Ketegangan yang tak Sera sadari tetap menguar kala senyumnya luntur. Bunyi pintu tertutup kala Egi pergi membawa dia menoleh ke putri sulungnya, anak yang jarang sekali berinteraksi dengannya.
"Sayang, udah makan?" Sera menyentuh bahu Novi lembut, berusaha memberi perhatian.
Novi mengangguk cepat. Menarik paksa ekspresi agar membentuk air muka senang akan kedatangan orang tuanya.
"Kamu makan duluan lagi. Maaf ya, Bunda nggak sempet makan bareng kamu."
Begitu terus. Memberi kepedulian dari sisa-sisa tenaganya dan membuat Novi merasa bersalah sebab Sera selalu berkata maaf.
Namun jauh dari perkiraan dua anaknya, justru Seralah yang terlampau sering menyalahkan dirinya sendiri. Dia bukan orang tua yang becus, sama sekali tak mampu membagi waktunya untuk putri-putri yang sudah beranjak dewasa. Sera tak ada di dekat mereka, tak melihat pertumbuhan anak gadis yang dulu amat ia inginkan sebelum tahu dunia kerja ternyata sekeras ini.
Seperti biasa, Bunda mengecup pipi Novi sebelum berjalan ke tangga dan menaikinya pelan-pelan. Tungkai kakinya serasa mau patah saking lelahnya. Sera tak bisa memikirkan apa pun lagi selain mandi dan membaringkan tubuh remuknya di ranjang. Hanya itu.
Ujung sepatu pantofel Farhan terketuk, menunggu waktu yang tepat sampai Sera tiba di kamar dan suara percikan air terdengar menyapu lantai. Waktu berlalu cukup lama, cukup bagi Novi yang segera melangkah ke arah kamarnya. Dia menyeret kaki mati rasanya putus asa. Harus cepat!
Napas Novi memburu. Tinggal satu meter sebelum dia menyentuh pintu kayu itu, tapi jambakan kencang berhasil mendorongnya ke belakang dengan keras.
"Aaakh!"
Jari-jari kekar Farhan mencengkeram batok kelapa anaknya kuat. Novi bersandar di dada pria itu, secara otomatis tertarik sekencang itu.
Perih. Perih sekali.
"Apa aja yang kamu aduin ke anak itu, hah? Apa?!" Muka Farhan memerah sempurna. Jantungnya sungguh hampir copot dari tadi. Bagaimana cara membungkam Egi? Jelas-jelas anak itu bukan seperti anak lugu kebanyakan. Kalau Egi sudah tahu semua rahasianya, sudah pasti semua kekayaan yang dia punya akan hangus dalam sekejap!
Sera pasti membuangnya.
Sera tak akan pernah menerimanya lagi.
"Aish, sial! Semua rencanaku udah aman! Kenapa malah kamu rusak? Dasar nggak tahu diri!"
"Sakit ... Sakit!" Novi menarik-narik tangan Farhan agar melepas jambakannya, tapi Papa malah mendorongnya ke depan pintu. Menelikung tangan Novi kencang seakan dipelintir dan membawanya masuk. Bedebam pintu yang tertutup rapat amat menusuk-nusuk hati Novi.
Jiwanya hancur.
"Kamu harus dihukum! Anak bodoh itu mesti tau posisinya. Udah berkali-kali Papa ajarin masiiih aja lupa. Ini otak kamu," Farhan menoyor kepala Novi berkali-kali, "beneran nggak ada gunanya! Kamu kira bakal bisa selamat kalo ngadu ke anak SMA itu? Heh! Yang kamu lawan itu Papa! Papa punya banyak koneksi yang bisa nyelametin Papa dari anceman kecil kamu itu."
Jambakan itu terlepas. Novi tersungkur jatuh di tempat sempit antara dinding dan ranjangnya. Dia bersandar di antara kain selimutnya. Rambutnya acak-acakan, beberapa rontok dan menempeli pakaiannya. Bisa Novi rasakan kepalanya berdenyut kencang, tak kuat akan tarikan kasar yang begitu lama.
Novi menangis sesenggukan. Suara sengaunya seperti suara anak kucing yang kehujanan. Mencicit, tanpa daya dan amat lemah.
Cengkeraman kuat tiba di leher kurusnya, memaksa Novi mendongak. Tangan besar Farhan mampu melingkari pipi Novi, dan langsung dia tekan kasar. Memaksa mulut Novi jadi monyong.

KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Balikan Bangsat
Teen FictionSeks itu seperti virus bagi Adel, mengerikan. Pacarnya menunjukkan itu, dia langsung memutuskannya. Teman-teman di kelas, geng-geng berandalan, semua melecehkannya karena tubuh Adel yang lebih dewasa dibanding yang lain. Dia menyadari keanehan pada...