Setetes air sisa hujan tadi siang jatuh ke flatshoes putih Adel. Dua kaki itu mengetuk silih berganti, beriringan dengan rambut panjang bergelombang yang menoleh kanan-kiri. Menunggu jalanan sepi.
Langit sudah menampakkan terang setelah berjam-jam dikepung gelap. Permukaan jalanan masih basah, dilewati begitu saja oleh kendaraan-kendaraan yang pulang ke rumah masing-masing. Tiap tiga meter, ada pohon yang menaungi jalan di tepi trotoar. Tak begitu rimbun, tapi tetes demi tetes gerimis yang dijatuhkannya masih mengenai kaca mobil, hingga tak jarang beberapa yang melewati Adel bisa dia lihat, wiper kaca di bagian kemudi mereka masih bergerak mengelap kaca dengan gesit.
"Oh, udah habis." Lamunan Adel buyar saat jalanan lengang. Senyum kecil muncul di bibir berpoles lip cream itu, dan masih bertahan saat Adel berlari kecil ke seberang.
Chocolate Café. Tempat yang Adel tuju itu dilapisi oleh dinding kaca transparan, jadi Adel bisa melihat dari jauh, keramaian yang mengerumuni tiap meja di dalam sana.
Tangan mungil itu mendorong pelan pintu yang ditempeli tajuk OPEN, sementara tangan yang lain memeluk binder-binder yang sudah dia gunakan di waktu kuliahnya hari ini.
Mata cokelat itu berbinar saat menatap tiap sudut kafe, mencari meja yang kosong, dan mencuatkan senyumnya kala sebuah meja dengan dua kursi di dekat dinding kaca belum ada yang menduduki.
Adel melangkah ke sana, bersamaan dengan derum mesin motor hitam yang berbelok ke parkiran mini di depan kafe. Pengemudi berjaket dan berjeans hitam itu menarik kunci motor, menyelipkan ke saku celana, kemudian membuka helmnya. Menampakkan rahang tegas, mata tajam yang ditutupi rambut bergelombang yang segera dia sapukan dengan ibu jari. Dan kala tatapannya jatuh ke meja Adel yang menyimpan tasnya di meja, senyum tipisnya tampak.
Namun lenyap seketika saat melihat yang terjadi selanjutnya.
"Itu meja gue, bisa minggir nggak?"
Adel yang baru mau duduk tersentak. Suara sinis itu begitu dingin, membuatnya cepat-cepat menoleh dan mendongak kala tinggi keduanya cukup berbeda.
Tampilan cowok itu tidak jauh beda dengan Egi. Helm sport merah yang tergantung di kelingkingnya telah menjelaskan, cowok ini bukan seseorang yang seharusnya Adel ganggu.
"Ah, maaf. Aku nggak tau. Silakan kalo gitu." Adel melempar senyum bersalah, menyampirkan tali tasnya di salah satu pundak, dan beranjak pergi.
"Good girl." Egi bergumam senang.
"Kalo lo mau bareng … nggak apa-apa sebenernya."
Suara bariton itu menjeda Adel. Dia kembali berbalik. Gigi Egi mulai menggertak geram saat cowok itu terang-terangan kelihatan terpesona pada Adel, apalagi saat cewek itu kembali menebar senyum.
Adel menarik bibir hingga mata cokelatnya membentuk bulan sabit, dan berucap dengan muka mungil yang dikelilingi rambut berhighlight dan warna cokelat terang, ditambah gaun merah muda yang ditutupi jas kemeja abu-abu memanjang hingga belakang lututnya.
"Makasih, tapi aku lagi nunggu temen."
"A–ah, oke."
Egi diam. Tetap bungkam saat Adel keluar dari kafe dan menyadari keberadaannya. Gadis itu mendekat.
"Oh, kamu udah sampe?" dan menyapanya dengan riang.
"…"
"Gi?"
"Aku nggak tau mesti seneng atau sedih."
"Kenapa sih?"
Wajah Egi menoleh perlahan, lebay. "Del, udah tiga tahun loh."
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Balikan Bangsat
Teen FictionSeks itu seperti virus bagi Adel, mengerikan. Pacarnya menunjukkan itu, dia langsung memutuskannya. Teman-teman di kelas, geng-geng berandalan, semua melecehkannya karena tubuh Adel yang lebih dewasa dibanding yang lain. Dia menyadari keanehan pada...