18 | What About Us, Del?

207 11 0
                                    

Rasanya jam sebelas terlalu awal kalau untuk makan siang. Awalnya Sera pun berpikir begitu. Namun setelah bertahun-tahun menghandle perusahaan dan mengemban lebih banyak tanggung jawab karena dia sudah jadi direktur dan pemilik saham terbesar, pola pikir Sera kebanyakan berubah.

"Kamu beneran nggak sibuk, Mas? Aku bisa nyetir sendiri kok." Gitu yang Sera bilang saat Farhan masuk ke ruangannya dan menawarkan diri buat mengantar Sera rapat di luar kantor.

"Nggak papa. Aku juga mau ambil arsip yang ketinggalan di rumah. Kalau rapatnya udah selesai, telepon aku aja. Aku jemput."

Ucapan lembut Farhan kedengaran tulus, bikin Sera tidak enak menolak. Hah... entah bagaimana Sera bisa betah dengan kerjaan yang nyaris mencuri semua waktunya kalau Farhan tidak ada. Suaminya itu agak dingin, kadang cenderung tak peduli pada sekitarnya dan cuma sibuk pada kerjaannya sendiri. Sera yang istrinya saja masih merasa canggung untuk ngobrol hal yang berat, karena Farhan memang sejauh itu untuk digapai.

Tapi sesekali, Farhan bisa tiba-tiba memberi perhatian kecil entah pada Adel, Novi, juga dirinya. Bikin Sera yang kepalanya sudah mumet dari pagi berkutat dengan pekerjaan kantor merasa nyaman. Seperti... diguyur air dingin setelah berlari berpuluh-puluh meter.

Mungkin itu juga sebabnya Sera memilih Farhan.

Mobil Farhan melaju membelah jalan raya dengan kecepatan sedang. Waktu makan siang belum sepenuhnya dimulai, buat jalanan yang lebih sering macet ini lengang selama keduanya melaju ke kafe tempat Sera janjian dengan koleganya.

Farhan melirik Sera yang menepuk pipi lelah. Istrinya memandang kendaraan lain yang bergerak di depan mobil mereka dengan sorot kosong, seakan pikiran Sera tengah melanglang-buana ke tempat lain.

"Nggak touch up? Kafenya udah deket loh." Farhan memang tak suka diajak bicara waktu lagi nyetir, membuat lima belas menit lalu terbuang dalam hening.

Sera berkedip linglung, kelihatan bingung sesaat lalu menjawab, "Lagi nggak minat. Make up tadi pagi belum luntur juga kok." Dia tersenyum, jenis senyuman sayang yang tak Sera tunjukkan dalam suasana formal, dan Farhan menyadari itu.

Meski bertahun-tahun udah berlalu, Sera ... masih saja jatuh padanya.

"Capek ya hari ini? Mau nge-spa nanti sore? Udah lama, 'kan, kamu nggak ke sana? Ke salon juga jarang."

Senyum Sera tambah lebar hingga matanya menyipit indah. Dengan pipi bersemu, dia mengangguk. "Makasih, Mas."

Untuk hal kecil pun, Sera selalu menyempatkan mengapresiasi semua perlakuan Farhan padanya. Ada satu kebiasaan manis yang tak pernah absen Sera tunjukkan. Saat malam menjelang, keduanya baru selesai mandi dan bersiap tidur, Sera pasti akan bertanya dengan mata berbinar.

"Mas kalau capek bilang ya? Aku pijitin sebelum tidur."

Tapi Farhan jarang mengiyakan kata-kata Sera, karena dia yang paling tahu, betapa lelahnya istrinya setelah seharian mengurus perusahaan.

Lagi pula, semakin cepat Sera tidur, makin lama juga Farhan bisa memperkosa Novi.

"Mas sekalian makan siang aja. Pak Farid bisa nunggu kok selama aku nemenin Mas makan." Meski perhatiannya begitu tulus, Sera tetap menggunakan posisi tingginya dengan benar. Wanita itu tahu, bukan dia yang membutuhkan kerjasama, tapi perusahaan lainlah yang berebut ingin menjadi partnernya. Menunggu setengah jam cuma karena Sera tak mau membiarkan suaminya makan sendiri, jelas hanya satu dari sekian banyak hal yang bisa Sera minta pada calon partner kerjanya.

"Nggak usah, kamu rapat aja, abis itu makan. Kira-kira berapa lama baru selesai?"

Sera melirik jam tangan hitamnya sekilas. "Mmm ... sekitar dua jam-an lah. Kalau Mas udah lebih dulu sampai kantor, aku balik naik taksi aja."

[END] Balikan BangsatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang