Kira mencoba untuk tidak menatap Jesse yang sibuk membelah jalan di depannya. Dalam semua skenario yang pernah ia mainkan di kepalanya, ini sama sekali tidak pernah muncul. Jesse belum mengajaknya bicara sejak masuk ke dalam mobil 15 menit yang lalu. Begitu pula ia yang belum menyapa pria itu. Terlalu canggung.Dalam bayangan Kira, pertemuan kembalinya dengan Jesse akan lebih bernuansa dan setidaknya lebih hidup dari yang terjadi barusan. Ia selalu membayangkan Jesse yang marah-marah, atau yang paling memungkinkan, menolak permintaan Mirei untuk membantu mengurus pernikahannya secara brutal di hadapan Kira. Ia tidak menyangka Jesse malah mengajaknya meninggalkan restoran itu tanpa negosiasi lagi. Namun sama seperti 7 tahun lalu, Jesse terasa dingin. Ia jauh.
"Kenapa kamu setuju?"
Dari semua sapaan yang bisa dikeluarkannya, Jesse memilih untuk bertanya pertanyaan yang sama sekali tidak bisa dimengerti Kira.
"Setuju apa?"
"Setuju saya yang bantuin kamu bikin rumah."
"Gue nggak tahu orang yang dimaksud Dovan itu lo."
"Terus waktu kamu tahu? Kenapa masih diterusin?"
Jesse masih belum menatap Kira. Ia hanya ingin mendengar jawabannya.
Kira kehabisan jawaban. Ia jelas tidak bisa bilang alasannya ke Jesse, karena ia sendiri juga tidak tahu. Tidak ada alasan lain selain harapannya bahwa mungkin dengan ini ia jadi punya waktu untuk bicara dengan Jesse. Mungkin memohon maafnya. Kira tidak bodoh. Ia tahu pasti bahwa kalau bukan karena ini, Jesse pasti berusaha menghindarinya mati-matian di Jakarta. Jesse akan melakukan apa saja agar tak perlu banyak bicara dengan Kira. Wanita itu tidak tahu banyak mengenai Jesse, tapi Kira akan melakukan hal yang sama jika ia ada di posisi pria itu.
"Lo berharap dengar jawaban yang kayak gimana?"
"Saya nggak berharap apa-apa, Ki. Saya cuma nggak nyangka. Bukannya kamu benci sama saya?" ujar Jesse terdengar lebih serius dari yang dimaksudkannya, sambil memarkirkan mobilnya di gedung yang akan menjadi tempat pernikahan Mirei minggu depan.
Kira terpojokkan. Ia tidak menyiapkan jawaban untuk pertanyaan seperti ini.
"Ini masih tentang ucapan gue delapan tahun lalu?" tanya Kira, sepertinya salah langkah."Gue minta maaf, Je. Gue benar-benar minta maaf. Gue bikin lo sakit, gue tahu. You're free to hate me. Tapi ini udah delapan tahun, Je. Kita nggak mungkin kayak gini seumur hidup kan?"
Kali ini Jesse memberanikan diri menatap Kira. "Saya nggak tahu. Delapan tahun lalu, bukan saya yang bilang nggak mau ketemu kamu lagi seumur hidup."Jesse mematikan mesin mobilnya dan keluar. Kira rasanya ingin menangis saja. Permintaan maaf pertamanya tadi sama sekali bukan permintaan maaf yang mendekati kata baik. Apa ia baru saja membuat Jesse semakin membencinya? Kira menaruh kepalanya pada kaca mobil, untuk beberapa menit hanya bisa duduk lemas. Bisa tidak sih ia menghilang saja?
//Jesse melipat kedua tangannya di depan dada sembari bersender pada pintu masuk ruangan, memerhatikan Kira bicara serius dengan WO pernikahan Mirei mengenai dekorasi ruangan yang diingankan calon pengantin itu. Jesse tidak mengerti apa-apa, maka ia membiarkan tanggung jawab ini jatuh sepenuhnya pada Kira.
Kira berbeda dari Kira yang ditemuinya 7 tahun lalu. Rambutnya sudah tidak lagi panjang, kacamata sudah bertengger manis di wajahnya, Kira kelihatan lebih dewasa, dan lebih cantik kalau boleh Jesse tambahkan. Meski bersusah payah untuk tidak mengakuinya, rasanya itu hal yang mustahil.
Bohong kalau Jesse bilang hatinya tidak melompat saat melihat Kira muncul tanpa pemberitahuan di restoran tadi. Napasnya saja seperti terhalang akibat kehadiran gadis itu tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
LINGER (Completed)
أدب نسائي"Melepas kamu nggak semudah membenci kamu, Kinira." Jeshiro mencintai Kinira; Seperti air yang selalu kembali ke lautan. Seperti buah yang selalu kembali ke tanah. Seperti matahari yang selalu terbit dari timur. Jeshiro, adalah rasa yang selalu...