24 | Antara Kamu atau Dia

326 15 0
                                    

Cara Farhan tersenyum kelihatan kayak psikopat. Menjijikkan. Novi langsung mau muntah melihatnya.

Novi meremas pensil tremor waktu Farhan mendekat, mengerutkan muka saat sadar kamar Novi yang selalu rapi kini dipenuhi tumpukan kertas.

"Apa ini?" Kamar yang remang-remang diterangi lampu duduk mungil bikin Farhan tak bisa melihat lebih jelas. Dia menunduk, memerhatikan sambil sengaja memepet Novi yang sekarang mampu mencium aroma sabun dari lehernya. Rambut under cut Farhan masih basah, bikin air yang menggumpal di ujung rambutnya menetes ke pipi pucat Novi.

"Kamu ... kamu ngapain HAH?!"

Mata Novi melotot sempurna. Jantungnya berdetak brutal kala Farhan membeliak dengan jarak satu senti dari mukanya.

Bau napas sehabis sikat gigi menusuk hidung Novi habis-habisan. Bikin muak.

"Papa kira yang kamu lakuin selama ini cuma nangis sama ngomong pake suara sengau, tapi diem-diem kamu bikin bukti biar bisa ngadu ke Sera? Iya?!"

"Jangan teriak! Bunda sama Adel bisa denger!" Novi menggerakkan bibirnya lebar, berusaha membuat Farhan mengerti.

Sadar teriakannya bisa menggelegar hingga ke lantai dua, Farhan bungkam. Menarik napas panjang dan kembali mengguncang kertas-kertas yang remuk di genggamannya.

Sial, gambar ini benar-benar mirip sama mukanya. Sekali saja Novi menunjukkan itu ke Sera, Sera pasti akan bertanya-tanya, apalagi saat tahu bukan hanya selembar, tapi ada ratusan lembar yang anak sampah ini simpan.

Novi sengaja menimbun bukti untuk meledakkan bom dan membunuh kebahagiaan yang susah payah Farhan tanjak.

"Dasar bodoh! Nggak berguna! Kamu kira bisa ngelabuin Papa dengan cara kayak gini? Heh, Bunda kamu aja Papa bodohin bertahun-tahun! Kamu pikir bisa ngelawan Papa? Nggak akan pernah! Papa nggak bakal biarin kamu bebas. Kamu bakal terus tersiksa di bawah Papa sampai kamu mati!"

Novi membelalakkan mata ke arah Farhan. Menunjukkan retina yang basah dan memerah. Omongan Farhan kali ini menonjok hatinya amat kasar.

Dia tidak akan bisa ke mana-mana. Novi tau itu, tapi saat Farhan sendiri yang membisikkannya dengan suara mengerikan, kenapa rasa sakitnya jadi berkali-kali lipat lebih dahsyat?

Kepalan tangan Novi bergetar kuat. Menonjolkan buku-buku jari yang memucat.

"Aku benci Papa! Benci! Benci! BENCI!"

"Jangan lancang kamu!" Tamparan keras menerpa pipi Novi. Gadis itu tertoleh kencang, bikin kaki kursi bergeser menabrak ranjang.

"Kamu itu nggak ada gunanya buat hidup! Emang ini kerjaan kamu, puasin Papa! Kalau nggak, ngapain kamu hidup? Sekalian bunuh diri aja sana! Atau mau Papa sendiri yang cekik kamu sekarang? Hah? Mau?!"

Novi ditampar lagi. Lagi dan lagi, sampai dia jatuh ke lantai, berlutut di kaki Farhan. Dengan mudah pria itu membopong dan membantingnya ke kasur. Kemudian ikut merangkak ke atasnya, melayangkan tamparan yang lebih kasar. Buat rambut panjang Novi bertebaran dan menutupi mukanya.

Wajah pucat yang tak lagi berminat untuk menangis.

Memangnya untuk apa?

Menangis pun, Novi tetap diperlakukan begini.

Bener kata Papa. Harusnya ... aku mati aja.

-oOo-

Jauh dari dugaan Adel yang udah berhalu bakal sekacau apa kondisi kelas, ternyata tidak ada yang berubah. Entah apa yang sudah terjadi waktu dia pulang, tapi seperti sudah janjian, tak ada satu pun orang yang menyinggung masalah kemarin. Masha yang sering ngomel-ngomel dan menyalahkan Adel saat area sekitar mejanya kotor, menulari ke mejanya sendiri, kini anteng sekali. Para cewek yang suka bisik-bisik walau jelas masih kedengaran dan menggosipkan cowok populer mana lagi yang menanyakan Adel, atau sesimpel komentar sinis soal pakaian Adel yang kelihatan ketat sudah tak lagi terdengar. Apalagi waktu Ashar masuk, mengangkat kresek berisi nasi goreng dan tersenyum manis padanya, kepala Resa langsung tertunduk dalam.

[END] Balikan BangsatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang