BAB 34: A Name That Came Home

14.5K 1.6K 301
                                    

sorry for typos and grammar mistakes.

Happy reading❤️

***
BAB 34: A Name That Came Home

.
.
.

Arvin sebisa mungkin mempertahankan kesadarannya, berusaha untuk tak terbuai oleh keindahan yang tersuguhkan di depan mata, tatkala seorang gadis muncul dari balik pintu kaca, melangkah ke arahnya. Sepasang bola mata cokelat gadis itu bertemu tatap dengan matanya, membuatnya menegakkan postur tubuh dan menetralkan mimik wajah, tak ingin keterpukauannya tertangkap basah oleh siapapun, terutama oleh gadis itu.

Lihat lah netra cokelat yang begitu jernih saat tersorot matahari itu, bak tetesan madu yang membungkus kelopak bunga dandelion, menyihir Arvin dalam kesunyian, membungkam mulut pemuda itu sampai ia tak sanggup mengucap satu penggalan kata: "Hai."

Dengan senyum yang sedikit kaku, gadis itu menunjuknya, bibir berwarna merah jambu itu kemudian bergerak memanggil namanya. "Arvin?"

Sekujur tubuh Arvin meremang, pemuda itu mengumpat dalam hati. Sial, mengapa kegugupannya terasa lebih kuat sekarang daripada saat di wawancara kerja kemarin?

Pemuda itu pun hanya merespon pertanyaan singkat tersebut dengan sebuah anggukan.

"Raya." Gadis itu memperkenalkan diri, tersenyum lebih ramah dari beberapa detik yang lalu, membuat sekujur tubuh Arvin mendadak terserang hawa dingin yang asing. Apakah perempuan di hadapannya ini nyata? Sebab sejak tadi Arvin merasakan gejala-gejala fisik yang muncul ketika bertemu makhluk halus.

Gadis itu mengulurkan tangan untuk berjabat, kemudian dengan ragu dan canggung Arvin menyambutnya.

Ia yakin bahwa Raya pasti bisa merasakan telapak tangannya dingin dan lembab. Setelah jabat tangan singkat itu, Raya meminta Arvin untuk mengikutinya, mereka berjalan bersisian menuju ruang kerja yang akan menjadi tempat Arvin menuangkan semua kreativitasnya.

"Nervous ya?" tanya Raya tanpa menatap Arvin, gadis itu menatap ke depan, melangkah santai sambil memeluk setumpuk dokumen di dadanya. "Di sini aman kok, nggak ada yang namanya senioritas, apalagi perpeloncoan, tenang aja," lanjut gadis itu tanpa menunggu respon Arvin.

Arvin hanya mengangguk, matanya menatap sekitar, memperhatikan ruangan-ruangan berpintu dan berdinding kaca yang berada di sepanjang koridor. Ada ruangan yang meluas ada pula yang tersekat, di dalamnya terdapat banyak kubikel yang ditempati berbagai macam jenis karyawan, dari yang terlihat muda dan baru memulai karir, hingga yang terlihat berwibawa dan sudah jauh berpengalaman. Di sini lah tempat waktunya akan dihabiskan setelah bertahun-tahun ia mendekam di rumah, berkecimpung di dunia freelance. Sebenarnya, bekerja di kantor adalah sebuah ide yang tidak pernah Arvin bayangkan sebagai seorang seniman, tetapi Ibra berhasil menghipnotisnya dengan iming-iming gaji tinggi dan jam kerja yang fleksibel, membuat ia tergoda untuk mencoba.

Dan di sini lah ia, hari pertamanya bekerja.

"Ibra udah ngejelasin semua jobdesk lo?" tanya Raya. "Hmm ... by the way, lo enggak apa-apa 'kan kalo kita nggak pakai aku-kamu? Kita seumuran, bukan?" Lagi-lagi sebelum Arvin menjawab, gadis itu menambahkan pertanyaan baru.

"Ibra udah jelasin semuanya, dan gue nggak masalah soal panggilan," jawab Arvin, berusaha relaks.

Untuk apa ia tegang jika gadis di sampingnya ini pun terlampau santai kepadanya?

Raya mendahului Arvin, membukakan pintu kaca yang berlabelkan DEPARTEMEN EDITORIAL FIKSI kemudian memanggil semua penghuni ruangan itu dan menyuruh mereka menyambut Arvin. Setelahnya, gadis itu melepas Arvin, membiarkan yang lain berkenalan dengan pemuda itu. Kiranya, hingga jam kerja berakhir, Raya tidak lagi menyapanya. Gadis itu menghilang kala tugasnya menemani Arvin sudah selesai.

I am (not) Into It (UNDER REVISION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang