BAB 5: The Meeting

17.3K 2.1K 85
                                    

happy reading <3

***

BAB 5: The Meeting

.

.

.

.

.

Pertengkaran tadi malam rupanya hanya sebuah hiasan tiada guna, tak berpengaruh pada apapun yang terjadi di masa mendatang. Tak perlu jauh-jauh melompat ke satu atau dua tahun lagi, cukup ke hari berikutnya, keluarga Suryono berhasil dibuat tercengang dengan keputusan yang Raya sampaikan saat sarapan sedang berlangsung. Gadis itu seakan dirasuki oleh setan asing ketika gadis itu bertanya: "Kapan perjodohan itu akan dimulai?"

"Bisa kapan pun dilaksanakan." Galih langsung menjawabnya. "Semuanya tergantung kamu, Nak."

Tidak ada yang tahu mengapa Raya tiba-tiba tertarik dengan perjodohan yang tadi malam ia tolak mentah-mentah, tetapi hal itu tidaklah penting bagi Galih, yang paling penting saat ini ia bisa kembali membawa topik itu dan menambah sedikit upaya persuasi-nya agar Raya mau menerima perjodohan.

"Bagaimana kalau hari minggu ini?" tanya Raya, terlihat berpikir sejenak sebelum kembali berbicara, "Karena Rabu minggu depan saya harus balik ke Jakarta," katanya.

Di meja makan yang sama, Najwa bertukar pandang dengan Eyang Kakung, begitu juga Arleen dan Riana. Mereka takjub dengan Raya yang merubah pikirannya seratus delapan puluh derajat, seolah ia sudah siap menerima konsekuensi dari semua ini.

"Memangnya kamu sudah siap?" Galih bertanya ragu.

"Tidak ada yang lebih siap dari saya, bukan?" Raya balik bertanya, mengerling ke arah Arleen yang mengeratkan rahang, merasa kalimat Raya menyindirnya.

Galih mengangguk membenarkan, lalu pria itu tersenyum hangat pada putri sulungnya. Senyum hangat yang jarang sekali terlihat, terutama pada manik cokelat milik Raya. "Kalau begitu, biar Papa kabari teman Papa," katanya.

Keputusan itu bukanlah hal sepele yang bisa langsung Raya ucapkan tanpa berpikir panjang. Gadis itu tahu bahwa mungkin ia akan mempertaruhkan prinsip yang sudah ia pegang selama belasan tahun. Apapun yang terjadi, ia berhadap bahwa penyesalan bukanlah salah satunya.

*

Semua asisten rumah tangga dan Najwa terlihat sibuk ketika Raya keluar kamar sehabis mandi. Galih benar-benar menyambut temannya itu dengan segala niat dan upaya. Ruang tamu telah disulap sedemikian rupa, diperluas dan dipercantik, aroma masakan dan kue-kue pun sudah tercium hingga kamar Raya. Pertemuan ini seperti acara lamaran, begitu pikirnya saat turun ke ruang tengah, gadis yang mengenakan kaus pendek bertuliskan MARVEL dan celana selutut itu berniat untuk melihat semua proses yang dilakukan oleh orang-orang rumah. Namun, saat Najwa menangkap keberadaannya, perempuan itu melotot tajam saat melihat penampilan Raya yang terlampau santai.

"Astagfirullahalazim," sebut Najwa, menghampiri Raya dengan apron yang melekat di bagian depan tubuhnya.

"Kenapa mbak? Kok nyebut?" tanya Raya bingung.

"Soalnya aku kayak lagi lihat preman pasar," sindir Najwa, menatap Raya dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Raya yang mengerti maksud Najwa hanya terkekeh sambil menggaruk tengkuk. Lalu dengan santai, ia mencomot beberapa butir anggur dan memakannya.

"Yang bener aja, Ray? Masa mau ketemu calon suami pakaiannya kayak mau tidur begini? Mana belom sisiran, lagi!" tukas Najwa, menyentil untaian rambut pendek Raya yang masih basah.

Raya memutar bola matanya, lantas tanpa menyahuti Najwa, ia beranjak setelah mencuri anggur lebih banyak dan pergi ke ruang tengah untuk menonton televisi.

"Raya!" Tak menyerah, Najwa mengikuti langkah sang adik sepupu dan memukulnya dengan serbet, kemudian ia melotot galak. "Ganti baju, atau--"

"Maaa! Bisa tolongin Arleen nggak?!" perkataan Najwa menggantung di udara kala teriakan Arleen menginterupsi. Najwa dan Raya menoleh ke arah sumber suara dan terpukau dengan pemandangan yang ada.

Seorang gadis berkulit putih tampak cantik dalam balutan gaun berwarna biru muda, rambut panjangnya yang sehat dianyam sedemikian rupa, tak lupa dengan solekan yang membuat wajahnya menjadi lebih cantik, kini penampilannya bak seorang putri yang hendak bertemu sang pangeran.

Takjub, Raya berpikir jika Arleen lebih siap untuk pertemuan ini dari pada dirinya sendiri,

"Tuh 'kan, udah sana cepat ganti baju, Arleen aja sudah rapi!" omel Najwa.

Raya menghela napas panjang, tak ingin mendengar omelan Najwa yang makinmengganggu, gadis itu pun beranjak menuju kamarnya untuk berganti baju dan berdandan. Dalam langkahnya, Raya melempar senyum miring dan bertukar pandang dengan Arleen yang tengah menatapnya dari balkon koridor lantai dua.

*

Dengan menenggelamkan kedua tangannya di saku celana, Raya menuruni tangga yang menghadap langsung ke ruang tamu. Di ruangan itu, segerombol orang duduk di sofa, mengobrol santai, menunggu kedatangan dirinya. Ada tiga orang yang tidak Raya kenali, ia hanya bisa melihat bagian samping wajah orang-orang itu. Namun, ada hal yang lebih menarik perhatiannya dari pada identitas mereka. Di sana, Arleen duduk berhadapan dengan seorang laki-laki bercelana hitam, menatap terpesona.

Lihatlah, siapa yang kemarin merengek menolak perjodohan ini? Kini adiknya itu seolah menikmati pemandangan di depannya. Setampan apakah laki-laki yang kini bertandang ke rumahnya?

Begitu ia melompati anak tangga terakhir, semua kepala langsung menoleh ke arahnya, menatapnya dengan kesan yang berbeda-beda. Najwa, Riana, dan Arleen terlihat bingung, karena pada momen ini, Raya mekutuskan untuk tidak memakai gaun yang kemarin diberikan Riana dan menggantinya dengan setelan jas formal berwarna hijau zaitun yang membuatnya terlihat seperti mengenakan pakaian ayahnya.

Galih tidak memprotes penampilan Raya, pria itu sudah terlalu antusias dengan pertemuan ini. Baginya, Raya sudah sempurna apabila dipasangkan dengan anak temannya.

"Ini dia anaknya." Galih berdiri dan mempersembahkan Raya pada seorang pria paruh baya di hadapannya. Tampang pria cukup familiar, seolah Raya pernah melihatnya beberapa kali di televisi nasional atau majalah-majalah bisnis yang terjaja di toko buku. Tampang seorang pengusaha sukses yang berhasil mendominasi pasar dalam negeri.

"Ke sini, Nak." Galih menarik Raya lebih dekat, "Perkenalkan, ini Om Harris dan Tante Hera."

Raya menyambut uluran tangan pria paruh baya bernama Harris itu dengan cukup kuat. Merasakan adanya kepercayaan diri pada gadis itu, Harris tersenyum, "Saya suka jabat tangan yang kuat," pujinya.

Hanya menanggapi dengan anggukan dan senyum yang ia usahakan terlihat tersipu malu, Raya akhirnya beralih pada seorang wanita cantik berpenampilan elegan yang berdiri di samping Harris. Tanpa menjabat tangan, Hera langsung membawa Raya ke pelukan, membuat gadis itu bisa merasakan kulitnya yang tetap terasa halus dan kenyal walaupun tubuhnya terasa kurus dalam dekapan Raya.

"Kamu cantik sekali, Raya," puji Hera.

Jujur, saat ini pujian itu tidak membuatnya senang. Sebab, satu pujian sama dengan 10% kesempatan berhasilnya perjodohan ini. Daripada ditujukan kepadanya, pujian itu lebih pantas ditujukan ke Arleen yang sudah berusaha tampil maksimal. Jika ada kontes kecantikan setelah ini, Raya jamin Arleen akan langsung jadi juara. Penampilannya jika dibandingkan dengan Arleen bagaikan seorang pesuruh dan putri kerajaan. Kastanya jauh sekali.

Setelah puas memuji Raya sambil mengamati wajah gadis itu, Hera kemudian menarik dan membawa gadis itu menghadap seseorang. Ambisi untuk menggagalkan perjodohan ini makin menggelora begitu melihat siapa yang ada di belakang Hera. Pria itu berdiri, menatap Raya tanpa ekspresi.

"Senang bertemu denganmu. Lagi," katanya, tersenyum tipis.

***

I am (not) Into It (UNDER REVISION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang