kemarin,saat hujan tak terlalu gemuruh
aku sempat mampir di warung langganan pak tarjo yang selalu menyeruput kopi hitam dalam sekali tegukdia adalah tetua yang sangat di hormati
bukan hanya karna umurnya yang sudah mulai menginjak angka tiga digit
tapi karna dia adalah saksi hidup dunia yang lebur dihantam kerikildia bercerita seberapa keras hidupnya di masa muda
dari kecil sudah menghidupi diri sendiri
dipaksa tak bergantung kepada orang lain
mulai dari mencuci kaki sampai dapat membeli pecipernah waktu itu di malam yang begitu hening,hanya suara keroncong perut berirama yang menambah sejuknya angin malam , bukan tak berusaha
teman seangkatan sudah banyak yang gugur lebih dulu,sebagian lupa ingatan,sebagian lagi lupa daratanbukan tak berkeluarga,sudah bisa hidup sendiri tanpa menyusahkan yang lain saja sudah cukup,makan roti pagi hari sampai pagi lagi saja sudah cukup,tidur beralas koran beratap lengan saja sudah cukup,tak perlu mewah,menyambung nyawa saja sudah cukup
karna hari sudah mulai larut, pak tarjo mempersingkat ceritanya, karna pendengar nya kebanyakan adalah anak anak yang belum tau kecutnya dunia,
sembari menyeruput kopi nya,dengan lengan yang mendekap lututnya erat dia tersenyum,
ku tanya, kenapa kakek tersenyum?dia menurunkan tangannya, mengatur posisi duduknya agar lebih tampak berwibawa, sambil memandang jauh ke ujung jalan, dia mengatakan satu kalimat yang membuat kami segera pulang kerumah.
teringat olehku kalimat terakhir dari mulutnya yang sudah tak menampakkan susunan gigi yang dia gunakan untuk mengunyah,
"yang tak habis pikir oleh ku saat ini bukan mampukah aku melewati saat saat itu, tapi sepercaya itukah tuhan terhadap pundak ku?"