16 | Aku Selalu di Sini

242 20 0
                                    

"Gi, bukan itu maksud aku tadi. Aku nggak papa—Egi!" Aduh, bagaimana nih? Egi benar-benar tidak mau mendengarnya. Setelah Egi tahu sebab kenapa Adel bisa luka sampai seragam olahraganya dilumuri darah, dia langsung naik pitam. Tanpa mengatakan apa-apa, cowok itu segera bangkit dari kursi sebelah bangsal Adel dan melangkah cepat menuju lantai tiga.

"Aku bakalan marah kalo kamu kelewatan lagi loh ya! Aku nggak suka kamu keras kepala begini!"

Panas yang membumbungi bumi terasa menyengat, tipe terik yang akan tiba-tiba digantikan oleh derasnya hujan. Tak ada angin yang berlalu menerpa mereka yang tengah gelut di koridor lantai tiga, membuat keringat bercucuran di wajah Adel juga punggung tegap Egi.

Pekikan bermaksud ancaman Adel berhasil menyentil fokus Egi. Cowok itu berhenti, bikin Adel terkesiap dan sontak menahan napas saat Egi berbalik. Mendekatinya dengan mata tajam terselimuti amarah.

"Aku kira ultimatum yang aku buat supaya nggak ada yang ganggu kamu masih berguna. Harusnya aku lebih khawatir sama orang-orang yang bisa nyakitin kamu setelah kita putus, tapi mereka emang nggak punya otak! Gimana bisa kamu diem aja setelah tiap hari dikucilin dan diolok-olok sama semua temen sekelas kamu? Mereka bahkan buat kamu luka sampai badan kamu gemetar pas dateng ke depan aku! Del, kamu kira aku bakal diem aja setelah kamu dikurangajarin sebegininya? Kamu tahu aku paling nggak suka cewek aku disemena-menain sama orang yang belum tentu berani natap aku. Jadi stop ngasih aku ancaman karena itu lagi nggak berguna sekarang!"

"Gi...!" Percuma. Berapa kali pun Adel memanggil, Egi sudah terlanjur emosi. Bagaimana nih? Adel benar-benar pusing sekarang. Dia menatap Egi memelas, ingin sekali keinginannya dituruti, tapi Adel lah yang paling tahu, kalau Egi sudah semarah ini, tak ada yang akan bisa menghentikannya. Tapi ... melawan orang-orang di kelas ... apa mungkin? Adel takut....

-oOo-

"Bukan anak cowok yang ngeganggu, gue nggak terlalu tau mereka abis berantemin apa, tapi waktu Pak Ardi pergi, mereka makin kasar sampai tangan Adel berdarah habis diinjek sama Resa—"

"Gue bilang jangan ganggu Adel kalaupun gue nggak ada, Bangsat! Kalian punya hati nggak sih?!"

"Kita-kita nggak ngeganggu sampai bikin dia nangis, Shar, tapi anak ceweknya yang berlebihan mainnya!"

"Argh, banyak omong lo!"

Ashar langsung memutuskan sambungan Rama–ketua kelas XII IPA 2 yang terdengar panik sejak Ashar mengangkat teleponnya. Ini yang Ashar takutkan! Sekelas dengan Adel membuat dia sadar, betapa tidak sehatnya lingkungan pertemanan siswa-siswi di kelas ini. Cukup sering Ashar mendapati cewek itu terdiam dengan mata sembab saat dia meninggalkannya ke kantin, padahal jelas-jelas Ashar ada di sekolah, tapi teman-teman mereka memang selalu merasa kurang kalau tak menganggu cewek itu.

Ini sungguh keterlaluan. Baru saja Ashar melihat betapa lemahnya Adel akan masalahnya dengan Novi beberapa hari lalu, sekarang cewek itu malah dilimpahi beban yang tak hanya batin, tapi juga menyerang fisiknya.

Ashar belum pernah melihat Adel terluka sampai mengucurkan darah. Masalah perasaan seperti hubungannya dengan Egi yang rumit, masalah dengan Farhan dan Sera, semua itu sudah cukup membuat Adel tertekan sampai butuh dirinya tiap tak mampu membendung rasa sakit. Namun saat Egi jauh darinya, juga Ashar yang sialnya tak bisa masuk hari ini karena sakit, kenapa orang-orang malah menekan cewek itu lebih brutal? Ashar cemas sekali. Apa psikis Adel baik-baik saja? Karena setahunya, cewek itu tidak tahan kalau melihat darah yang terlalu banyak.

Sungguh, kalau bukan karena Adel, Ashar tidak akan membela-belain bersiap ke sekolah, mengendarai motor ugal-ugalan dengan kepala memberat, dan segera menuju ke kelas bersama hoodie hitam yang kupluknya menutupi kepala dan setengah wajah pucatnya.

[END] Balikan BangsatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang