09 | Aku Pengen Ngerasain Sakit Lagi

640 22 0
                                    

Seperti pintaan Egi dan suruhan Ashar agar Adel berpegangan selama mereka di jalan, Adel benar-benar melakukan itu, walau tanpa sepengetahuan Ashar, dia tidak tidur. Hanya menutup mata sambil bersandar di punggung bidang Ashar dengan pikiran berkecamuk. Ingin rasanya abai, tapi hatinya tak sinkron. Perasaan yang mendamba ini berontak tidak terkendali sampai Adel bingung harus bagaimana.

Tesya. Sejak Adel mengenal Egi di mana mereka berawal dari basa-basi karena keadaan yang selalu mempertemukan, Adel sudah melihat maksud Tesya. Gadis itu naksir pada Egi, terlalu terang-terangan bahkan. Tapi seperti yang selalu Egi katakan, kalau dia memang tidak mau, cowok itu tidak akan peduli semenarik apa pun cewek yang mendekatinya. Dia akan dengan mudah mengusir, membentak, kalau perlu mengintimidasi gadis-gadis yang mulai kelewatan, dan dalam sekejap, mereka akan hilang karena terlanjur dilukai.

Tapi Tesya berbeda.

Tesya mengenal Egi dari SMP, bahkan mungkin lebih lama dari itu. Meski tidak tetanggaan, rumah mereka masih satu komplek. Itu juga makanya Tasya gampang sekali menyelonong masuk saat ada alasan seperti membawa kue buatan mamanya atau berentet alasan nyeleneh lain demi menarik perhatian Egi.

Atau ... Tesya sebenarnya hanya ingin menghabiskan waktu dengan cowok itu? Bukan menggoda seperti cara berpakaiannya yang terlampau seksi selama ini? Adel pun tak tahu.

Yang jelas, kebingungan tak henti merajam benak Adel sampai ketika mereka tiba di tempat yang dituju, sentuhan lembut Ashar di pipilah yang berhasil menyentaknya.

"Melamun?" Ashar terkekeh merdu. "Kirain tidur tadi. Udah sampe. Mau minum air nggak? Pusing kamu masih kerasa?" Dibukanya garasi motor dan hendak membukakan Adel sebotol mineral sebelum seruan cewek itu menjeda apa yang Ashar lakukan.

"I'm fine. Cuma denyut-denyut di sini," Adel menunjuk kening dan pelipisnya, berusaha cengar-cengir, tapi tak kesampaian karena sendu tengah mengawani hatinya. "Kamu aja yang minum. Pasti capek bawa motor nyaris dua jam. Ini di mana sih? Aku nggak liat tempat menarik kayak yang kamu bilang—wait, Shar? Oh my God...!"

Ashar tak mampu menahan senyumnya begitu Adel melangkah terbirit-birit menuju hamparan bukit yang lebih tinggi. Wajar kalau Adel tidak melihat apa-apa, karena bagian yang Ashar maksud memang berada di daratan paling tinggi dan agak tersembunyi dari jalan tempat motornya terparkir sekarang.

"Hati-hati, Del, nanti kepeleset," peringatnya sambil ikut melangkah dengan senyum tak lenyap dari bibir yang sedikit kering itu. Beruntung kini sudah jam lima sore. Cahaya matahari sudah tidak terik, hanya bias senja yang muncul malu-malu dan menerangi bukit juga hamparan gedung di bawah sana.

"Astaga, Shar. I can't believe this! Ini cantik banget!" Dengan heboh Adel melongo ke sana ke mari, ingin memelototi semua pemandangan yang amat takjub di matanya.

Tawa renyah Ashar mengalun lembut. Cowok itu berhenti di belakang Adel, menyimpan kedua tangan di atas pundak mungil gadis itu dan berucap gemas. "Jangan banyak gerak, kalo kepeleset, nanti aku kalap manggil damkar buat narik kamu yang jatuh ke bawah."

"Nggak papa deh jatuh. Keren banget ya ampun, mmh aku suka!" Senyum lebar Adel berubah menjadi tawa kala mendongak menatap Ashar yang juga memandangnya hangat.

"Makasih ya, Shar. Aku nggak nyangka bakal liat hal indah kayak gini kalo bukan kamu yang kabulin. Besok kutraktir deh!" cengirnya lalu kembali menatap ke depan dengan mulut yang tak henti mencerocos.

"Duduk aja di sini. Aku suka begini kalo lagi pengen melamun." Ashar berujar sambil berselonjor di tanah yang dirambati rumput halus. Kalaupun ada yang tak ditumbuhi tanaman, bokong mereka tak akan kotor karena tanahnya kering.

[END] Balikan BangsatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang