07 | Terima Kasih, Kamu

406 18 0
                                    

Sejujurnya, andai Adel tak punya fisik yang 'more' daripada teman-temannya, Adel bisa saja dikerumuni segudang orang yang mungkin akan peduli padanya. Mendengarkan curhatannya, dan memberi solusi dari sudut pandang lain hingga Adel tidak merasa sendiri.

Kalau di luar sana ada ratusan cewek yang insecure dengan tubuhnya, Adel justru berbanding terbalik dengan itu. Dia tidak peduli pada bagaimana orang menatapnya, atau fantasi apa yang terbentuk di pikiran orang-orang mesum yang mengelilingi, tapi kalau sudah begini, saat ia tengah down dan membutuhkan telinga untuk didengar, Adel kembali sedih karena ia tak punya siapa-siapa.

Miris memang. Padahal, kalau dipikir-pikir, Adel ramah kok sama teman sekelasnya. Kalau ada yang butuh pulpen, penggaris atau bahkan contekan, Adel akan dengan santai memberikan semampunya. Saat salah satu tidak ke kantin karena kekurangan uang, Adel akan berinisiatif membeli dua kotak makanan dan mengajaknya makan bersama.

Tapi dia ditolak.

Bukan karena Adel menyebalkan atau tidak seru diajak ngobrol, mereka justru menjauhi karena iri. Iri karena Adel punya tubuh yang lebih menarik dibanding mereka, yang otomatis akan membuat ketidakpercayadirian mereka kian menanjak, dan tanpa mampu dihalau, rasa benci akan tumbuh dengan sendirinya. Maka pada akhirnya, yang Adel dapat hanya sorotan sinis dan ujaran tidak sopan saat teman-temannya memilih ikut menghujat fisiknya yang tidak sepantasnya dimiliki cewek SMA.

"Kamu nggak keliatan fit hari ini." Derit kursi ditarik dan suara bass Ashar mengalun, membuat Adel dipaksa keluar dari lamunan.

Sudah pukul dua siang. Harusnya mereka belajar Bahasa Inggris, tapi ada urusan serius yang membuat beberapa guru memilih stay di ruang guru dan membicarakannya. Otomatis, anak kelas tiga pada free, yang jujur saja tidak begitu Adel sukai. Karena kalau sudah begini, dia akan sendirian di kelas, sementara teman-temannya sibuk berkeliaran ke kantin, perpustakaan atau mengecengi adek kelas di lantai dua dan satu.

"Loh, Ashar? Aku kira kamu udah pulang."

Dia tidak membalas dengan nyambung. Ashar memilin bibir, berpikir sesaat, dan mengulurkan tangan, mengecek suhu tubuh Adel dengan meletakkan punggung tangan ke kening.

"Shar, I'm fine." Adel mengelak, meski tak menjauh dari sentuhan yang Ashar beri.

"Mata kamu nggak ngomong begitu. What's going on? Egi ganggu kamu lagi?"

"Enggak." Adel bersandar ke sandaran kursi yang diselimuti tali ranselnya. "Aku nggak pernah bicara sama Egi setelah hari itu." Ada nada tidak nyaman saat Adel menyebut nama cowok itu. Rasa bersalah.

"Terus apa yang ganggu pikiran kamu? Just tell me. I'm here, Del."

Apa hanya Adel saja yang berlebihan kalau ucapan terakhir Ashar berhasil menyentuh sudut hatinya?

I'm here.

Tunggu. Apa yang Adel pikirkan?

"Kak Novi." Jujur, Adel terlalu kurang tidur karena memikirkan Novi terus. Kalau ia bicara pada Ashar, apa salah? Apa Ashar akan menghakimi dan berbalik menatapnya risi seperti yang lain?

Tapi ini Ashar.

Adel memejamkan mata kala denyutan sakit itu kembali membentur kepalanya. Bukan hanya batin, fisiknya jadi ikutan drop sekarang.

Saat ia membuka mata, sorot cemas Asharlah yang ia lihat. Cowok itu mendekat, hendak merangkulnya walau ada tatap ragu di sana. Menimbulkan decak geli di bibir Adel.

"That's okay, Shar. Aku nggak akan pingsan kok," kekehnya. Ashar ini, ya, perhatian sekali.

"Abis kamu keliatan pucet banget. Kayak abis dimakeupin biar keliatan sakit parah."

Adel tak mampu menahan tawa. "Separah itu?"

"Hu'um."

Napas pendeknya merebak. Adel menatap kuku jari gamang sebelum kembali menatap Ashar yang kini tampak lebih terbuka karena tak memakai hoodie atau jaket. Dasi cowok itu sudah dia lepas, dua kancing seragamnya juga Ashar biarkan tak menyatu. Maklum, hari ini memang gerah.

"Kak Novi drop lagi." Adel memulai, sedikit lega karena tak perlu menjelaskan kondisi basic kakaknya sebab Ashar sudah tahu.

"Dia teriak ketakutan dan lemparin apa pun yang ada di dekatnya." Adel masih gampang berkaca-kaca tiap mengingat malam itu. "Waktu aku masuk, aku hampir ketampar gelas yang langsung pecah tepat di depan mata aku. Makanya aku syok."

"Aku nggak tau separah apa kondisi Kak Novi secara medis, karena kalaupun aku nanya, Bunda sama Papa selalu bilang aku nggak perlu tau sejauh itu. Yang aku tau, mental Kak Novi jelas nggak sestabil dulu setelah ngalamin insiden itu. Jadi besoknya, aku nanya ke Bunda. Mau ngobrol lebih serius gitu soal Kakak, tapi Bunda nggak peduli. Aku tanya Papa pun responnya sama aja."

Sial, Adel tidak mau menangis di sini. Tidak di depan Ashar.

Tapi kenapa mata gelap cowok itu terlalu menenangkan sampai Adel merasa yakin untuk mengeluarkan semua sesak di dada?

Ashar diam, tapi dari caranya memandang Adel, jelas cowok itu mendengarkan dengan fokus, juga diselingi tatapan lembut nan memahami yang jarang Adel dapatkan dari siapa pun.

Adel terbius akan mata hitam dia.

"Kamu udah ngomong sama Kak Novi setelah itu? Atau...."

"Udah, sering malah, tapi ya gitu. Responnya pasif. Kak Maya juga jarang ketemu aku karena dia udah nggak ada di rumah pas aku pulang. Aku bingung, Shar. Aku nggak mau Kak Novi begini terus. Dia pasti kesakitan." Adel merengek, suaranya bergetar. Bola mata bundarnya dilapisi kaca tipis, yang akan pecah bila ia berkedip. Melihat itu dengan jarak yang tak jauh, Ashar jadi tidak tega.

Pada akhirnya, yang Ashar lakukan hanya menarik Adel ke dalam pelukan. Membiarkan cewek itu bersandar di dadanya, dan meremas seragam putihnya saat tetes air mata mulai menetes di sana.

Meski tak begitu berarti, ucapan Ashar hari itu berhasil menenangkan sekeping cemas di hati Adel.

"Aku nggak tau ini sok atau apa, tapi selama ada kamu, aku yakin Kak Novi bakal baik-baik aja. Karena adiknya ada di sini."

-oOo-

[END] Balikan BangsatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang