang masih melakukan transfer data dengan cara konvensional seperti ini, karena menurut pimpinan mereka, cara itu terbilang lebih aman dibanding menggunakan surel. "Covernya juga udah ada di situ, kalau mau revisi, langsung hubungin Arvin aja. Hari ini dia ambil remote kayaknya, dari tadi nggak kelihatan." kata Raya.

"Oke sip." Ibra pun kembali ke asalnya setelah mengedipkan sebelah matanya kepada Bila dengan genit. Raya yang melihatnya langsung memberi gestur seperti orang yang sedang muntah.

"Geli, Bra!" seru Raya sambil tertawa-tawa.

Rupanya ruang kerja Bila dan Raya tidak kunjung tenang, karena setelah Ibra keluar, Sheira tiba-tiba masuk ke dalam dan berlari ke arah kubikel Raya yang kebetulan paling dekat dengan pintu masuk. Wajah Sheira bersinar, seperti habis mendapat bonus dari atasan. Perempuan itu memanggil Bila untuk bergabung bersamanya di kubikel Raya.

"Aduh, meja gue jadi sarang dosa lagi, deh!" gerutu Raya, memutar bola mata.

"Sumpah, info kali ini panas banget, mendidih!" balas Sheira, tak peduli dengan karyawan lain yang sedang fokus bekerja.

"Kenapa?!" tanya Bila penasaran.

"Pak Raskal pindah ke sini!"

Raya dan Bila sama-sama mengerutkan dahi.

"Pindah? Dia udah nggak kerja di perusahaan bokapnya lagi?" tanya Bila.

Sheira menggelengkan kepala kuat-kuat. "Bukan gitu! Dia masih jadi direktur di sana, tapi dia pindah ruang kerja ke kantor ini. Ngisi ruang rapat," jawab Sheira yang langsung membuat Bila menutup mulut dengan salah satu tangannya dan membuat Raya memijat pelipis.

"Emang Prayoga Tower kenapa?" tanya Raya.

"Katanya sih kantor tempat dia kerja lagi direnovasi gede-gedean," jawab Sheira.

Raya makin heran, tak percaya bahwa itu adalah alibi satu-satunya kepindahan Raskal Prayoga. Gedung tinggi berlantai empat puluhan yang terletak di selatan ibukota itu tidak mungkin kekurangan ruangan. Terlebih lagi, kepindahan Raskal ini terlalu mencolok. Apakah seorang Raskal Prayoga punya urgensi untuk menggunakan kantor sederhana ini sebagai tempatnya berkonsentrasi dan meninggalkan kemewahan yang ia miliki? Orang kaya macam Raskal biasanya lebih senang bekerja berpindah-pindah, dari tempat mewah ke tempat mewah lainnya. Jika Raskal Prayoga mengungsi ke kantor Laksara Publishing karena kantor bagian direksi Prayoga Group sedang direnovasi, maka semua pria itu konyol sekali. Dengan kekayaannya yang melimpah, pasti ia bisa menyewa sebuah gedung untuk tempat bekerjanya seorang diri, atau hotel bintang lima yang begitu nyaman dan penuh pelayanan yang memuaskan. Kalau tidak, bukankah ada rumah pribadi yang dapat membuatnya lebih santai dalam bekerja alih-alih ruang rapat Laksara Publishing yang pendingin ruangannya kadang tidak berfungsi?

I am (not) Into It (UNDER REVISION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang