37 | Battle

176 5 0
                                    

"Gimana? Ketemu tuh anak?" Egi bertanya terburu kala berhasil menyusul Saga dan teman-temannya. Ada sekitar lima motor yang berjejeran kala Egi tiba. Tetap tampak walau jalanan tak diberi lampu jalan. Seperti yang Saga katakan, Ashar benar-benar mengarah ke daerah yang sepi.

"Nggak sempet." Saga menggeleng. "Dia belok entah ke mana tadi, gue ama yang lain nggak nemu."

Rahang Egi mengetat. Kepalan tangannya terbentuk, saling mencengkeram kuat.

"Panggil lebih banyak orang. Gue nggak tau apa aja yang bisa dia lakuin ke Adel. Pokoknya kita mesti lebih cepet dari dia!"

Reo, Somza, dan lainnya tak ada yang berani membantah dengan candaan. Sebab ekspresi Egi sungguh tak bisa mentolerir apa pun sekarang.

.

"Shar? Kok ke jalan sini? Bukannya kita mau pulang ya?" Adel melongokan kepala dari balik bahu Ashar, berusaha mendekatkan bibir ke telinga cowok itu.

Hening.

"Shar?"

Motor melaju kian cepat, seakan Ashar tengah dikejar sesuatu, memaksa Adel meremas kain jaketnya takut.

"Aku mau bawa kamu ke rumah.”

Adel mengerjap. "Ini bukan jalan ke rumah aku."

"Emang bukan." Ashar memutus kontak mata di kacaspion. Mata hitamnya menyorot aspal yang dipenuhi cahaya lampu motor, berbanding terbalik dengan pepohonan dan rumah-rumah gelap di tiap sisi jalan raya.

Meski memakai helm dan menampakkan sepasang matanya saja, amat terlihat, bahwa senyum yang selalu terpatri untuk Adel itu … sudah lenyap.

Pupil Ashar menunjukkan sorotan datar, tak berarti perasaan apa pun, hanya tatapan lurus yang kian tajam tiap waktunya.

"Yang kita pergiin sekarang itu bukan rumah kamu, tapi aku."

.

Pintu terbuka paksa dari luar, menampar dinding di belakangnya dan berayun pelan setelah lepas dari pegangan Sera.

Dia membeku.

" ... Sayang, kamu kenapa? Mas?" Dia terbata-bata, meneliti bagaimana Farhan perlahan berdiri dengan muka berkeringat. Di belakangnya tersebar pecahan beling dan genangan air yang mengalir ke jempol kaki Novi. Saat Sera membawa matanya dari tungkai kaki Novi yang tersungkur dan melihat muka anaknya, otak Sera serasa dicabut paksa dari tempatnya.

"I—ini kenapa … Mas, Novi, kalian kenapa sekacau ini di kamar?"

"Sera, nggak begitu. Tadi aku cuma bawain Novi makanan dan bantu dia tidur—"

Bibir Novi membentuk satu garis lurus, melengkung ke bawah, kemudian menjadi senyuman sakit saat air matanya merembes keluar.

"Bunda, sakit…," adunya menatap bundanya tersiksa.

Pernapasan Sera sungguh berhenti bekerja. Dia melangkah masuk, tak memedulikan Farhan yang mencerocos dan berusaha menahan pergelangannya. Tak ada yang bisa menghentikan Sera ketika tak ada wajah ramah yang tampak di dirinya kini.

Bagian lutut di celana tidur Sera menyerap air saat dia berlutut di depan Novi. Mata cokelatnya bergetar, perlahan, dan berubah memiliki lapisan kaca saat dua telapak tangannya terulur, memangku bilah pipi Novi yang memerah dan penuh goresan panjang.

Muka anaknya ada di dekapan tangannya. Sera bisa merasakan suhu panas di tubuh Novi saat air mata gadis itu membasahi ibu jarinya. Iris Sera tak mampu menalar arti dari kondisi rambut yang acak-acakan seakan telah ditarik paksa, helai yang rontok menempel di bawah mata Novi, dan bocoran perih di kening yang mengalirkan darah pekat ke rahang dan dagu Novi.

Juga … mata mungil anaknya yang membengkak, dilingkari kantung mata menghitam, tengah menangis hebat menatapnya. Memberi Sera tatapan yang tak pernah Novi tunjukkan sebelumnya.

"Sakit, Bunda. Sakit...."

Jari-jari Novi bergerak lemah. Kelingkingnya menarik ujung piyama Sera yang menyentuh lantai, membuat Sera menatap tarikan pelan itu.

Sera tertegun.

Itu … adalah hal yang selalu Novi lakukan untuk menarik perhatiannya saat masih balita, tapi Sera terlampau sibuk untuk sekadar melirik.

Hal yang selalu putrinya lakukan, yang selalu Sera abaikan itu, kini … kembali Sera dapat setelah melihat kondisi yang tak pernah singgah di bayangan Sera.

Aliran darah di tubuh Sera terhenti. Dia mengangkat muka, memandang Novi tegas dengan ekspresi seorang wanita pemimpin perusahaan besar yang ditakuti banyak orang.

"Novi,"

Sera menggeram berang.

"Siapa yang udah berani lakuin ini? Hm?"

.

Adel memerhatikan sekelilingnya saat Ashar mematikan mesin motor. Pohon raksasa yang menutupi cahaya rembulan tak menyisakan sedikit pun penerangan. Lampu motor Ashar juga sudah mati. Ke mana pun Adel memandang, hanya ada sekitar tiga blok rumah yang terpisah oleh pagar berkarat dan memiliki jarak beberapa meter.

Di depan mereka ada sebuah rumah kecil. Tampak seperti kontrakan lusuh yang tak memiliki daya tarik untuk ditinggali sama sekali. Dedaunan kering yang berjatuhan di teras dan halaman sudah menumpuk saking lamanya tak dibersihkan. Adel ragu apa di antara semak-semak yang tumbuh lebat itu, tak akan ada hewan-hewan menjijikkan seperti kodok atau ular?

"Ayo masuk."

"Shar, kayaknya nggak ada orang di dalam. Kita ke rumah aku aja yuk? Bunda pasti udah pulang. Kalo dia nyariin aku dan tau aku belum pernah pulang sejak tadi sore, dia pasti khawatir."

Gerakan tangan Ashar memutar engsel dengan kunci logam yang berdenting itu terhenti. Dia mengembuskan napas lelah. Berbalik, hendak mengeluarkan kata-kata kasar karena dia mulai muak dengan semua ini. Namun gelegak guntur yang begitu ribut mengejutkan keduanya.

Adel memekik takut. Refleks dia mendekat ke Ashar dan meringkuk waswas. Dia bisa mencium aroma tubuh Ashar saat nyaris menjatuhkan dirinya ke dada cowok itu, tapi Adel tahan.

Dalam sekejap, hujan yang terus menahan diri sejak pagi itu akhirnya menurunkan derasnya. Tiupan angin langsung membawa hujan membasahi mereka yang masih berada di teras, membuat Adel berjengit kedinginan.

Adel mendongak saat Ashar mengatakan sesuatu, bikin dia otomatis menatap cowok itu, dan menyadari sesuatu.

"Kita masuk dulu. Kalo hujannya udah reda, baru kamu kuanter pulang."

Ekspresi Ashar … berubah.

Adel seperti tak mengenalinya. Cowok itu menguarkan aura dingin dan mengintimidasi, mirip seperti Egi. Sikap yang tak pernah Ashar tunjukkan, sebab selama ini dia selalu bersikap ceria dan konyol di hadapan Adel.

Pintu terbuka. Gelap menyapa Adel. Udara pengap dan debu membuat dia berjengit kian takut.

Ashar masuk, menoleh, dan kembali melihat Adel dengan tatapan itu.

Sorotan datar dan dingin.

"Masuk, aku bilang, Del. Susah?"

Adel menelan ludah.

Dia tidak mau masuk.

[END] Balikan BangsatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang