41 | Maaf

231 13 0
                                    

Tubuh Ashar terpental menghantam lantai kala tendangan kencang menimpa dadanya, menjauhkannya dari Adel. Tanpa memberi waktu, Egi merampas seragam Adel yang masih Ashar genggam, kemudian meninju wajah cowok itu kuat.

"Bangsat! Sialan! Lo bener-bener bajingan!"

Egi membabi buta. Amarahnya yang terbakar habis itu membungkam semua orang, membuat teman-temannya tak berani mendekat untuk melerai. Sebab gemetar yang timbul di punggung dan kepala Egi sudah mengartikan segalanya.

Muka Ashar tertoleh kembali setelah Egi tonjok. Sudut bibirnya yang berdarah mencecap masuk ke lidah saat mata Ashar beralih menyorot Egi.

Sekali lihat saja, Ashar langsung tahu. Egi benar-benar frustrasi dan menggila. Cowok itu hampir menangis. Mukanya merah, bibirnya gemetar. Kepalan yang berada beberapa senti dari pandangan Ashar itu terkepal begitu kencang, nyaris memutus urat nadi di dalamnya.

"Lo nggak pantes dipercaya," desis Egi sebelum bangkit, meninggalkan Ashar yang terkapar lemah dengan dada telanjangnya. Pipi dan mata cowok itu berdarah, saking kuatnya pukulan yang Egi beri.

Saat Egi berbalik, dia melihat
pergerakan kecil yang baru bisa Adel lakukan. Ekspresi kosong dan ketakutan yang cewek itu tunjukkan, menusuk-nusuk hati Egi. Menyakitinya.

Adel berusaha bangun. Dia menarik kakinya agar berlutut, tapi saat pandangannya menoleh ke pintu dan melihat banyak sekali laki-laki yang menatapnya, kembali menimbulkan getar waswas itu. Segera Adel menyilangkan tangan, menyampirkan di masing-masing bahu, menutupi dirinya yang terasa begitu terbuka kini.

Dengan panik Egi memungut kemeja putih cewek itu, tapi karena sudah kotor dan sempat Egi injak tadi, membuat Egi belingsatan. Namun uluran Saga yang memberinya jaket besar yang selalu dipakainya membuat Egi menatap cowok itu sejenak.

"Pakein ini dulu," kata Saga tenang.

Setelah mendapat anggukan, Egi segera menerima jaket itu dan mendekat. Berdiri di tepi ranjang menghadap Adel, kemudian menyampirkannya ke pundak cewek itu.

Jari Egi tak sengaja menyentuh bahunya, bikin Egi bisa merasakan suhu panas dan tremor di sekujur tubuh Adel. Cepat-cepat Egi menunduk, menyejajarkan tingginya dengan Adel dan berucap, "Hei, Del. Lihat. Ini aku. Kamu aman sekarang. Nggak bakal ada yang bisa nyerang kamu atau nyentuh kamu lagi. Udah ada aku, oke? Tenang ya."

Adel terdiam beberapa detik, tapi saat teringat sesuatu, dia segera mencengkeram lengan Egi, menatap cowok itu cemas. "Gi, Kak Novi, yang ngelakuin itu ke Kak Novi…."

"Aku tau." Egi memejamkan mata menenangkan. "Aku bakal urus itu. Saga udah hubungin polisi dan bentar lagi mereka datang. Kak Novi bakal sembuh, dia bakal membaik, dan kamu … akan baik-baik aja sekarang, sama aku."

Cemas tak terkira yang mengelubungi Adel meluap sepenuhnya. Dia terus menatap Egi, kemudian kembali merembeskan tangis kala peluk Egi memerangkapnya. Membawa tangisnya teredam di dada cowok itu, di mana Adel sudah bisa menumpahkan segalanya tanpa rasa takut. Tanpa rasa asing.

Akhirnya, semua selesai.

.

"Kamu lagi bercanda 'kan, Sayang? Maksud kamu apa?!" Farhan tergopoh mengikuti Sera yang mendorong kursi roda Novi ke ruang tengah. Wanita itu buru-buru membantu Novi bangkit sebelumnya, dan beranjak membawa anaknya ke ruang yang lebih luas dan terang agar bisa mengobatinya.

Sera mengabaikan Farhan. Dia sibuk mengetik sesuatu di ponselnya lalu kembali fokus menyingkirkan helai rambut yang menempel di darah di kening Novi, kemudian membersihkannya dengan tisu.

Karena Sera tak akan meninggalkan Novi sedetik pun bersama Farhan lagi, itu sebabnya Sera tak bangkit mengambil P3K atau selimut untuk menghangatkan putrinya.

"SERA! Kalo aku ngomong tuh didenger!"

Bentakan menggelegar itu menghentikan gerak Sera yang tengah menghapus jejak air mata di pipi Novi. Bibir Sera dia basahi dengan lidah, kemudian berdiri, menghadapi suaminya.

"Apa yang perlu aku denger? Jelas-jelas kamu udah ketahuan nyiksa anak sendiri! Kamu gila ya? Dia anak kamu, anak pertama kamu! Cuma karena dia cacat, bukan berarti kamu bisa semena-mena begini!"

"Bunda."

Tarikan lemah di ujung piyamanya bikin Sera menoleh. "Kenapa, Nak?" tanyanya lembut bersama rasa khawatir.

Sera memang tak tahu banyak soal bahasa isyarat, tapi karena sejak kecil dia sempat sesekali menemani Novi menonton film kartun yang ditambah juru bahasa isyarat, Sera jadi tahu lumayan soal itu.

Novi menelan ludah. Dia bimbang sejenak, tapi segera tertepis saat dia sadar, sudah tak ada gunanya menutupi ini semua. Karena itu, dengan lemah dua tangannya terangkat, dan jari-jari pucat itu mulai bergerak, menyentuh kepalan, hidung dan sebagainya yang berarti,

"Papa … perkosa aku sejak masuk SMA, Bunda. Sampai sekarang."

Sera mengerti dengan sangat jelas.

Hatinya serasa diremas kencang. Ini bahkan lebih jahat dari perselingkuhan. Benar-benar keterlaluan.

"Heh, kamu jangan ngadu sembarangan! Bilang apa kamu, hah?"

Sera mengambil langkah lebar, lalu melayangkan tangannya. Menampar suaminya kuat, menimbulkan suara yang menggema, memekakkan telinga, sementara pria itu termangu di tempatnya.

"Biadab." Sera mendesis murka. "Kamu ayah paling buruk di dunia ini, Farhan!"

Sera memijit keningnya pusing. Dia terduduk di sofa sebelah kursi roda Novi, kemudian menutup wajah dengan kedua tangan.

Novi … bisa mendengar isak tangisnya.

Bunda pasti sangat terluka.

Dari kecil, Novi sudah menyaksikan betapa perasaan yang Bunda punya untuk Papa teramat besar, hingga kini, perlakuan lembut Bunda tak pernah berubah. Hanya untuk menyenangkan hati Papa, agar Papa selalu pulang ke rumah dan tak berpaling ke wanita lain. Bunda juga tetap berusaha menyempatkan diri ke salon untuk merawat tubuhnya, walau jelas dia sibuk dan tak punya waktu untuk itu.

Semuanya untuk Papa. Untuk lelaki yang Bunda cintai selama puluhan tahun, bahkan nekat melamar pria itu lebih dulu.

Novi … tak bisa berkata apa-apa untuk menenangkan Bunda, sebab dia tahu, tak ada yang bisa menyentuh luka Bunda sekarang. Maka dari itu, yang Novi lakukan hanya mendekat, menaruh tangannya di paha Sera dan menepuk pelan. Memberi tanda pada Bunda bahwa dia tidak sendiri.

Saat Farhan masih syok, pintu terbuka. Andre, sekretaris Sera masuk bersama petugas kepolisian yang membisukan mulut Farhan seketika.

Dan segalanya terjadi begitu cepat,
untuk Novi.

Novi melihat dengan mata bengkaknya, bagaimana pria itu berontak dan teriak tak terima saat tangannya ditelikung kemudian diborgol, lalu diseret keluar rumah. Saat Andre memilih tinggal sebab tahu betapa kacaunya keadaan Bunda sekarang, membiarkan Farhan diurus oleh polisi dan bawahan Sera yang mengikut ke kantor polisi, semua itu Novi saksikan dalam diam. Tak berkata apa-apa. Tak menginterupsi siapa-siapa.

Hatinya kosong.

Sebab walau dia menang, berhasil membuat Farhan berhenti menyiksanya, itu sebanding dengan konsekuensinya.

Bunda kehilangan suaminya. Sekarang Bunda sendiri, dan … kelihatan amat terluka.

Apa … ini membuat Novi bahagia?

Apa seharusnya dia tidak mengadu? Tidak menjauhkan gelas kaca itu dan membiarkan Papa memerkosanya sampai pingsan seperti malam-malam sebelumnya?

"Novi."

Kelabut pikiran bersalah itu terjeda. Novi mengangkat wajah.

Dan hatinya mencelus.

"Bunda minta maaf." Sera menggigit bibir, terisak keras kala dia menyatukan tangannya dengan jemari Novi. "Bunda bener-bener minta maaf karena nggak tau. Anak Bunda pasti kesakitan. Maaf, Nak. Bunda minta maaf."

Kepala berwibawa yang selalu mengabaikan Novi sejak kecil itu terjatuh ke pangkuan Novi, di mana Novi bisa merasakan air mata itu jatuh kian deras di pahanya.

Dan segala perasaan bersalah itu luruh bersama rasa lega yang teramat menenangkan kala ia berhasil memeluk bundanya untuk pertama kali setelah bertahun-tahun.

[END] Balikan BangsatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang