BAB 32: Drowning Into Reality

14.4K 1.4K 239
                                    

sorry for any typos, grammar errors, or incoherent sentences or paragraphs.


disclaimer, the wordcount in this chapter isn't as much as the previous one.

so, enjoy!!!🤗🤗

***
BAB 32: Drowning Into Reality

.
.
.
.
.

"Mbak!"

"Hapus!"

"Mbak ... Please, aku mohon ...."

"Mbak!"

Raya terus melangkahkan kakinya dengan cepat, tak memedulikan Arleen yang menarik-narik tangannya. Meski terdengar isakan pilu dari adiknya itu, Raya sama sekali tak mau repot menghentikan langkah untuk sekedar menengokkan kepala.

Demi Tuhan yang tengah menyaksikan adegan dramatis ini, rasanya ia ingin mencaci maki. Namun, buat apa? Dirinya dan Raskal sudah bersepakat untuk tidak menganggu kehidupan satu sama lain. Bisa jadi, apa yang mereka lakukan tadi merupakan salah satu manifestasi dari kesepakatan itu.

Masa bodo jika Arleen dan Raskal menikmatinya dan menganggap malam ini sebagai momen terindah yang mereka berdua rasakan. Sama sekali bukan urusannya. Namun, dari banyaknya tempat di vila ini, bahkan di pulau ini, mengapa mereka harus berbuat di kamarnya?

"Mbak Raya ...." Tangisan Arleen tetap mengikutinya walau ia telah mengurung diri di kamar Yohan yang saat itu tak berpenghuni. "Please, Mbak .... Hapus videonya!!!" jerit Arleen memohon sambil menggedor-gedor pintu.

"Mbak ...."

Raya melangkah mundur ke tengah kamar Yohan, mendekati ranjang sambil menatap kosong pintu yang bergerak-gerak oleh gedoran Arleen. Di luar sana, gadis itu berlutut di depan pintu sambil menangis frustasi karena Raya tak kunjung meresponnya. Bukannya Raya ingin menjahati Arleen dengan menakut-nakutinya menggunakan video yang sejak tadi disebutkan gadis itu. Bukan juga ia senang melihat adiknya hancur. Hanya saja, ia tidak tahu harus berbuat apa. Pikirannya mendadak hampa.

Ia bergeming, menatap daun pintu yang masih sama gerakannya. Ia lelah. Ia ingin beristirahat. Dari masalah ini, dari kehidupannya, dari semuanya. Ia ingin punya waktu di mana ia tidak perlu mengkhawatirkan apapun dan siapapun. Ia butuh ruang untuk dirinya sendiri, di mana tidak ada orang lain yang lancang masuk dan mengacak-mengacak semua hal yang sudah susah payah ia simpan rapi.

Perempuan itu mendudukkan diri di atas ranjang Yohan. Akan tetapi, alih-alih rasa nyaman yang menghampirinya, rasa sesal menerobos sukmanya tanpa permisi. Derit ranjang yang tercipta melalui gerakannya menggema di ruangan dingin itu, dalam sekejap membekukan tubuhnya bagai mantra yang menghempas jiwan hingga ke masa lalu, melemparnya ke jurang kenangan yang gelap dan mencekam.

Derit itu terus terngiang di kepalanya, lama kelamaan muncul desah dan rintih yang menyiksa. Tubuhnya mendadak kaku, seolah ada kawat yang mengikat, berkutik sedikit bisa melukainya.

Perlahan, rintihan Arleen menghilang. Namun, ketukan lemahnya pada pintu tiba-tiba kembali menjadi gedoran hebat, lebih hebat dari sebelumnya,  membuat pundak Raya menegang.

DOR DOR DOR

"Raya ...."

Tak terdengar lagi ratap dan tangis di luar sana, menyusul sebuah panggilan dengan suara berat yang menyeramkan.

"Buka pintunya ... Om mau ngobrol sama kamu ...."

Sekujur tubuh Raya merinding, bulir keringat mulai muncul di permukaan kulitnya yang dingin.

I am (not) Into It (UNDER REVISION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang