38 | Answer

169 7 1
                                    

Mereka terus mencari. Semua teman-temannya Egi kerahkan untuk mencari Adel, beruntung cowok-cowok setongkrongan Egi langsung mengerti akan situasi seperti ini. Tanpa menolak atau memberi alasan agar tak ikut campur, semua cowok dari berbagai sekolah dan kampus itu segera berpencar dan menyusuri berbagai jalan yang tersebar di sini.

"Kenapa susah banget sih nemuin kamu, Del?" gumam Egi frustrasi.

.

Adel melangkah mundur. Ini tidak benar. Jelas ada yang tak beres di sini. Kenapa dia gampang sekali terbuai dengan kata-kata Ashar dan melupakan hal paling lazim yang cowok berengsek lakukan pada umumnya?

Membawa dia jalan, bersenang-senang, membuatnya melayang, lalu muncul alasan-alasan bodoh agar mereka bisa ke tempat tertentu di mana hanya ada mereka berdua, tanpa gangguan siapa pun.

"Oh? Masih nggak mau nurut?" Ashar memiringkan kepala. Berjalan cepat, menyambar pergelangan Adel dan memaksanya ke masuk lebih dalam.

"Aku nggak mau! Shar, kamu jangan lancang!" berontaknya kuat, sebisa mungkin mengerahkan tenaga yang sejujurnya sudah amat berkurang.

Genggaman Ashar terlepas. Tangan cowok itu berayun menghantam dinding.

Diam.

Hanya napas memburu Adel yang mengisi ruangan gelap ini. Rintik hujan yang begitu deras sayup-sayup mengantarkan perasaan menakutkan di dada Adel.

"Haah." Kepala yang tertutup kupluk hoodie itu menegak perlahan. Ashar memainkan lidahnya geram.

"Kenapa sih kamu nggak pernah mau nurut sama aku?" Dia melangkah maju, memepet Adel yang mesti memundurkan kakinya cepat. "Apa susahnya gitu? Aku cuma minta kamu masuk, bukan yang aneh-aneh kayak Egi!"

Dia melotot. Suara lembut penuh perhatian itu telah hilang, digantikan oleh teriakan nyaring yang memukul kuat jantung Adel.

Ashar membentaknya. Dan Adel langsung diserang gemetar hebat.
Bikin tambah muak saja.

"Tremor lagi? Dibentak dikit langsung nangis? Del, aku abis apain kamu sih emang? Aku nggak ngapa-ngapain! Dan kamu selalu-selalu-selalu aja bersikap seakan udah aku jahatin sebegitunya! Kenapa kamu nggak pernah peduli perasaan aku?" Pertanyaan terakhir itu mengubah air muka Ashar drastis. Dia merengek, menyamakan tingginya dengan Adel sehingga cewek itu bisa menatap perasaan terluka di matanya.

"Bahkan setelah memohon-mohon dan jadi sama persis kayak yang kamu mau, kamu masih begitu aja! Nggak berubah! Nggak nunjukin tanda apa pun kalo kamu bakal suka sama aku. Semua usaha yang aku lakuin selama ini, pada akhirnya nggak ada gunanya, Del. Nggak ada."

Ashar mundur.

"Kalo diri aku yang palsu aja kamu nggak tertarik, gimana kalo yang aslinya?"

Adel beneran bingung.

"Hah? Maksud kamu tuh apa sih—"

Kalimat Adel dibungkam telak oleh gerakan kilat Ashar menendang kursi kayu ke arah jendela dan memecahkan kaca itu secara kasar.

Adel terbelalak.

Kaca yang Ashar hancurkan itu hanya berbeda sepuluh senti dari tempatnya berdiri.

Napas Ashar tersengal. "Gimana? Udah suka sama aku? Aku beda 'kan? Aku udah sama kayak Egi! Itu 'kan yang kamu suka?"

"Ashar…."

Dengan gampang Ashar melepas hoodie hitamnya lalu jatuh ke lantai yang kotor, menyisakan tubuh putihnya yang dibalut seragam sekolah. Tanpa membuka dua kancing sisanya, Ashar langsung menarik paksa kemeja putih itu hingga dia telanjang dada tanpa penutup apa-apa.

Adel memekik kaget.

"Badan aku juga udah bagus. Mati-matian aku bentuk biar sama kayak Egi." Dia mengambil langkah lebar dan sampai di depan Adel. "Nih, pegang, Del! Ini 'kan yang kamu suka?" Dia menarik kasar tangan Adel ke lengan berototnya, dada, lalu ke perutnya.

"Ashar, udah!" Dia terisak-isak. "Aku mohon udah…." Tubuhnya merosot jatuh, tak sanggup menahan beban diri yang terasa begitu berat. Adel menangis dengan napas yang sesak.

Dia benar-benar bingung dengan semua ini.

"Makanya aku bilang, suka sama aku, Del. Lihat aku! Bukan Egi! Bukan orang lain!" bujuk Ashar ikut berjongkok, tapi tetap meninggikan nada suaranya.

"Aku mau pulang…." Hidung Adel tersumbat hingga isakannya terdengar makin menyayat. Kepalanya serasa mau pecah. "Aku mohon, Shar…."

"Gitu lagi."

Ashar berdiri.

"Sini."

"Ashar, pelan-pelan! Sakit, aaakh!" Dia menarik tangan Adel, berpindah ke lengan atas dan menariknya paksa. Menyeret Adel masuk lebih dalam, tempat di mana satu kamar tertutup oleh pintu kayu.

"Ashar, kamu jangan gila! Aku nggak mau!" Suara Adel sudah serak. Sekujur lengannya perih. Tiap cengkeraman yang Ashar lakukan meninggalkan jejak memerah yang pasti akan menjadi memar.

Mulut Ashar bak diresleting ketat. Saat Adel melihat muka cowok itu dari samping, hanya ekspresi sekaku batu yang tampak. Dan tanpa membiarkan Adel lepas dari genggamannya, Ashar menekan handle. Membuat pintu itu terbuka lebar, kemudian dia mendorong kasar punggung Adel ke dalam.

Adel mendesis perih. Telapak tangannya tergesek batu-batu halus bekas jejak sepatu. Lututnya juga tergores. Namun dia lebih fokus untuk bangkit, berdiri dan kabur, tapi terhenti saat Ashar menekan saklar lampu.

Lampu menyala.

Menekan remot, televisi besar di sudut ruangan langsung menyala, menampilkan video porno tanpa sensor dengan suara desahan yang amat keras.

Saat melirik ke sebelah, ratusan botol minuman keras tergeletak, bercampur baur dengan sisa sperma yang melengket di lantai, menyebarkan aroma pesing.

"Di sini."

Adel menoleh, mendapati Ashar menutup pintu. Cowok itu bergeser, membiarkan Adel mengetahui apa yang tersembunyi di balik punggungnya.

Dari badan belakang pintu, dinding sekitarnya, hingga atap kamar ini, tertempel ratusan foto dirinya yang fokus ke bagian payudara dan bokong. Dan di antara semua itu, ada satu foto yang terselip.

Wajah tersiksa Novi saat Ashar memerkosanya dengan brutal.

[END] Balikan BangsatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang