XVII. Settlement

15.6K 1.7K 56
                                    


Nia berdecak melihat Jesse yang duduk santai di ruang tamu, mengabaikan tayangan televisi di depannya dan sibuk menggoreskan pensilnya di buku apapun itu yang ada di pangkuannya. Ibu paruh baya itu meletakkan satu piring buah segar di meja kecil ruang tamunya dan duduk di sebelah anaknya itu. Tidak terasa, dalam beberapa hari Jesse sudah harus kembali ke Amerika lagi. Nia bahkan tidak ingin membayangkan rumahnya yang akan kembali sepi tanpa Jesse itu.

Rumahnya yang akan kembali rapih sempurna seperti tidak ada yang tinggal di dalamnya. Andai saja Nia bisa ikut tinggal bersama Jesse di Amerika. Meninggalkan tanah air untuk waktu yang lama selalu menjadi kelemahan ibu satu anak tersebut. Jangankan tinggal sampai akhir hidupnya, lebih dari 2 minggu saja ia pasti sudah merengek ingin pulang. Rindu rumah.

Jesse melirik mamanya yang hanya duduk menatapnya tanpa bicara satu katapun. Seperti ada yang ingin diungkapkan namun ragu. Jesse tersenyum kecil, masih terus lanjut menggambar.

"Ngomong aja sih, ma," tuturnya. Nia tersentak. Ia tidak pernah ingin menjadi orangtua yang terlalu mengontrol anaknya, karena ia percaya Jesse sendiri tahu yang terbaik untuk dirinya. Tapi tidak bisa dipungkiri, ia penasaran.

"Kamu punya pacar nggak sih, Je? Di Amerika gitu? Atau di sini?" tanyanya menghilangkan ragunya. Masa bodo kalau anaknya itu enggan menjawab, yang penting ia sudah tanya.

Nia tidak berharap banyak, tapi ia juga terkadang ingin mendengar cerita lain dari anaknya selain pekerjaan dan semua klien-nya. Nia tahu Jesse menyenangi kehidupannya yang sekarang, tapi terkadang ia juga ingin kebahagiaan Jesse lebih dari sekadar bangun pagi dan bekerja. Waktu berita Jesse mengencani seorang wanita bernama Dana sampai di telinganya, bahagianya Nia tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Tapi kemudian beberapa bulan kemudian mereka kandas dan katanya sekarang sudah menjadi sahabat. Saat itu Nia hanya bisa geleng kepala, tapi saat ia tidak pernah mendengar kabar mengenai hal seperti itu lagi, ia jadi kepikiran sendiri.

Jesse sendiri punya alasannya. Jesse tidak ingat pernah menceritakan soal Kinira pada mamanya. Kalau ia tidak salah ingat, setiap mamanya bertanya dulu siapa yang membuat Jesse pulang dengan senyuman secerah mentari, atau siapa yang sempat membuat hari-harinya di SMA seperti mayat hidup tanpa semangat, Jesse hanya selalu manjawab "Ya, ada lah, seseorang.", dan Nia tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut.

Ia hanya tidak tahu saja, seseorang itulah yang sampai sekarang masih menjadi alasan kenapa Jesse tidak pernah bercerita apapun tentang siapa yang dikencaninya. Karena memang tidak ada, atau kalaupun ada, tidak akan bertahan lebih dari satu bulan.

Perhatian Jesse sudah sepenuhnya diarahkan pada Nia, tapi ia sengaja masih pura-pura asyik dengan kegiatannya.

"Emang kenapa, ma?" tanya Jesse balik, tidak menjawab pertanyaan mamanya.

"Ya nggak apa-apa. Mama pengin tahu aja," jawabnya singkat, bernada seolah tidak peduli padahal penasaran setengah mati. Tangannya sibuk memainkan bantal di pangkuannya menunggu jawaban dari Jesse.

"Kalau ada emang mau diapain?"

"Kamu nih, jawab aja susah amat. Mau mama nikahin sama kamu. Puas?" Nia malah jadi kesal sendiri mendengar Jesse yang tak kunjung menjawabnya. Jesse menahan dirinya agar tidak terkekeh. Jesse tahu banyak hal. Keinginan mamanya untuk melihat kehidupan Jesse tidak hanya seputar pekerjaan adalah satu di antaranya.

"Emang udah siap lihat aku nikah?" goda Jesse sengaja, memancing cibiran Nia.

"Lebih siap daripada lihat kamu nggak nikah sampai keriputan."

Jesse tidak membalas lagi. Ia secara perlahan menutup bukunya dan menaruhnya di sebelah piring buah di meja, kemudian meraih ponselnya. Telunjuknya menekan satu nama di daftar kontaknya lalu menatap sang mama.

LINGER (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang