Adel mendapatkan penggantinya.
Saking malasnya akan sorot tak sopan, Adel jadi mengabaikan cowok-cowok yang sebenarnya tak memiliki niat buruk. Walau dikenal ramah, Adel tetap bisa menjadi sosok dingin tak berperasaan bila orang lain sudah membuatnya badmood. Namun anehnya, keberadaan cowok tinggi itu ketika dia tengah cemberut di sudut kafe memberi sedikit tawa yang lama tak menampakkan diri setelah hilangnya Egi dari hidup Adel.
Jujur, saat itu Adel tengah frustrasi. Dia lelah, sementara support system yang biasanya selalu siaga menemaninya untuk sekadar memberi peluk dan usapan manis di kepala sudah tak ada. Haruskah Adel mengakui kalau dia termasuk cewek cengeng? Karena sungguh, rasa kosong di dada ini sudah menyedot habis tenaganya untuk melakukan apa pun sejak berhari-hari lalu.
Dia merindukannya. Namun rasanya, menghubungi dan memulai pertemuan terlalu muluk-muluk setelah jelas-jelas ketidaksopanan Egi lah yang membuat Adel memilih putus. Walau Egi adalah pacar pertamanya, ralat, mantan maksudnya. Tuh, 'kan? Begini saja Adel masih suka lupa. Egi memang satu-satunya cowok yang terbilang sangat dekat dengannya, sampai melirik cowok lain rasanya mustahil sekarang.
Tapi dia datang.
"Aku duduk, ya? Meja lain udah penuh." Suara itu dalam, terkesan hangat walau diucapkan sepelan mungkin. Adel mendongak, linglung sesaat sebelum mengangguk dan menggeser cokelat dinginnya hati-hati. Cowok itu melirik jari-jarinya yang bergetar, seakan hantaman nyeri tengah menusuk-nusuk pikiran Adel.
Hening melingkupi, karena Adel bukan dalam keadaan di mana dia bisa bersenyum ria dan memulai obrolan basa-basi. Setelah cowok itu sibuk memainkan ponsel, Adel kembali memandangi kerlip lampu dan lalu lalang kendaraan yang terlihat mendung, sesuai dengan perasaannya kini.
"Mau cerita? Sini, aku dengerin."
"Eh?" Adel mengerjapkan mata bingung. "Sorry?"
Ada tawa kecil yang menyenangkan menguap. Duduk berhadapan dengan jarak tak jauh membuat Adel sadar, air muka cowok ini membuatnya ingin menatap lebih lama. Seakan mata hitam yang kini memandangnya lurus mengizinkannya untuk bersandar di sana.
Adel berdeham kala serak merongrong. "Aku nggak ngerti. Kita pernah ketemu, ya?"
"Kalau kamu udah liat list kelas XII IPA 2 setelah diacak, kamu bakal tau kalau kali ini, kita sekelas."
"Oh, kita satu sekolah? Kok aku nggak pernah liat kamu?"
"Karena kamu terlalu takut kalau dideketin, ah, atau mungkin, aku yang terlalu biasa buat kamu malingin muka?" Lagi-lagi dia terkekeh, yang meski terasa aneh, pelan-pelan Adel mulai merekam bagaimana bibirnya terangkat manis di ingatan.
"Sorry, aku emang nggak nyaman deket sama cowok-cowok kalo di sekolah. Agak risi."
"Karena mata mereka yang kurang ajar?"
Perasaan Adel saja, atau memang dia selalu tahu apa maksud perkataan Adel tanpa perlu dijelaskan?
"Kok kamu tau? Keliatan banget, ya?"
Dia mengangguk sambil memasukkan tangan ke saku hoodie. "Semua cowok di sekolah juga tau kali. Aku yakin yang nggak kenal kamu cuma segelintir, seenggaknya mereka pasti pernah denger tiap kamu diomongin."
Adel meringis. Ternyata seperti itu, ya? Tidak usah ditebak, Adel jelas tak perlu bertanya apa saja yang mereka katakan tentang dirinya.
"Tapi nggak papa. Sekarang kamu udah kenal aku. Kalau mau, boleh kok kamu selalu di deket aku biar nggak digangguin lagi. Gimana?"
Adel kian speechless. "Wait, what?"
Cowok itu terkekeh, menegakkan pundak yang tadi bersandar kemudian mengulurkan tangannya ke hadapan Adel.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Balikan Bangsat
Подростковая литератураSeks itu seperti virus bagi Adel, mengerikan. Pacarnya menunjukkan itu, dia langsung memutuskannya. Teman-teman di kelas, geng-geng berandalan, semua melecehkannya karena tubuh Adel yang lebih dewasa dibanding yang lain. Dia menyadari keanehan pada...