II. On Going Home

26.3K 2K 33
                                    


Dovan memandang Jesse tak percaya, menahan kekehan di ujung bibirnya. Nyatanya, melihat teman seperjuangannya pusing bukan main memberi kesenangan tersendiri baginya. Sudah lama ia tidak melihat Jesse memikirkan hal lain selain dirinya dan pekerjaannya, sehingga menjadi sebuah kelegaan bagi Dovan untuk tahu Jesse masih bisa memikirkan hal di luar itu.

Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri ia juga merasa sedikit kasihan pada Jesse, karena ini sudah masuk minggu kedua pria itu uring-uringan begini. Sejak malam acara ulang tahun Pete dua minggu lalu, yang sama sekali tak bisa diingatnya, Dovan dibuat heran dengan wajah suram Jesse ketika terduduk di meja kerja pagi harinya.

"Kalau lo masih nggak mau pulang, ya nggak usah. Gitu aja kok ribet."

Jesse mendelik mendengar respon tak membantu Dovan. Ia lalu menghela napas tepanjangnya minggu ini dan bangkit untuk merebahkan dirinya sejenak di sofa. Jesse bukannya tidak mau pulang. Ia hanya berpikir apakah ini sudah waktu yang tepat untuk menampakkan diri setelah menghilang hampir 7 tahun setelah kepulangan terakhirnya.

"Lo masih nggak mau pulang gara-gara cinta bertepuk sebelah tangan lo itu? Grow up man, you loved her when you were seventeen, you're twenty six now, maybe you'll see her and realize now you feel nothing at all."

Jesse melemparkan lengan menutupi matanya. Dengan seluruh kepingan hatinya ia benar-benar ingin mencekik Dovan sekarang karena mengangkat topik yang paling dibencinya itu. Ia kesal sendiri jika diingatkan dengan betapa menyedihkan dan pengecutnya ia, yang tidak ingin kembali hanya karena cinta monyet masa SMA yang berakhir tragis. Sayangnya, bisa saja itu tidak menjadi masalah, kalau sampai hari ini wanita itu tak ada dalam ingatannya setiap akan beranjak tidur atau setiap mendengar tanah airnya disebut. Saat Jesse bercerita tentang salah satu motivasinya pergi ke Amerika 8 tahun lalu pada Dovan, pria itu tertawa kencang seakan alasan Jesse adalah lelucon paling konyol yang pernah didengarnya.

Jesse mengerang. Pusing, lelah, cemas, gugup, semuanya bercampur jadi satu. Ia butuh satu alasan kuat lagi untuk pulang. Satu alasan lagi dan ia akan mengemas pakaiannya. Saat ponselnya berbunyi di detik berikutnya, yang Jesse ingin lakukan hanya melemparnya ke dalam akuarium di sudut ruang tamu mereka, namun melihat nama yang muncul, ia menghembuskan napas, mengerti bahwa sampai kapanpun ia tidak mungkin bisa mengabaikan panggilan yang satu ini.

"Hai sayang..." sapa Jesse begitu telepon tersambung, membuat siapapun yang berada di seberang sana memutar bola matanya malas.

"Nggak usah ngajak berantem deh lo. Kapan balik?"

"Pada kenapa sih orang-orang? Lo disuruh nyokap juga ngomong ke gua? Ini gue juga lagi mikir elah. Awal bulan depan deh gua tentuin jadi balik atau enggak."

"Bercanda lo ya?"

"Ngapain juga? Udah ah bilang aja ke nyokap gitu. Dah ya, gua mau ketemu klien."

"You're literally the worst cousin ever."

"Gua ngapain lagi sih? Salah mulu perasaan. Awal bulan depan tinggal tiga minggu lagi, nggak lama. Udah bagus masih gua kasih pertimbangan."

"Lo tiba-tiba bilang mau kuliah di Amrik, delapan tahun lalu, gua dukung lo sampai titik darah penghabisan. Lo nggak mau balik kesini, gua nggak ngomong apa-apa. Tapi lupa sama nikahan sahabat lo sendiri agak keterlaluan nggak sih, Je?"

Jesse terduduk secepat kilat, tidak menggubris rasa sakit di kepalanya dan tatapan terkejut Dovan melihat Jesse seperti kerasukan.

Vio bilang apa?

Pernikahan sahabatnya?

Jesse menepuk dahinya kencang begitu sadar dan ingat sepenuhnya mengenai apa yang dibicarakan sepupunya itu. Ia harus menghadiri pernikahan sahabatnya di awal bulan September yang berarti 3 minggu dari sekarang. Ia tidak punya 3 minggu untuk memutuskan. Ia harus ada di Indonesia dalam 3 minggu.

LINGER (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang