Ciel duduk di meja makannya, pria itu mengambil setoples kue kering serta segelas teh hangat.
Ciel menatap ayahnya yang tengah meminum segelas kopi. Lalu menengok ke arah belakang dimana ibunya dan adiknya tengah menyiapkan makanan.
"Pa, papa kenal keluarga Sergio?". Ciel berbicara dengan nada pelan.
Papa mengangguk.
"Temen papa". Ucapnya singkat.
"Papa tau asal usul keluarga mereka? Terus anak keluarga-
"Heiiss, stop anak muda!". Papa memukul kepala Ciel dengan tangannya, pelan.
Ciel mengusap usap kepalanya yang sakit.
"Kamu kenal sama putri keluarga Sergio?". Tanya papa dengan raut sok serius.
Ciel mengangguk pasti, pria itu mendekatkan kursinya.
"Namanya Rachel, dia ketua kelas, duduk sebangku sa-
"Haiii, diam anak muda!". Papa kembali memukul kepala Ciel.
Ciel menggeram marah dan sedikit menjauh.
"Kalau kamu suka sama ketua kelas kamu itu, kamu ga bakal bisa sama dia". Papa berucap acuh.
Ciel membolakan matanya terkejut.
"Kenapa?!". Tanya Ciel kesal.
"Rachel itu anak tunggal, dia dituntut agar jadi perfect, waktu SMP ibunya meninggal, saat itu pula Rachel dituntut untuk selalu fokus pada pelajaran, berbagai guru les privat dari dalam sampai luar negri dipilih ayahnya". Papa berucap dengan pandangan menerawang.
"Kasihan, masa mudanya terus ditekan". Ucap papa lagi.
Ciel menautkan jari jarinya.
"Umm hubungannya sama ja-
"Banyak putra pengusaha yang mengincar Rachel, bahkan beberapa dari mereka sudah mengajukan lamaran". Ucap Papa memotong ucapan Ciel.
Ciel terdiam.
###
"Nilai tertinggi diraih oleh wakil ketua kelas, Rhys! Nilainya 90, yang kedua diraih Rachel dengan nilai 89, yang lain rata rata tujuh puluh".
Rachel meremas jari jarinya gugup, gadis itu terlihat resah.
"Kalian boleh pulang".
Sampai keadaan kelas sepi, bahkan sampai sekolah sepi, Rachel masih duduk di kursinya dengan gugup, nafasnya tak beraturan.
Ciel menatap punggung Rachel yang menjauh, pria itu mengikutinya.
Rachel berjalan menuju sebuah mobil yang terparkir di depan gerbang.
"Ayah". Ucapnya pelan.
"Hari ini ulangan harian matematika bukan? Mana hasil kamu?". Suara ayah begitu menusuk.
Rachel menyerahkan kertas yang sejak tadi digenggamannya.
Ayah menerimanya, membacanya lalu tertawa sinis.
Ciel bersembunyi dibalik tembok, pria itu dengan seksama memperhatikan Rachel dan ayahnya.
Matanya membola saat melihat apa yang terjadi.
---
Ayah menggulung kertas tadi dan memukul kepala Rachel menggunakan kertas itu.
"Bodoh!". Umpatnya begitu nyaring.
Rachel menunduk, matanya memanas, kedua tangannya terkepal erat.
Tak!!
"Sebenarnya kau anakku bukan?!".
Rachel terisak pelan, walau hanya lima lembar kertas, tapi pukulannya begitu kencang.
"Bagaimana bisa kau kalah oleh pria ingusan itu?!".
Rachel semakin terisak.
"Maaf, R-rach
"Harusnya kamu tidak bolos les saat itu!". Rachel memegang kepalanya yang terasa perih.
"Masa bodo!".
Rachel menutup matanya saat kertas tapi dilempar ke wajahnya, kertasnya berserakan.
Rachel terduduk, memunguti kertas itu dengan air mata yang mengalir deras.
"Tidak usah dipungut, bodoh! Itu sama sekali tak berguna!".
Rachel terisak keras, gadis itu mendongak, tangannya mencengkram erat kemeja putih yang digunakan ayahnya.
"Ayah! Pasti yang memeriksa salah! Rachel yakin jawabannya bener semua!".
Ayah menghempaskan Rachel, membuat gadis itu terjatuh.
"A-awwss".
"TUAN!!"
"OM!!"
Ciel berlari bersamaan dengan Vano dari arah yang berbeda.
"Tuan, tolong tenangkan diri anda! Rachel dan Rhys hanya beda satu poin!". Vano berusaha menjelaskan.
"Mau berbeda berapa poin pun dia tetap kalah!".
Rachel berdiri, gadis itu berlari sekuat tenaganya, meninggalkan orang orang dengan pandangan berbeda.
Ciel berjongkok, memungut kertas jawaban Rachel yang tergeletak begitu saja.
"Nomor tujuh belas, 857 x 185 = 158,545. Jawaban Rachel benar, kenapa disalahkan?". Gumamnya pelan.
-o0o-
Rachel berhenti berlari, matanya kembali memanas melihat orang yang berdiri kokoh didepannya, dengan sorot yang teduh dan syarat akan kesedihan.
Ia merentangkan tangannya, Rachel berlari menubruk tubuh jangkung pria itu, terisak kuat disana.
"F-Fajar-"
####
TBC😵😵😵
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketua Kelas! (End)
RandomIstilah cinta pada pandangan pertama itu benar adanya. Ciel tak menyangka, gadis yang tak sengaja tersenyum padanya menjadi ketua kelasnya dan malah berakhir menjadi kekasihnya. Tentang senyumnya yang begitu cantik, tutur katanya yang lembut serta s...